Gerakan Pemuda (GP) Ansor telah mengambil sikap untuk menentang cagub-cawagub yang didukung kelompok Islam radikal. Mereka menyatakan dukungan penuh untuk pasangan Basuki-Djarot karena keduanya dinilai sebagai wasilah untuk mempersatukan negeri. Ini semakin memperjelas peta politik Pilkada DKI Jakarta 2017.
Dukungan penuh GP Ansor yang diikuti pengerahan anggotanya untuk ikut mengamankan kawasan yang rawan intimidasi terhadap pendukung Basuki-Djarot (di antaranya dengan mendirikan posko yang dijaga Banser NU), setidaknya bisa memberikan rasa lebih aman kepada mayarakat untuk menyalurkan aspirasinya di pilkada. Mereka tidak perlu takut lagi dengan segala macam intimidasi yang sejak awal telah mewarnai proses pesta demokrasi ini.Â
Dengan adanya upaya penuh pengamanan oleh Polri, TNI, juga bantuan tenaga dari Ansor, tentunya ruang gerak para pengintimidasi dan pembuat teror lain bisa ditekan dan diperkecil. Para pengintimidasi dan pembuat teror selama ini begitu leluasanya bergerak dalam aksi di lapangan maupun medsos. Isu yang memecah belah, meneror, dan memutarbalikkan fakta jadi garapan rutin mereka.
Tak bisa dipungkiri, kelompok Islam garis keras berada di balik semua aksi itu. Merekalah yang selama ini membawa panji-panji perlawanan terhadap Basuki-Djarot, Jokowi, bahkan hendak mengubah NKRI menjadi negara besyariah ala khilafah. Cap kafir, munafik, dan sejenisnya adalah ucapan umum untuk menyerang masyarakat yang tak sepaham dengan mereka.
Aksi demo berjilid-jilid, yang juga diwarnai aksi makar berjilid, adalah produk mereka. Islam yang rahmatal lil alamin mereka ubah jadi Islam yang pemarah dan mau menang sendiri. Bahkan persoalan yang paling sensitif yaitu kematian pun mereka politikkan dengan mengeluarkan larangan menyolati jenazah pendukung Basuki-Djarot. Entah, Islam macam apa itu.
Adalah tepat jika Ansor menilai Basuki-Djarot adalah wasilah (perantara) untuk mempersatukan NKRI. Pasangan ini yang cukup lama dikuyo-kuyo oleh kelompok radikal itu, telah berhasil membangkitkan kesadaran bahwa NKRI telah dirongrong secara sistematis oleh kelompok Islam radikal yang hendak mengubah NKRI menjadi negara bersyariah versi mereka.Â
NKRI yang berdasarkan Pancasila hendak mereka ubah menjadi NKRI bersyariah, nama lain dari negara khilafah. Upaya ini tampak jelas dari aksi mereka di berbagai tempat dan juga demo berjilid-jilid yang diwarnai dengan pengibaran bendera panji-panji perjuangan mereka, termasuk bendera ISIS. Sebuah fakta yang jelas dan terekam dengan apik di berbagai media.
Even Pilkada DKI Jakarta 2017 telah mereka manfaatkan sebaik-baiknya dengan jargon melawan cagub non-muslim, penista agama, dan seterusnya. Tetapi, yang mereka sasar bukan Basuki-Djarot semata, namun Presiden Jokowi sebagai simbol negara. Mereka goyahkan persatuan anak bangsa dengan isu sektarian agama, mereka gelorakan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah dengan ancaman "revolusi".
Gerakan mereka mendapat tempat karena ada parpol dan politisi yang mau bersinergi dengan mereka, demi dukungan politik. Ada pula paslon cagub-cawagub yang bersedia bersinergi dengan mereka, bersikap tawadhuk pada pemimpin kelompok ini, bahkan mendukung gerakan bersyariah mereka.Â
Ini menunjukkan kepentingan politik parpol, juga kepentingan politik sesaat untuk meraih jabatan kepala daerah DKI Jakarta, telah mengalahkan kepentingan menjaga dan menegakkan NKRI yang berdasarkan Pancasila. Sebuah kenyataan yang mengkhawatirkan.
Adalah wajar jika Gerakan Pemuda Ansor organisasi pemuda NU yang telah mengikrarkan sebagai penjaga NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD '45, menilai perkembangan politik pada Pilkada DKI 2017 sudah menjadi ancaman bagi kesatuan Indonesia. Kondisi di DKI Jakarta bisa merembet ke daerah lainnya.Â
Adalah wajar pula, jika Gerakan Pemuda Ansor menegaskan sikap untuk menentang cagub-cawagub yang didukung kelompok Islam radikal. Sangat berbahaya, memberi tempat kepada kelompok radikal untuk mempengaruhi pemerintahan DKI Jakarta lewat cagub-cawagub yang mereka dukung. Jika ini terjadi, maka tak hanya Jakarta yang menerima akibat tetapi juga daerah lain, seperti efek domino.
Mungkin, itulah penjelasan yang tepat untuk memahami ucapan Ketua GP Ansor Yaqut Cholil, "Maka ketika ada acaman terhadap Indonesia, GP Ansor pastikan ada di garis terdepan.... Kita harus menggunakan momentum ini, Pak Ahok dan Pak Djarot sebagai wasilah atau perantara untuk mempertahankan negara ini. Ini wasilah."Â
Ucapan itu dipertegas pula dengan pernyataan Ketua GP Ansor DKI Jakarta Abdul Azis, "Kami sangat menolak calon gubernur yang didukung Islam radikal dan Islam garis keras....Ansor dihina dari zaman Gus Dur sudah biasa. Dibilang kafir, munafik sudah biasa. Tapi kalau sudah merusak tatanan NKRI dan demokrasi, pasti akan kami lawan." (kompas.com, 7/4/2017)
Kini semua menjadi jelas, siapa yang didukung kelompok garis keras dan radikal, siapa pula yang menjaga NKRI, menghormati kebhinekaan, dan merawat persatuan. Masyarakat DKI tentu akan bijak dalam memilih. Yang pasti, teror dan intimidasi dengan berbagai bentuknya tak perlu ditakuti. Mari dilawan bersama, sebagaimana sikap tegas GP Ansor saat ini.
Salam, damai Indonesiaku
Bacaan pendukung:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H