Tak ada salahnya, Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) yang dikoordinatori Boyamin Saiman melaporkan Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR Republik Indonesia. Tetapi rasanya kok kurang tepat kalau MAKI berharap banyak atas laporannya itu jika MKD ternyata masih sangat bersahabat orang yang dilaporkannya itu.
Apalagi, kalau MAKI sampai berharap MKD akan memberlakukan sanksi akumulatif atas Setya Novanto. Itu harapan berlebihan dan bisa berbuah kekecewaan. Alasannya sederhana, Setya Novanto sudah beberapa kali berurusan dengan MKD lembaga penegak etik anggota dewan itu. Tapi, Setya Novanto selalu lolos dengan sukses.
Bahkan, lembaga itu juga dengan gagah dan berani merehabilitasi nama baik Setya Novanto karena Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan keputusan yang menyatakan rekaman elektronik yang diambil tidak atas permintaan petugas hukum, tidak bisa dijadikan alat bukti. Jadi MKD telah berani memposisikan dirinya sebagai penegak hukum dan bukan lagi penegak etika.Â
Sebagai penegak hukum maka alat bukti yang dihadirkan ke persidangan harus menenuhi syarat hukum. Rekaman pembicaraan Setya Novanto, Reza Chalid, mantan direktur Freeport Ma'roef Sjamsoeddin yang dikenal sebagai rekaman "Papa Minta Saham", karena diambil tidak atas permintaan penegak hukum, dinyatakan MK tidak sah. Karena itu MKD juga menganggap alat bukti yang diserahkan mantan menteri ESDM Sudirmn Said itu tidak sah.
Sebagai lembaga penegak etik dewan, MKD seharusnya meletakkan kajian untuk dasar keputusannya kepada substansi isi pembicaraan dalam rekaman itu dan bukannya kepada cara memperoleh rekaman. Suara dalam rekaman itu dinilai banyak ahli sebagai suara asli. Ma'roef Syamsoeddin juga telah mengiakan adanya pembicaraan itu. Â
Jadi, jika MKD objektif dan netral dalam menangani kasus itu seharusnya keputusan jelas dan tidak mbulet, yaitu Setya Novanto telah melanggar etika dan patut diberi sanksi. Dan saat persidangan kasus itu di MKD mendekati akhir, beberapa anggota telah mengambil keputusan untuk menjatuhkan sanksi berat.Â
Tetapi saat itu, Setya Novanto memutuskan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua DPR, sebelum MKD mengetuk palu untuk menjatuhkan sanksi kepadanya. Ada yang berpendapat, MKD telah menjatuhkan putusan meski Setya Novanto menyatakan mundur. Ada pula yang berpendapat MKD tak pernah mengambil keputusan, artinya Setya Novanto tidak pernah diberi sanksi.Â
Dengan dasar itulah, setelah badai "Papa Minta Saham" mereda dan Setya Novanto terpilih sebagai ketua umum Golkar, MKD melakukan langkah berani dengan merehabilitasi nama baik Setya Novanto. Padahal kasusnya sendiri masih digantung Kejaksaan Agung karena Reza Chalid yang jadi rekanan Setya Novanto dalam rekaman "Papa Minta Saham" menghilang entah kemana.
Langkah MKD itu kemudian terbukti untuk memuluskan jalan Setya Novanto untuk menduduki jabatan ketua DPR lagi dengan mendongkel Ade Komaruddin yang menggantikannya. Ironisnya Ade Komaruddin dilaporkan Bowo Sidik Pangarso dari Fraksi Golkar mewakili 36 anggota Komisi VI DPR, ke MKD karena masalah mitra BUMN.Â
Sementara di internal Partai Golkar, sebelumnya sudah keluar wacana untuk mendudukkan kembali Setya Novanto sebagai ketua DPR. Wacana ini muncul dari orang-orang dekat Setya Novanto, yang saat itu sudah berhasil menjabat ketua umum Partai Golkar. Padahal dalam masa kampanyenya, dia pernah berjanji tidak akan merangkap jabatan.
Kini, setelah Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) melaporkan Setya Novanto ke MKD karena telah melakukan pembohongan di depan publik, tampaknya atmosfer di MKD belum banyak berubah. Setya Novanto memang layak dilaporkan karena menyatakan tidak pernah bertemu nama-nama yang disebutkan dalam dakwaan jaksa di persidangan kasus korupsi E-KTP seperti Andi Agustinus atau Andi Narogong, Sugiharto, dan Irman.Â
Sementara MAKI mempunyai bukti sebaliknya yang menunjukkan Setya Novanto pernah bertemu dengan mereka. Bukti pertemuan itu juga didukung dengan foto resmi, serta catatan adanya pertemuan pagi hari di Hotel Gran Melia di acara resmi Kemendagri pada sekitar akhir 2010 dan awal 2011.
Tujuan pelaporan ini jelas, yaitu agar MKD memprosesnya dan menjatuhkan sanksi kepada Setya Novanto. MAKI mempunyai keinginan agar Setya Novanto dicopot dari jabatannya sebagai ketua DPR (padahal jabatan itu baru saja direbutnya kembali dari Ade Komaruddin). Inilah yang saya sebut jangan berharap terlampau banyak di awal tulisan ini.
Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad sendiri menyatakan secara fakta Setya Novanto bersih dari sanksi MKD. Kunjungan ke AS dan hadir di acara konpers kampanye Donald Trump saat itu bersama Fadli Zon, juga tidak berbuah sanksi melainkan peringatan dari MKD. Sementara kasus "Papa Minta Saham" namanya telah direhabilitasi paska keputusan MK.
Dia juga menganggap laporan atas Setya Novanyo oleh MAKI itu sebagai hal biasa. MKD akan memprosesnya sesuai tata beracara di MKD. Sebelum pelaporan MAKI ini, ketua MKD menyebut Settya Novanto sudah dua kali dilaporkan yaitu pada bulan Februari dan awal Maret, tetapi tidak disebut siapa pelapornya.
"Jadi laporan ini akan kami tindak lanjuti seperti biasa saja, ada proses verifikasi yang harus dijalani dan saya enggak boleh berkomentar tentang sanksi karena nanti seolah arahnya sudah akan memberi sanksi." (kompas.com, 17/3/207)
Namun, suara berbeda datang dari Wakil Ketua MKD Syarifuddin Suddin yang mengindikasikan pihaknya tidak akan menindaklanjuti laporan terkait Setya Novanto. Sebabnya, laporan tersebut sudah masuk dalam ranah hukum di persidangan. "MKD akan memberi ruang penegak hukum menyelesaikan kasus itu dan MKD tidak akan menindaklanjuti kasus seperti itu." (tempo.o, 17/3/2017)
Jadi, memang belum jelas benar bagaimana perjalanan kasus pelaporan MAKI ke MKD terkait Setya Novanto ini, termasuk dua kasus sebelumnya seperti yang disebut ketua MKD itu. Pastilah kembali terjadi tarik ulur dan walaupun akhirnya MKD memutuskan menggelar sidang, sulit terlaksana dalam waku dekat.Â
Tidak salah juga kalau ada yang menyebut MKD ini sudah tak punya taji kalau berhadapan dengan Setya Novanto. Misalkan saja alasan yang disebut wakil ketua MKD Syarifuddin Sudding soal laporan MAKI itu sudah masuk ranah hukum di persidangan. Kasus Ivan Haz putra mantan wapres Hamzah itu menunjukkan MKD tetap memproses kasus etiknya, sementara kasus hukumnya sedang berjalan di pengadilan.
Pernyataan Sudding itu menunjukkan tidak ada standar jelas dalam penanganan perkara di MKD. Seharusnya, siapa pun yang duduk di MKD sadar bahwa lembaga itu adalah lembaga penegak etika anggora dewan. Dasar kerjanya adalah etika atau norma kepatutan. MKD jangan menyamakan diri dengan lembaga peradilan umum yang dasarnya adalah KUHP atau KUHAP.
Karena itu sangatlah aneh, ketika MKD memutuskan merehabilitasi nama baik Setya Novanto setelah rekaman "Papa Minta Saham" dinyatakan MK tidak sah sebagai alat bukti karena diperoleh tidak atas permintaan penegak hukum. Secara etika, isi pembicaraan dalam rekaman itu jelas pelanggaran berat.
Soal sah atau tidak sebagai alat bukti, yang terdampak adalah Kejaksaan Agung yang sedang menangani perkara itu dari sisi hukum pidana. Tentu saja Kejaksaan Agung tetap bisa menyiasatinya dengan memperlakukan bukti rekaman itu sebagai informasi awal, atau alat untuk mencari bukti lain yang sah, termasuk keterangn Reza Chalid yang kini hilang entah ke mana itu. Tetapi itu domainnya Kejaksaan Agung, bukan MKD.
Jangan sampai nanti saat MAKI menyodorkan bukti (termasuk foto pertemuan Setya Novanto dengan nama-nama yang disebut dalam dakwaan jaksa dalam kasus korupsi E-KT) lantas muncul pertanyaan dari anggota MKD, "Apakah bukti ini diperoleh atas permintaan penegak hukum?"
Salam-salaman
Bacaan pendukung:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H