Tetapi itu penilaian subjektif saya. Kalau anda penasaran dan ingin membuktikan sendiri dan mungkin beruntung berhasil menemukan "kutang" di sana, ya silakan datang. Anda cukup membayar uang parkir yang sangat murah untuk menikmati objek wisata ini.
Dari Pantai Kutang, kami lantas meluncur ke Akar Langit di hutan Lembor. Tidak sulit menemukan lokasinya. Dari perempatan Cakaran jalan raya Deandles, kami ke timur hingga sampai Desa Pambon, ada perempatan jalan, kami berbelok ke kanan ke arah Lembor. Wanawisata Akar Langit sendiri tepatnya berada di Dusun Wide, Desa Sendangharjo Kec. Brondong, namun masuk kawasan hutan Lembor, yang termasuk wilayah Perhutani KPH Tuban.
Terus terang, yang kami bayangkan saat datang ke lokasi ini hanya pesona pohon trinil raksasa berusia ratusan tahun, yang muncul di foto yang tersebar di media sosial dan portal berita online. Ternyata, lagi-lagi kami kecele karena yang kami lihat dan nikmati justru lebih indah dari itu. (Maaf) Ini berkebalikan dengan yang kami temui di Pantai Kutang. Wanawisata Akar Langit tak hanya pohon trinil raksasa.
Ada beberapa pohon trinil lain selain pohon trinil raksasa itu. Dan tampaknya ada hubungan antara pohon satu dengan yang lain, seperti sambung menyambung. Di setiap pohon ini tampak para wisatawan antre untuk berselfi atau foto ramai-ramai.Â
Sayangnya penyakit semau gue juga mewabah di sini, yang mengancam kelestarian dan keselamatan pohon trinil langka itu. Para wisatawan dengan seenaknya melanggar wilayah teritorial pohon dan bahkan mendudukinya tanpa memperhitungkan beban yang harus ditanggung sang pohon trinil. Di situ saya sering merasa sedih. Akhirnya, saya pun dengan sukarela jadi juru "dakwah" agar mereka menaruh belas kasihan kepada sang pohon.
Untuk menuju tempat itu anda harus menaiki undakan cukup tinggi juga. Tapi jangan khawatir karena ada tali untuk pegangan di pinggir undakan. Ada beberapa bukit semacam ini di Wanawisata Akar Langit, tetapi yang paling menarik adalah bukit yang menuju lokasi perahu bambu yang ujungnya menggantung di awan ini.Â
Awalnya, karena berada di kerimbunan pohon yang relatif kurang cahaya, kami tidak tahu jika jalan berundak menuju Bukit Perahu itu akan menampilkan pemandangan yang begitu elok. Selain perahu dari bambu, di situ ada beberapa tempat lagi yang dibuat dari kayu untuk lokasi swafoto. Semuanya seperti tergantung di atas awan.Â
Beberapa pedagang yang menggelar dagangan ala kadarnya ada juga di atas bukit ini. Untuk anda yang kehausan atau lapar, cukuplah untuk sekedar membasahi tenggorokan dan mengisi perut dengan es degan, minuman ringan atau mi instan. Mungkin seharusnya para pedagang ini lokasinya harus ditata sehingga tidak menutupi keindahan alam di tempat ini.
Ada banyak objek yang bisa dinikmati di lokasi wanawisata ini, termasuk Goa Jepang, ular-ular yang dikandangkan di situ, dan objek pepohonan lain. Saya dan istri hanya kuat menjelajah dua tempat saja, pohon trinil raksasa dan Bukit Perahu itu.
Saat berada di Bukit Perahu, saya jadi teringat Negeri Atas Angin di Bojonegoro. Pemandangan di Bukit Perahu ini tak kalah eloknya, terlebih saat matahari terbit (andai saja saya bisa melihat dan memotretnya). Namun, memang tak ada pemandangan gunung-gunung seperti di Negeri Atas Angin. Ini menyadarkan saya, banyak tempat indah di sekitar kita yang selama ini tersembunyi dan tak tersentuh informasi. Media sosial membuka isolasi informasi itu sehingga saya bisa menikmatinya.