Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Parpol Masuk KPU dan Curang Berjamaah a la Fahri Hamzah

24 Maret 2017   14:29 Diperbarui: 24 Maret 2017   14:48 1229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya kali ini harus angkat helm untuk Fahri Hamzah wakil ketua DPR tanpa partai itu. Dia punya konsep menarik tentang arti curang yang "haram" dan curang berjamaah yang "halal" dalam urusan penyelenggaraan pemilu di KPU. Ini terkait usulan pansus RUU Pemilu agar orang parpol bisa jadi anggota KPU lagi.

Sebenarnya, sudah lama ada aturan orang parpol dilarang keras memasuki area internal penyelenggaraan pemilu, baik di KPU, Bawaslu, maupun di DKPP. Aturannya jelas, jika anggota parpol ingin jadi anggota lembaga penyelenggata pemilu, dia harus sekurang-kurangnya sudah lima tahun mundur dari keanggotaan parpol.

Aturan itu merupakan ketetapan Pasal 11 UU No 15 Tahun 2011, yang diperkuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi tertanggal 4 Januari 2012 yang dibacakan Mahfud MD, selaku ketua majelis hakim MK. Pada putusan uji materi tentang syarat penyelenggara pemilu pada UU itu, syarat orang parpol kalau ingin jadi anggora KPU diperberat dengan "sekurang-kurangnya sudah lima tahun mundur dari parpol".

Di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), keanggotaan parpol dan pemerintah yang diatur Pasal 109 ayat (4) huruf c, huruf d, dan huruf e juga dihilangkan. Sehingga lembaga itu hanya diisi oleh satu orang unsur KPU, satu orang unsur Bawaslu, dan lima orang tokoh masyarakat. Jadi parpol jelas diharamkan jadi penyelenggara pemilu. Semua itu untuk menjamin penyelenggara pemilu benar-benar mandiri dan profesional.

Tetapi, rupanya Pansus RUU Pemilu DPR yang habis kunker ke Meksiko dan Jerman punya ilmu baru dan langsung ingin menerapkannya, yaitu mengembalikan perwakilan parpol di lembaga penyelenggara pemilu, KPU. Yandri Susanto wakil pansus itu beralasan, keanggotaan KPU di Jerman terdiri dari delapan orang berlatar belakang partai politik, dan dua orang hakim untuk mengawal bila muncul permasalahan hukum.

Jadi menurut dia, penyelenggara pemilu yang berlatar belakang partai politik, justru meminimalkan kecurangan. Artinya lagi, bisa dianggap dia menilai situasi penyelenggaraan pemilu di Jerman sama dengan Indonesia; yang baik di Jerman tentu baik di Indonesia. Jadi, mengapa pula Indonesia tidak meniru Jerman.

Yandri lupa, wacana itu sudah usang dan sudah pula diputus MK pada 4 Januari 2012. Yandri juga seperti "lupa" soal rencana penerapan e-vote yang jadi tujuan studi banding itu. Meski di Jerman e-vote sudah tidak dilakukan karena banyak kelemahan, seharusnya kelemahan itulah yang jadi bahan kajian dan bukannya mundur ke belakang ke situasi Pemilu 1999, ketika parpol terlibat dalam penyelenggaraan pemilu.

Tentu saja, ide pansus itu langsung mendapat penolakan keras baik dari luar DPR maupun dari kalangan internal DPR. Fadli Zon sahabat setia Fadli Zon misalnya tidak sependapat dengan gagasan parpol masuk KPU itu. Situasi Pemilu 1999 saat parpol terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu berbeda dengan situasi paska reformasi.

Fadli menilai perwakilan dari parpol di KPU tidak bisa menjamin tidak ada kecurangan dalam Pemilu. Bisa saja keberadaan parpol di KPU bisa meminimalkan kecurangan karena saling kontrol, tetapi itu belum tentu bisa jadi kenyataan. (merdeka.com, 23/3/2017)

Taufik Kurniawan wakil ketua DPR yang lain, juga tegas menolak wacana yang disebutnya tidak masuk akal alias di luar nalar. Dia menganalogikan wacana tersebut dengan sebuah pertandingan olahraga, KPU sebagai wasit dan peserta pesta demokrasi sebagai pemain. Menurutnya, tak mungkin jika wasit dan pemain berasal dari kelompok yang sama karena akan menimbulkan ketidakadilan. (kompas.com, 23/3/2017)

Nah, ternyata Fahri Hamzah punya pendapat yang agak khusus dan membuat saya harus angkat helm untuknya. Dia sepakat perwakilan parpol ada di keanggotaan KPU dengan alasan parpol sebagai peserta pemilu bisa saling mengawasi kalau sama-sama berada di keanggotaan KPU.

"Saya lebih cenderung memang KPU adalah perwakilan partai. Udah di-fixed-kan aja gitu. Toh kan ini tentang partai semua.... Kalau ada curang di situ ya udah curang semua. Mau curang, curang aja, orang yang curang mereka. Enggak apa-apa, orang curangnya bareng-bareng....Kecuali kalau yang mau dicurangin ada di luar. Kalau ini yang dicurangin kan ada satu meja sama dia. Biar mereka aja curang. Urusan mereka kok." (kompas.com, 23/3/2017)

Pernyataan Fahri Hamzah itu menyadarkan saya bahwa pemilu itu selama ini telah dipandang sebagai kepentingan partai semata oleh orang parpol. Karena itu wajar pula jika KPU dipandang sebagai kepanjangan kepentingan partai untuk melaksanakan pemilu. Sebagai kepanjangan kepentingan partai, wajar juga jika KPU dipandang sebagai perwakilan partai.

Karena itu pula, berkumpulnya orang parpol di KPU dinilai positif karena bisa saling mengontrol, saling memelototi kalau ada kecurangan. Kalau curang ya boleh saja, halal-halal saja, asal dilakukan berjamaah berdasar asas mufakat. Kan curangnya sudah dimufakati bersama, jadi tidak ada yang rugi. Semua senang, semua untung, semua bisa happy-happy.

Yang jadi masalah, seperti kata Fahri, kalau curangnya di luar forum, tidak berdasar mufakat. Itu yang haram karena berpotensi merugikan parpol yang tidak curang. Selama curangnya disepakati di satu meja di KPU, halal. Tapi, kalau curangnya di luar itu ya haram. Inilah hukum curang dalam pemilu ala Fahri Hamzah.

Pertanyaannya, kalau seperti itu di mana kepentingan rakyat dalam pelaksanaan pemilu? Bukankah pemilu itu untuk memilih wakil rakyat untuk duduk di DPR, DPD, dan DPRD, juga presiden dan kepala daerah? Sementara parpol diamanati UU untuk mempersiapkan kader yang akan dipilih rakyat. Jadi semacam bagi-bagi tugas untuk keberlangsungan NKRI ini. Pertanyaan itu mungkin dianggap terlalu idealis bagi sebagian orang.

Rakyat itu pada kenyataannya kan selama ini hanya dipandang sekedar objek yang diperintahkan oleh undang-undang untuk memilih dalam pemilu. Itu semua demi kepentingan parpol yang akan menempatkan orangnya di DPR, DPD, DPRD, atau untuk menjabat presiden dan kepala daerah.

Dengan pandangan semacam itu, kita bisa memahami pendapat dan alasan Fahri Hamzah mendukung adanya perwakilan di KPU. Pemilu itu dilakukan demi kepentingan parpol, bukan rakyat yang memilih. Jadi nilai curang itu diukur dengan nilai kepentingan parpol.

Namun, masalahnya pemahaman itu bertentangan dengan demokrasi yang kita anut, yaitu kekuasaan ada di tangan rakyat. Apa ini juga telah dianggap hanya sebuah teori dari kelaziman bernegara di dunia? Bisa jadi.

Jika memang pemilu dianggap representasi kepentingan parpol, demikian juga KPU sebagai penyelenggara, seharusnya nama lembaga negara kita harus kita ubah. Ini kalau mau fair dan konsekuen. Misalnya Dewan Perwakilan Rakyat jadi Dewan Perwakilan Parpol, Dewan Perwakilan Daerah jadi Dewan Perwakilan Daerah Parpol, dst.

Majelis Permusyawaratan Rakyat jadi Majelis Permusyawaratan Parpol. Negara kita yang diproklamasikan pada1945 dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia harus diproklamasikan ulang dengan nama Negara Kesatuan Parpol Indonesia.

Lantas siapa rakyatnya dong? Rakyatnya ya mungkin orang-orang yang sependapat bahwa KPU itu adalah perwakilan partai politik, pemilu itu untuk kepentingan partai politik, sementara pemilih dalam pemilu itu hanya objek penderita. Saya jelas tidak mau masuk golongan itu.

Salam-salaman

Bacaan pendukung: 1, 2, 3 dan 4.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun