Berbeda dengan Pantai Kutang yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat, Wanawisata Akar Langit ini dikelola Karang Taruna setempat bersama Perhutani. Pengelolaannya juga masih sederhana. Tidak ada loket untuk bayar tiket, waktu saya ke sana. Hanya tampak beberapa remaja yang menarik uang masuk dan memberikan tiket seharga Rp 3.000 per orang. Sesederhana itu.
Parkir kendaraan di sediakan di pinggir jalan, dengan tarif Rp 2.000 untuk motor dan Rp 5.000 untuk mobil. Di samping area parkir ini, banyak berdiri kios dadakan milik pedagang makanan, minuman, cindera mata, hingga tanaman hias.
Menjamurnya objek wisata lokal yang dikelola secara swadaya atau patungan model Pantai Kutang dan Akar Langit ini memang sangat positif untuk mendongkrak perekenomian rakyat desa. Seharusnya hal ini mendapat dukungan penuh dari Pemda setempat dan bukan dibiarkan berjalan autopilot. Banyak lokasi wisata yang dikelola secara lokalan ini pesonanya tak kalah dengan objek wisata yang sudah punya nama secara nasional.
Aih... kok jadi nglantur kaya orang gede saja. Kembali ke Akar Langit. Setelah menikmati dua gelas degan yang keras karena sudah tua dan mi instan hangat dengan harga pasaran (Rp 5.000 untuk segelas es degan dan Rp 7.000 untuk mi instan cup) dan lelah berswafoto ria, kami pun pulang dengan puas.
Salam-salaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H