Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Media Pemberitaan, Medsos, dan Hoaks

6 Maret 2018   17:05 Diperbarui: 6 Maret 2018   17:14 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dikutip dari tandaseru.id

Ada   perbincangan  menarik di sebuah  grup FB paska permintaan maaf Jawa Pos terkait berita hoax tentang Muslim Cyber Army yang salah satu tersangkanya disebut Ahokers. Bagaimana bisa, media besar sekelas Jawa Pos sampai memuat berita semacam itu. Benarkah ini sebuah kesalahan yang tak disengaja akibat proses keredaksian yang tidak cermat?

Fakta jejak digital yang termuat di chirpstory dan juga menyebar di grup FB ternyata menunjukkan adanya faktor selain kelalaian. Editor  yang bertanggung jawab atas berita itu, jejak digitalnya memperlihatkan telah melahirkan banyak berita yang dari judulnya terlihat jelas berseberangan dengan Jokowi dan Ahok.

Oleh karena itu, wajar jika editor itu dinilai terpengaruh oleh pandangan subjektifnya terhadap sosok yang secara politis berseberangan dengan pilihan politiknya. Akibatnya berita yang dihasilkan juga bisa disebut tendensius dan menghakimi.

Nama editor itu tak perlu disebut di sini karena ini bukan artikel penghakiman. Biar Dewan Pers yang menelaahnya secara khusus karena sebelumnya antara Ketua PWI Margiono dan Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo ada perbedaan pandangan soal pandangan politik wartawan dan endorse mengendorse ini. Dan, Jawa Pos adalah almamater Margiono.

Yang jadi catatan di sini adalah pandangan politik seorang wartawan ternyata sudah tidak tabu lagi diekspresikan dalam sebuah berita tanpa memandang lagi persoalan independensi yang seharusnya jadi pegangan. Si redaktur ini hanyalah contoh kecil yang kebetulan jadi bahasan karena berita hoax yang ditulisnya bermasalah. Banyak contoh yang lebih besar dari dia.

Kepemilikan media oleh pebisnis dan politisi sudah lama menunjukkan hal itu sehingga kata independensi wartawan itu hanya selorohan pahit di tengah ketidakberdayaan perut dan gaya hidup yang harus dipenuhi dengan fulus dan fulus. Jadi bicara independensi saat ini sudah seperti bayangan imajinatif seorang wanita molek yang tak tergapai.

Karena itu, masalah itu disinggung sekilas saja biar kita ingat bahwa suatu masa kita pernah juga merengkuh kata independensi itu. Yang lebih utama saat ini adalah kerja jurnalistik seharusnya tetaplah kerja profesional yang berangkat dari fakta yang ada dan bukan membuat fakta demi sebuah berita yang memenuhi selera politik wartawan penulisnya.

Silakan saja wartawan berpandangan politik, jadi makelar politik, jadi centeng politisi. Tetapi, perlakukan fakta dan data yang jadi dasar penulisan sebuah berita secara terhormat. Jangan sekali-kali diubah atau dibelokkan untuk keperluan politik. Sekali fakta dan data itu diubah dan dibelokkan, ia menjadi data dan fakta yang salah yang melahirkan berita yang salah pula yang disebut berita hoax itu.

Jadi berita hoax itu bukan hanya terkait dengan berita sampah isu dari sumber tak jelas seiring makin eksisnya kehidupan bermedsos saat ini. Wartawan atau media massa pun bisa melahirkan berita hoax jika fakta dan data diperlakukan tidak dengan hormat alias direkayasa.

Ini berbeda dengan berita negatif atau minor yang memang didukung fakta dan data, yang sering dipakai media milik pebisnis dan politisi untuk "menyerang" lawan politiknya. Media elektronik televisi milik mereka secara kasat mata sering mempertontonkan hal itu, demikian pula media cetak mereka. Memang masih jadi perdebatan soal boleh atau tidak hal ini dilakukan mengingat prinsip independensi tadi.

Jika berita negatif itu memang didukung fakta dan data, tidak bisa disebut berita hoax. Juga, tidak bisa disebut menyalahi prinsip dasar pembuatan berita dalam dunia jurnalistik. Soal jumlah berita negatif yang ditayangkan atau dimuat media itu mencapai 100 persen untuk menyerang lawan politiknya, misalnya, itu akan kembali ke penikmat media itu. Kalau senang mereka akan bertahan menjadi konsumennya atau jika sebaliknya mereka tinggalkan karena dinilai tidak menyajikan berita yang berimbang. 

Walaupun menyisakan persoalan etis, dan kalau di media elektronik menyangkut frekuensi milik publik, gelontoran berita negatif ini yang berdasarkan data dan fakta ini tidak akan semerusak berita hoax yang dibuat dengan mengubah fakta dan data dengan tujuan politis. Seperti yang terjadi saat ini, begitu banyak sampah berita hoax membanjiri medsos dengan informasi yang mengadu domba, kebencian, permusuhan bernuansa SARA, sampai isu kebangkitan PKI.

Dalam kondisi seperti ini, seharusnya media pemberitaan tetap mengambil posisi yang jelas dalam menyikapi persoalan berita hoax di medsos itu. Artinya, seperti saat dulu sebelum ada medsos, wartawan juga sudah terbiasa mendengar obrolan di warung kopi atau tempat kumpul masyarakat lain dengan beragam informasi. Semua itu adalah bahan yang bisa jadi fakta dan data setelah wartawan melakukan investigasi, konfirmasi, sampai studi literatur, untuk dijadikan berita.

Sejak dulu, sebelum ada medsos, informasi yang ada di masyarakat itu ya seperti itu. Informasi dari mulut ke mulut yang bisa sampai ke wartawan dan informasi berita dari wartawan yang dikonsumsi warga dan jadi obrolan juga. Semua campur aduk seperti asap rokok, aroma kopi, bau ketiak, dan aroma masakan enak. Tetapi wartawan tahu informasi itu tidak bisa diterima kebenarannya begitu saja.

Jadi secara prinsip, cara memperoleh informasi dan mengolahnya menjadi fakta dan data, tidak berubah. Kini hanya bertambah dengan obrolan dan isu yang ada di medsos. Tidak semua informasi dan isu di medsos itu salah atau benar, sebagaimana informasi dan isu di warung kopi.

Semua yang berkecimpung di dunia jurnalistik dan pemberitaan pasti tahu hal ini terkecuali mereka yang secara tiba-tiba dijadikan dan menjadikan dirinya sebagai wartawan. Tahapan pengolahan sebuah berita tentu telah jadi sistem yang baku, yang mengharuskan cek dan ricek, konfirmasi, kejelasan dan kredibilitas sumber berita, pemilihan diksi yang tepat, dan seterusnya.

Hanya saja memang ada tantangan baru yang berkaitan dengan kecepatan informasi yang lalu lalang di masyarakat yang begitu tinggi. Tentu ini membawa konsekuensi tersendiri dalam membuat berita yang juga harus mempertimbangkan hal itu dan juga media pemberitaan lain yang berpacu untuk menyajikan berita terkini. Inilah alasan yang sering dikemukakan ketika sebuah berita jadi masalah setelah dimuat atau ditayangkan.

Semua yang pernah bekerja di media pemberitaan pastilah pernah merasakan tekanan waktu dan jam tayang atau headline ini. Tetapi bisakah hal itu dijadikan alasan lahirnya sebuah berita hoax? Wartawan yang baik pasti akan menjawab tidak bisa.

Di sinilah perlunya prosedur baku dalam mengolah informasi dan data menjadi sebuah berita harus dijalankan secara ketat. Dan prosedur ini jelas tidak akan bisa dijalankan jika wartawan itu tidak menghargai nilai sebuah berita sehingga seenaknya sendiri membuat berita yang sesuai selera dan pandangan politiknya.

Berangkat dari kasus berita hoax yang sampai dimuat di Jawa Pos itu, mungkin perlu ditegaskan lagi pentingnya rasa hormat wartawan dalam menilai sebuah berita, karya jurnalistik mereka. Walaupun dalam sehari ada wartawan yang diwajibkan membuat lima berita supaya bisa mendapatkan penghasilan yang layak, tahapan pengolahan informasi dan data janganlah sampai dilanggar.

Dunia jurnalistik memang dari dulu tidak bisa lepas dari pengaruh, pesona, dan godaan dunia politik. Tetapi semua wartawan pastilah sudah sangat paham nilai sebuah berita dan pengaruhnya di masyarakat. Hal inilah yang membedakan seorang wartawan dan tukang cerita, apalagi pembual, pengadu domba, atau pembuat hoax.

Silakan berpolitik, berpandangan politik tetapi sebuah berita karya jurnalistik tetaplah sebuah berita yang lahir dari proses jurnalistik pula; yang harus dicek dan ricek, dikonfirmasi, diinvestigasi, hingga didukung studi literatur. Itu bukan hasil mencomot berita jalanan dan memajangnya di etalase media pemberitaan. 

Akhirnya Dewan Pers, PWI, AJI, dan organisasi pers lain seharusnya tidak melupakan agenda penting untuk memutuskan apakah kata "independensi wartawan" itu masih layak dipertahankan atau dimuseumkan saja.

Salam salaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun