Ada destinasi wisata lokal di pantura Lamongan, Jawa Timur yang menjual nama unik. Ada hasilnya memang, orang jadi penasaran sehingga ingin datang. Tetapi sayang, nama itu ada yang sekedar nama tanpa didukung potensi wisata yang memadai sehingga malah membuat kecewa pengunjung. Inilah dampak menjamurnya usaha wisata masyarakat yang cenderung berjalan autopilot alias sak mlaku-mlakune.
Siapa yang tidak penasaran dengan nama Pantai Kutang (BH). Tentu banyak imajinasi dan pertanyaan bisa muncul karena disebutnya nama kutang. Ya... jangan salahkan kalau ada yang berimajinasi secara liar tentang kutang dan tentu saja "isinya". Apakah ada deretan kutang yang dijemur di sana sehingga disebut seperti itu. Atau, adakah sesuatu yang menyerupai kutang di pantai itu?
Akar Langit pun demikian. Terlebih dengan banyak beredar foto pohon trinil yang berbentuk tambang raksasa berbelit itu. Kita bisa saja teringat cerita anak-anak yang berjudul Kacang Ajaib, yang berkisah tentang seorang pemuda yang mendapat biji kacang ajaib, yang tumbuh tinggi menembus awan menuju istana yang dihuni raksasa, tempat emas perhiasan, itik bertelur emas, dan harpa sakti yang bernyanyi merdu. Akar Langit nama yang memancing imajinasi.
Tertarik nama unik yang bikin heboh di FB dan Instagram itu, saya dan istri akhirnya punya kesempatan juga ke tempat wisata itu, Pantai Kutang di Desa Labuhan Kecamatan Brondong dan Wanawisata Akar Langit di wilayah hutan Lembor, Kecamatan Brondong juga, sekitar 12 km ke selatan dari Pantai Kutang. Foto yang beredar, khususnya Akar Langit atau pohon trinil yang berusia ratusan tahun itu memang cukup menarik.
Dari Tuban, kedua objek wisata ini tidak terlampau jauh, hanya sekitar 25 km ke arah timur lewat jalan raya Daendels yang mulus, tak jauh dari perbatasan Tuban - Lamongan. Sebaiknya, gunakan kendaraan pribadi baik mobil atau motor atau minibus, untuk memudahkan perjalanan ke sana.
Angkutan umum memang ada yaitu mobil angkutan yang melayani rute Tuban-Paciran, tetapi hanya bisa sampai di jalan raya Daendels. Untuk ke lokasi ke Pantai Kutang ada dokar (andong atau delman) dari jalan perempatan Cakaran, tetapi untuk ke Akar Langit, dari perempatan Pambon angkutan umum belum tersedia terkecuali ojek (kalau pas ada).
Karena dari arah Tuban, Pantai Kutang lebih dulu bisa didatangi, kami memutuskan lebih dulu ke sana. Dari jalan perempatan cakar ayam di jalan raya Deandles, kami menuju Desa Labuhan di pantai utara atau belok kiri jika dari arah Tuban. Ternyata tempat yang kami datangi bukan tempat yang asing bagi saya. Ini tempat yang biasa dituju para pemancing dulu pada tahun 90'an. Desa ini memang punya hutan mangrove cukup luas.
Di Labuhan Timur yang dulu terkenal karena jadi habitat burung bangau tong tong dan aneka satwa, pernah ada pawang yang melindungi satwa itu. Namun kini para burung itu sering ditangkap sehingga jumlahnya jauh berkurang karena tak ada lagi pelindungnya. Pantai Kutang terletak di Labuhan Barat yang juga punya hutan mangrove. Dan tak tampak ada kawanan burung waktu kami ke sana.
Terus terang yang jadi perhatian saya adalah sebab objek wisata itu disebut Pantai Kutang. Tapi saya tak menemukan jawabannya. Tak ada kutang berderet dijemur, atau pemakai kutang berjemur seperti di pantai Kuta, Sanur, atau Legian. Tak ada pemandangan wanita berbikini juga. Jadi di mana kutangnya?Â
Untuk main air, saat surut bisa tapi kaki harus memakai sandal atau sepatu karena karang yang ada cukup tajam. Jangan bayangkan ada hamparan pasir yang sampai ke laut, seperti di Kuta. Tidak ada itu. Ya untuk sekedar swafoto, foto-foto di atas jembatan kayu sih boleh. Sayangnya kawasan hutan mangrove yang bisa lebih nenarik jika ditata, justru dibiarkan dan kotor. Ya, selain namanya yang menarik, Pantai Kutang, terus terang agak mengecewakan.
Tetapi itu penilaian subjektif saya. Kalau anda penasaran dan ingin membuktikan sendiri dan mungkin beruntung berhasil menemukan "kutang" di sana, ya silakan datang. Anda cukup membayar uang parkir yang sangat murah untuk menikmati objek wisata ini.
Dari Pantai Kutang, kami lantas meluncur ke Akar Langit di hutan Lembor. Tidak sulit menemukan lokasinya. Dari perempatan Cakaran jalan raya Deandles, kami ke timur hingga sampai Desa Pambon, ada perempatan jalan, kami berbelok ke kanan ke arah Lembor. Wanawisata Akar Langit sendiri tepatnya berada di Dusun Wide, Desa Sendangharjo Kec. Brondong, namun masuk kawasan hutan Lembor, yang termasuk wilayah Perhutani KPH Tuban.
Terus terang, yang kami bayangkan saat datang ke lokasi ini hanya pesona pohon trinil raksasa berusia ratusan tahun, yang muncul di foto yang tersebar di media sosial dan portal berita online. Ternyata, lagi-lagi kami kecele karena yang kami lihat dan nikmati justru lebih indah dari itu. (Maaf) Ini berkebalikan dengan yang kami temui di Pantai Kutang. Wanawisata Akar Langit tak hanya pohon trinil raksasa.
Ada beberapa pohon trinil lain selain pohon trinil raksasa itu. Dan tampaknya ada hubungan antara pohon satu dengan yang lain, seperti sambung menyambung. Di setiap pohon ini tampak para wisatawan antre untuk berselfi atau foto ramai-ramai.Â
Sayangnya penyakit semau gue juga mewabah di sini, yang mengancam kelestarian dan keselamatan pohon trinil langka itu. Para wisatawan dengan seenaknya melanggar wilayah teritorial pohon dan bahkan mendudukinya tanpa memperhitungkan beban yang harus ditanggung sang pohon trinil. Di situ saya sering merasa sedih. Akhirnya, saya pun dengan sukarela jadi juru "dakwah" agar mereka menaruh belas kasihan kepada sang pohon.
Untuk menuju tempat itu anda harus menaiki undakan cukup tinggi juga. Tapi jangan khawatir karena ada tali untuk pegangan di pinggir undakan. Ada beberapa bukit semacam ini di Wanawisata Akar Langit, tetapi yang paling menarik adalah bukit yang menuju lokasi perahu bambu yang ujungnya menggantung di awan ini.Â
Awalnya, karena berada di kerimbunan pohon yang relatif kurang cahaya, kami tidak tahu jika jalan berundak menuju Bukit Perahu itu akan menampilkan pemandangan yang begitu elok. Selain perahu dari bambu, di situ ada beberapa tempat lagi yang dibuat dari kayu untuk lokasi swafoto. Semuanya seperti tergantung di atas awan.Â
Beberapa pedagang yang menggelar dagangan ala kadarnya ada juga di atas bukit ini. Untuk anda yang kehausan atau lapar, cukuplah untuk sekedar membasahi tenggorokan dan mengisi perut dengan es degan, minuman ringan atau mi instan. Mungkin seharusnya para pedagang ini lokasinya harus ditata sehingga tidak menutupi keindahan alam di tempat ini.
Ada banyak objek yang bisa dinikmati di lokasi wanawisata ini, termasuk Goa Jepang, ular-ular yang dikandangkan di situ, dan objek pepohonan lain. Saya dan istri hanya kuat menjelajah dua tempat saja, pohon trinil raksasa dan Bukit Perahu itu.
Saat berada di Bukit Perahu, saya jadi teringat Negeri Atas Angin di Bojonegoro. Pemandangan di Bukit Perahu ini tak kalah eloknya, terlebih saat matahari terbit (andai saja saya bisa melihat dan memotretnya). Namun, memang tak ada pemandangan gunung-gunung seperti di Negeri Atas Angin. Ini menyadarkan saya, banyak tempat indah di sekitar kita yang selama ini tersembunyi dan tak tersentuh informasi. Media sosial membuka isolasi informasi itu sehingga saya bisa menikmatinya.
Berbeda dengan Pantai Kutang yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat, Wanawisata Akar Langit ini dikelola Karang Taruna setempat bersama Perhutani. Pengelolaannya juga masih sederhana. Tidak ada loket untuk bayar tiket, waktu saya ke sana. Hanya tampak beberapa remaja yang menarik uang masuk dan memberikan tiket seharga Rp 3.000 per orang. Sesederhana itu.
Parkir kendaraan di sediakan di pinggir jalan, dengan tarif Rp 2.000 untuk motor dan Rp 5.000 untuk mobil. Di samping area parkir ini, banyak berdiri kios dadakan milik pedagang makanan, minuman, cindera mata, hingga tanaman hias.
Menjamurnya objek wisata lokal yang dikelola secara swadaya atau patungan model Pantai Kutang dan Akar Langit ini memang sangat positif untuk mendongkrak perekenomian rakyat desa. Seharusnya hal ini mendapat dukungan penuh dari Pemda setempat dan bukan dibiarkan berjalan autopilot. Banyak lokasi wisata yang dikelola secara lokalan ini pesonanya tak kalah dengan objek wisata yang sudah punya nama secara nasional.
Aih... kok jadi nglantur kaya orang gede saja. Kembali ke Akar Langit. Setelah menikmati dua gelas degan yang keras karena sudah tua dan mi instan hangat dengan harga pasaran (Rp 5.000 untuk segelas es degan dan Rp 7.000 untuk mi instan cup) dan lelah berswafoto ria, kami pun pulang dengan puas.
Salam-salaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H