Walaupun menyisakan persoalan etis, dan kalau di media elektronik menyangkut frekuensi milik publik, gelontoran berita negatif ini yang berdasarkan data dan fakta ini tidak akan semerusak berita hoax yang dibuat dengan mengubah fakta dan data dengan tujuan politis. Seperti yang terjadi saat ini, begitu banyak sampah berita hoax membanjiri medsos dengan informasi yang mengadu domba, kebencian, permusuhan bernuansa SARA, sampai isu kebangkitan PKI.
Dalam kondisi seperti ini, seharusnya media pemberitaan tetap mengambil posisi yang jelas dalam menyikapi persoalan berita hoax di medsos itu. Artinya, seperti saat dulu sebelum ada medsos, wartawan juga sudah terbiasa mendengar obrolan di warung kopi atau tempat kumpul masyarakat lain dengan beragam informasi. Semua itu adalah bahan yang bisa jadi fakta dan data setelah wartawan melakukan investigasi, konfirmasi, sampai studi literatur, untuk dijadikan berita.
Sejak dulu, sebelum ada medsos, informasi yang ada di masyarakat itu ya seperti itu. Informasi dari mulut ke mulut yang bisa sampai ke wartawan dan informasi berita dari wartawan yang dikonsumsi warga dan jadi obrolan juga. Semua campur aduk seperti asap rokok, aroma kopi, bau ketiak, dan aroma masakan enak. Tetapi wartawan tahu informasi itu tidak bisa diterima kebenarannya begitu saja.
Jadi secara prinsip, cara memperoleh informasi dan mengolahnya menjadi fakta dan data, tidak berubah. Kini hanya bertambah dengan obrolan dan isu yang ada di medsos. Tidak semua informasi dan isu di medsos itu salah atau benar, sebagaimana informasi dan isu di warung kopi.
Semua yang berkecimpung di dunia jurnalistik dan pemberitaan pasti tahu hal ini terkecuali mereka yang secara tiba-tiba dijadikan dan menjadikan dirinya sebagai wartawan. Tahapan pengolahan sebuah berita tentu telah jadi sistem yang baku, yang mengharuskan cek dan ricek, konfirmasi, kejelasan dan kredibilitas sumber berita, pemilihan diksi yang tepat, dan seterusnya.
Hanya saja memang ada tantangan baru yang berkaitan dengan kecepatan informasi yang lalu lalang di masyarakat yang begitu tinggi. Tentu ini membawa konsekuensi tersendiri dalam membuat berita yang juga harus mempertimbangkan hal itu dan juga media pemberitaan lain yang berpacu untuk menyajikan berita terkini. Inilah alasan yang sering dikemukakan ketika sebuah berita jadi masalah setelah dimuat atau ditayangkan.
Semua yang pernah bekerja di media pemberitaan pastilah pernah merasakan tekanan waktu dan jam tayang atau headline ini. Tetapi bisakah hal itu dijadikan alasan lahirnya sebuah berita hoax? Wartawan yang baik pasti akan menjawab tidak bisa.
Di sinilah perlunya prosedur baku dalam mengolah informasi dan data menjadi sebuah berita harus dijalankan secara ketat. Dan prosedur ini jelas tidak akan bisa dijalankan jika wartawan itu tidak menghargai nilai sebuah berita sehingga seenaknya sendiri membuat berita yang sesuai selera dan pandangan politiknya.
Berangkat dari kasus berita hoax yang sampai dimuat di Jawa Pos itu, mungkin perlu ditegaskan lagi pentingnya rasa hormat wartawan dalam menilai sebuah berita, karya jurnalistik mereka. Walaupun dalam sehari ada wartawan yang diwajibkan membuat lima berita supaya bisa mendapatkan penghasilan yang layak, tahapan pengolahan informasi dan data janganlah sampai dilanggar.
Dunia jurnalistik memang dari dulu tidak bisa lepas dari pengaruh, pesona, dan godaan dunia politik. Tetapi semua wartawan pastilah sudah sangat paham nilai sebuah berita dan pengaruhnya di masyarakat. Hal inilah yang membedakan seorang wartawan dan tukang cerita, apalagi pembual, pengadu domba, atau pembuat hoax.
Silakan berpolitik, berpandangan politik tetapi sebuah berita karya jurnalistik tetaplah sebuah berita yang lahir dari proses jurnalistik pula; yang harus dicek dan ricek, dikonfirmasi, diinvestigasi, hingga didukung studi literatur. Itu bukan hasil mencomot berita jalanan dan memajangnya di etalase media pemberitaan.Â