Saya bertanya-tanya atas sigapnya aparat kepolisian, malam-malam menangkap Dyan warga Tangerang karena mengunggah meme yang dinilai menghina Setya Novanto ketua DPR yang terseret kasus E-KTP itu. Namun, saya prihatiiiinnn....kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan kok penanganannya seperti macet dan tak ada kelanjutannya.
Sebenarnya, saya ingin mengutarakan rasa bertanya-tanya dan rasa prihatiiiiiinnn itu dalam bentuk meme yang lucu, satir, menggemaskan, memprihatinkan, membuat ngakak, dan menyentuh nurani. Namun  saya bukan ahli pembuat meme, jadi keinginan saya tinggal hanya keinginan.Â
(Jangan bilang-bilang ya, saya sebenarnya juga takut ditangkap malam-malam seperti Dyan. Itu jelas akan membuat shock keluarga, tetangga, dan handai taulan. Yang tak paham bisa menganggap saya teroris....#teroris meme)
Karena itulah saya memilih jalan setia ini, menulis di blog Kompasiana. Saya yakin, tak ada efek domino meme Setya Novanto itu di blog keroyokan ini. Sebagai warga negara, saya punya hak menilai para pemimpin dan kinerja mereka. Sebagai warga negara, saya punya hak mengutarakan penilaian itu untuk kemaslahatan bersama. Saya tidak "misuhi" mereka misalnya dengan kata "dancuk koen". Saya hanya menilai, masak dilarang, masak itu kejahatan luar biasa.
Oleh karena itu, sebenarnya apa yang saya lakukan ini dengan membuat artikel opini, menilai, dan menanggapi sepak terjang para pemimpin dan kineja mereka, ya bolehlah dianggap senafas dengan pembuat meme itu. Terus terang saya lebih bersahabat dengan karikatur daripada meme, walau mereka bersaudara. Jadi bisa dibayangkan jika membuat karikatur dan meme dianggap kejahatan luar biasa dan harus ditangkap malam-malamÂ
Artinya, nasib pembuat karikatur, meme, dan juga penulis opini di blog seperti saya juga sewaktu-waktu bisa bernasib sama dengan Dyan. Kalau begitu, supaya tidak timbul korban lebih banyak, bagaimana kalau menulis opini yang menilai publik figur, pejabat, kinerja pemerintah dilarang saja? Pembuatan karikatur dan meme juga diharamkan karena bisa menyinggung perasan, membuat malu, tersipu-sipu, dan membangkitkan kemarahan si anu.
Kan enak seperti itu. Dunia medsos jadi adem tentrem dan hanya berisi gambar yang indah, elok, dan permai. Isinya hanya kalimat cinta, sayang, dan pujian. Para koruptor, publik figur, dan pejabat bisa tenang bekerja. Adem tentrem. Tidak perlu lagi dibentuk Densus Antimeme yang memboroskan APBN.
Jika seperti itu yang diinginkan, mari kita amandemen lagi UUD '45 Pasal 28 dan UU turunannya. Beres. Jangan lupa setelah tercapai, tetapkan tamggalnya sebagai "Hari Kesaktian Meme" untuk mengenang pengorbanannya demi terciptanya masyarakat yang adem tentrem.
Kembali ke persoalan penanganan kasus meme Setya Novanto yang terkesan garang, cepat, berdaya guna, dan penanganan kasus penyerangan penyidik KPK Novel Baswedan yang tak kunjung jelas. Kedua kasus ini saya sandingkan karena keduanya ditangani kepolisian. Kedua kasus ini juga punya sangkut paut yaitu di KPK.Â
Meme Setnov muncul terkait kasus korupsi yang ditangani KPK; Novel Baswedan disiram air keras adalah penyidik di KPK. Namun, bukan maksud saya untuk menyatakan bahwa penyerangan Novel terkait penanganan kasus Setya Novanto. Itu terlalu jauh, itu domain kepolisian. Dan, yang pasti hingga kini belum ada informasi jelas soal kasus penyerangan Novel ini.
Cepatnya penanganan kasus pengunggahan meme Setya Novanto, yang berbanding terbalik dengan penanganan kasus penyerangan Novel Baswedan, itulah yang bisa menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan. Pertanyaannya, "polisi ini sebenarnya memihak siapa, koruptor atau yang melawan koruptor?" Kecurigaannya, polisi tidak mendukung kinerja KPK dan cenderung memusuhinya, apa pun alasannya.
Pertanyaan dan kecurigaan itu yang bisa menjawabnya hanya pihak kepolisian sendiri. Dan rasanya, jawaban atas pertanyaan dan kecurigaan itu sudah tidak cukup dengan kata-kata tetapi harus berupa tindakan nyata. Namun, maukah polisi melakukannya? Rasanya kok banyak yang akan meragukannya
Oleh karena itu, seharusnya institusi yang membawahkan kepolisian, yang harus peka menangkap situasi ini. Presiden selaku atasan langsung kapolri seyogyanya tidak lagi bersikap pasif dengan menyerahkan sepenuhnya penanganan perkara penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan ke kepolisian. Kalau memang kenyataannya diperlukan sebuah tim gabungan pencari fakta untuk mengungkap kasus itu, mengapa pula harus ragu.
Kenyataan menunjukkan hingga hari ini (hari ke-207), sejak terjadinya penyerangan terhadap Novel Baswedan usai sholat Subuh di Masjid Jami Al-Ihsan di RT 003 RW 010 Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara, 11 April 2017, kasus itu tidak jelas. Kurangnya barang bukti jadi alasan sulitnya mengungkap kasus ini, yang disebut lebih sulit dari pengungkapan kasus Bom Bali.
Dengan dasar itu, sebuah tim gabungan pencari fakta tentu bisa membantu tugas pengungkapan. Kalau memang polri sudah kesulitan, mengapa pula menolak pembentukan tim gabungan pencari fakta. Memang banyak informasi tak sedap soal sulitnya pengungkapan kasus ini, misalnya soal keterlibatan jenderal polisi. Informasi semacam ini tentu perlu kejelasan.
Yang terjadi justru sebaliknya, penanganan kasus penyerangan terhadap Novel ini justru terkesan "tertatih-tatih". Sebuah kondisi yang mengherankan mengingat SDM yang dimiliki polri cukup mumpuni. Yang justru terdengar malah ada upaya pihak luar membuka kasus lama Novel (yang sudah dihentikan penuntutannya oleh kejaksaan) dan menjadikan dia tersangka.
Terkait pentingnya pembentukan tim gabungan pencari fakta kasus penyerangan terhadap Novel itu, pendapat mantan ketua MK Mahfud MD cukup menarik:Â
"Menurut saya, mengungkap kasus Novel ini tidak sulit. Tinggal mau atau tidak." Di sisi lain, rakyat dan sejumlah LSM mendesak Presiden Joko Widodo segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kasus Novel Baswedan.... "Ketika itu dibentuk tim pencari fakta, rakyat akan puas karena rakyat melihat sudah dibentuk TGPF-nya. Memang mungkin lebih baik dibikin." [1]
Jadi, mengacu pendapat Mahfud MD, mengungkap kasus Novel itu sebenarnya tidak sulit dan tinggal mau atau tidak. Lha kalau begitu mengapa kok penanganan kasus ini hingga hari ke-207 kok masih tidak jelas hasilnya? Apakah itu berarti itu kurang "mau"nya? Kalau memang demikian, "mau"nya memang harus ditambah. Mungkin memang diperlukan energi tambahan untuk mendongkrak "mau"nya itu.
Dalam konteks ini, pembentukan tim gabungan pencari fakta kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan sangat tepat adanya. Keberadaan tim ini bisa jadi energi tambahan yang bisa mendongkrak "mau"nya tadi, sehingga kasus ini bisa diselesaikan dan penjahatnya bisa ditangkap dan dipenjara.Â
Namun, lagi-lagi pembentukan tim gabungan ini memang harus dengan persetujuan dan perintah presiden. Pertanyaannya, apakah presiden "berkenan" karena ini menyangkut relasi presiden dengan kapolri dan jajarannya. Ya, kita berharap baik saja dari keduanya, baik presiden maupun kapolri untuk legowo membentuk tim gabungan pencari fakta itu.
Kalau tidak mau dan tidak legowo bagaimana? Udah ah, jawab sendiri saja.
Salam-salaman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H