Tiba-tiba aku berasa ada dilema yang menyesakkan dada. Mungkin saja rasa sesak ini juga akibat angin liar yang menyodok datang tanpa diundang, sementara aku lupa minum tolak angin. Sungguh masalah ini buat aku kentut tak sopan, karena bunyinya begitu ngerock. Padahal biasanya aku suka menyiulkannya dengan irama jazz blues, serak-serak mendayu.
Akhir-akhir ini, di tengah musim pancaroba yang tak jelas, angin liar memang suka datang semau-maunya. Jangan tanya, apakah angin punya hubungan mesra dengan gerimis manis yang sering datang tanpa diundang juga. Di tempatku, hal semacam itu sudah jadi kebiasaan yang percuma untuk ditanyakan. Desa tetangga boleh kering oleh matahari yang menyengat, namun gerimis manis atau hujan gak jelas justru turun dengan nikmatnya di tempatku.
Anomali cuaca itu tak pernah ada yang mempersoalkannya, misalnya dengan menggelar seminar nasional dengan mengundang pakar dari Badan Meteorologi dan Geofisika. Paling banter, ada celetukan mesra dari orang kampung, "ojo kagetan, ojo gumunan, ojo protesan, kabeh wes enek sing ngatur." Beres. Semua bisa diterima dengan lapang dada dan penuh rasa syukur.
Tapi urusan dilema itu belum selesai. Ada nama yang menyedot perhatianku, tetapi aku tak bisa memutuskan dia itu masuk kategori manusia apa. Yang satu ini adalah pribadi yang konsisten sejak muda dengan semboyannya "jatuhkan penguasa". Siapa pun penguasa yang tak berkenan di hatinya, akan diteriaki dengan semboyannya itu.
Apalagi jika penguasa itu sampai berani mengusiknya, tidak ada ampun. Ironinya, penguasa yang dijatuhkan di masa lalu, tanpa rasa sungkan dan malu diajaknya berkongkalikong menjatuhkan penguasa masa kini. Tak ada kawan dan lawan abadi, yang ada kepentingan bersama. Itulah kesetiaan dalam hidupnya.Â
Karena itu tidak heran dia justru menyerukan "Perang Badar" dalam even pilkada yang dilaksanakan sebagai pesta demokrasi bagi rakyat. Mungkin dia memandang bunuh-bunuhan dalam pesta demokrasi itu wajar saja. Bisa pula dia bingung membedakan antara pesta demokrasi dan perang karena usianya sudah uzur.
Faktor terakhir ini sangat mungkin terjadi, karena tampaknya dia juga lupa dengan nazarnya untuk jalan kaki Jogja-Jakarta. Itu nazar diungkapkannya ketika pilpres 2014 lalu, kalau Jokowi jadi presiden dia akan jalan kaki Jogja-Jakarta. Nah, sekarang Jokowi sudah tiga tahun jadi presiden, tapi dia belum juga jalan kaki Jogja-Jakarta. Ya, bisa jadi fisiknya tak mendukung.
Tapi kalau dia benar ingin melaksanakan nazar itu, selalu ada jalan. Misalnya, dengan cara menyewa truk tronton pengangkut kontainer yang diberi atap tambahan agar tidak panas. Nah, dia cukup berjalan di atas truk, sementara kendaraan itu jalan. Selain cepat sampai, dia bisa menyiapkan tim pemijat yang menemaninya di atas truk.Â
Soal pemandu sorak, tidak perlu khawatir karena pasti masyarakat akan dengan suka dan rela akan mengelu-elukanya. Apalagi, kalau truk kontainer itu juga dilengkapi tulisan besar "Nazar Jalan Kaki Jogja-Jakarta". Tentunya tidak lupa, ada grup musik elekton yang setia dengan alunan lagu-lagu Bang Rhoma Irama. Dijamin, televisi CNN juga berminat untuk menayangkannya.
Apakah itu memenuhi syarat nazar jalan kaki Jogja-Jakarta? Rasanya kok tetap memenuhi syarat. Dia kan tetap jalan kaki, to, meski di atas truk tronton. Nazarnya kan tidak menyebut jalan kaki di atas jalan, di atas tanah, di atas rumput. Yang penting jalan kaki. Jadi, jalan kaki di atas truk tronton juga sah saja.
Perkara nanti truk itu dilarang masuk kawasan Monas, itu masalah sepele. Dia bisa turun di bundaran HI dan terus jalan kaki ke Monas. Nazar jalan kaki Jogja-Jakarta terpenuhi sudah. Jadi, sebenarnya nazar itu bisa dilaksanakan walau dia sudah uzur saat ini. Tim pemijat, grup musik elekton, dan truk tronton bisa membantunya.