Ada yang gak nyambung saat Fadli Zon keberatan lembaga DPR dinyatakan sebagai lembaga  terkorup menurut survei Global Corruption Barometer. Dia menyebut lembaganya hanya mendapat anggaran 0,01 hingga 0,02 persen dari total dana APBN. Dengan begitu potensi korupsi DPR juga kecil dibanding eksekutif sebagai pengguna anggaran terbesar.
Tentu saja, kalau dilihat dari penggunaan anggaran, DPR memang porsi anggarannya kecil karena DPR kan fungsinya kan legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Fungsi ini tentu tidak memerlukan anggaran besar kecuali DPR mau punya proyek sendiri misal buat gedung bertingkat sepuluh, kolam renang, kondominium, atau yang lain.
Tetapi, ukuran terkorup itu tentu tidak sepenuhnya ditentukan oleh besar kecilnya anggaran yang dikelola DPR karena korupsi itu tetap bisa terjadi saat DPR melaksanakan fungsinya sebagai lembaga legislasi, penganggaran, dan juga pengawasan. Di sinilah tidak nyambungnya pemikiran Fadli Zon itu.
Kasus megakorupsi E-KTP yang diduga merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun itu adalah contoh kasus korupsi yang menyeret banyak nama anggota DPR. Meskipun pengguna anggaran untuk proyek E-KTP ini adalah Kemendagri, tetapi DPR punya peran penting atas golnya proyek ini. Proyek ini tidak bisa berjalan tanpa peran serta DPR. Jadi, korupsi pun terjadi dan melibatkan anggota DPR.
Kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR Damayanti Wisnu Putranti yang menyeret anggota lain di komisi V DPR, juga terjadi bukan karena DPR sebagai pengguna anggaran namun memanfaatkan program aspirasi anggota dewan yang masuk anggaran Kementerian PUPR. Anggota DPR bisa korupsi karena kewenangannya itu. Bahasa kasarnya, eksekutif sebagai pengguna anggaran tidak bisa berjalan sendiri dengan mengabaikan anggota DPR. Bahasa populernya ya kongkalikong-lah, simbiosa mutualisme, TST, dst.
Masak sih Fadli Zon tidak tahu soal itu. Saya kok tidak percaya. Lha wong itu semua seperti sudah jadi pengetahuan umum, karena seringnya muncul dalam pemberitaan. Jadi mestinya Fadli Zon tak perlu keberatan karena semua itu kan terlalu besar untuk tidak diketahui umum apalagi ditutup-tutupi.Â
Survei oleh Global Corruption Barometer yang disusunTransparency International Indonesia (TII) di Indonesia dilakukan pada 26 April-27 Juni 2016 dengan 1.000 responden di 31 provinsi. Hasil survei tersebut, di Indonesia, 54 persen responden menilai DPR dianggap paling korup. Dan ini konsisten selama tiga tahun terakhir.
Menyusul DPR adalah lembaga birokrasi dengan 50 persen responden, DPD dengan 47 persen responden, dan Ditjen Pajak dengan 45 persen responden. Kepolisian yang pernah juara pada 2013, kini peringkatnya suduh turun ke peringkat lima dengan 40 persen responden. Sementara DPR yang dulu menempelnya di peringkat dua kini malah jadi juara korupsi.
Sebenarnya, rekor DPR sebagai juara korupsi sudah pernah disandangnya pada 2015 lalu. Change.org yang mengadakan survei ke kalangan netizen juga berhasil menempatkan DPR sebagai juara korupsi. Hampir 50 persen dari sekitar 40.000 responden yang disurvei oleh situs petisi online ini menganggap DPR lembaga 'paling kotor' disusul di peringkat dua adalah DPRD/DPD dengan persentase 14,6 persen.
Oleh karena itu, persoalan predikat juara korupsi yang kini disandang DPR berdasar hasil survei Global Corruption Barometer, boleh juga disebut sudah mentradisi. Predikat itu bukan hal yang perlu disangsikan dengan alasan anggaran yang dikelola DPR relatif kecil. Selain tidak nyambung dengan substansi persoalan korupsi yang terjadi terkait kewenangan DPR, hal itu malah menunjukkan tak adanya niat untuk berbenah diri.
Seharusnya, DPR dan juga parpol sebagai pemasok anggota DPR berbenah setelah mendapat gelar juara korupsi dari tahun ke tahun yang terus meningkat itu. DPR sebagai lembaga memang produk kolektif dari parpol yang ada. Jadi baik buruknya DPR juga tidak bisa dilepaskan dari peran parpol.
Repotnya, parpol tak bisa sepenuhnya mengontrol anggotanya terkait perilaku korup di DPR itu karena iklim korup itu begitu mempesona dan mempengaruhi perilaku anggota dewan. Hanya anggota dewan yang tangguh yang bisa menolak rayuan iklim korup semacam itu. Terlebih lagi jika anggaran parpol justru bergantung kepada sumbangan anggotanya yang lantas memenuhinya dengan cara korupsi. Ini namanya sama saja sami mawon.
Yang kini terjadi adalah ketika ada anggota DPR tertangkap korupsi, parpol langsung memecat. Atau, jika ada indikasi adanya korupsi berjamaah yang melibatkan anggota DPR, parpol ramai-ramai mengeluarkan pernyataan akan memecat anggotanya yang terlibat. Jalan pintas yang paling aman untuk menyelamatkan nama baik parpol. Tetapi masalah pokoknya, yaitu kegemaran anggota DPR korupsi tidak pernah tersentuh.
Oleh karena itu, selama masalah pokok ini tidak tersentuh, korupsi akan terus terjadi di DPR. Terlebih lagi jika pimpinan parpol juga jadi pimpinan DPR. Klop sudah; parpol lebih tidak berdaya lagi. Jadi apa solusinya, dong, Bung Fadli Zon?
Salam
Bacaan pendukung:
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151209_trensosial_korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H