Ada sebuah pendapat menarik dalam artikel Social-Politica.com dengan host Rum Aly, yang berjudul "Sakit Jiwa dan Korupsi di Kancah Politik Indonesia", 9/12/2013. Artikel ini diawali dengan  kasus 7.376 caleg gagal yang harus masuk rumah sakit jiwa, paska Pemilu 2009, yang disebut Sekjen KIPP saat itu, Peter Rohi, akibat mahalnya biaya pemilu untuk keperluan kampanye besar-besaran dan lanjutannya.
"...Suatu kemungkinan lain bisa terjadi, bahwa orang-orang dengan gejala psikopatik, paranoid, split personality dan gangguan mental lainnya --sadistis, egois, arogan dan rakus berlebihan-- dengan pola rekrutmen seperti sekarang, justru lolos masuk ke dalam kelembagaan politik dan kelembagaan negara melalui pintu pemilihan umum. Maka, syarat tidak mengalami gangguan kejiwaan harus dilakukan cermat dan ketat, jangan sekedar pemeriksaan proforma saja." [2]
Pendapat itu tentu saja masih cukup aktual jika dihubungkan dengan situasi politik saat ini. Belum banyak perubahan dalam sistem rekrutmen di kelembagaan politik ataupun negara melalui pemilu. Biaya mahal tetap jadi sebuah kenyataan, sementara negara terbukti tidak bisa menghalangi seseorang yang dikhawatirkan berpotensi psikopatik, paranoid, split personality, sadistis, egois, arogan dan rakus masuk dunia politik.
Belum ada aturan yang melarang seseorang yang pernah dihukum karena kejahatan pembunuhan jadi pengurus partai politik. Belum ada aturan yang melarang seseorang yang terbukti jadi koruptor misalnya, untuk tetap berkiprah di dunia politik. Semua pada akhirnya diserahkan kepada rakyat yang menentukan apakah menerima atau menolak mereka.
Di negara yang masyarakatnya mapan secara ekonomi dan demokratis dalam kehidupan sehari-hari, politikus yang pernah tersangkut tindak pidana semacam itu tentu sanggat sulit diterima. Tetapi realitas masyarakat Indonesia tidak seperti itu. Politik uang masih cukup ampuh untuk membeli suara mereka pada beberapa even pemilihan umum.Â
Apakah perilaku masyarakat saat ini sudah berubah dengan  kemajuan teknologi IT yang menyebarkan informasi sampai ke pelosok? Harapannya seperti itu. Namun kenyataan menunjukkan informasi hoax hasil kolaborasi produsen hoax dengan kepentingan politik justru jadi penghambat.Â
Masyarakat tetap dijejali informasi yang mengaburkan kebenaran dan justru mengadu domba, yang bisa membuat mereka kembali apatis atau mengambil pilihan buruk. Inilah realitas kehidupan berpolitik kita yang ternyata tidak bisa lepas dari perilaku yang bisa tergolong penyakit jiwa, yaitu membuat berita hoax yang merusak (salah satu perilaku psikopat). Suatu hal yang tidak dilakukan orang waras.
Ternyata, perilaku snob yang diperlihatkan sebagian  politikus kita itu hanyalah salah satu  dari sekian potensi gangguan kejiwaan yang bisa jadi telah menghinggapi sebagian dari mereka. Saya tulis "bisa jadi" bukan "pasti" telah menghinggapi, harap jangan disalahartikan.
Pertanyaannya, perlukah gangguan kejiwaan ini disembuhkan atau dibiarkan saja karena kekuasaan yang jadi tujuan para politikus itu memang sudah cenderung gila dari sananya?Â
Entahlah. Yang pasti sebentar lagi ada pesta Pilkada dan tahun depan ada pesta Pemilu dan Pilpres. Sinyal kegilaannya mungkin sudah bisa dipantau dari sekarang. Namun, kalau soal jumlah yang kembali harus masuk rumah sakit jiwa, ya harap sabar menunggu hasil "pertandingan" dan perhitungan.
Salam salaman.