Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama FEATURED

Kasus Korupsi E-KTP Jangan Hanya Jadi Pepesan Kosong

7 Maret 2017   11:26 Diperbarui: 20 Juli 2017   18:04 1889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua KPK, Agus Rahardjo. Kompas.com

Ketika Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan harapannya agar persidangan kasus korupsi E-KTP tidak mimbulkan guncangan politik di Indonesia, saya hanya tersenyum saja. Dulu, ketika kasus dokumen Panama Papers pertama kali diungkap, juga ada yang menyebut akan terjadinya badai di Indonesia. Nyatanya, yang muncul hanya Angin Mamiri, sepoi-sepoi basah. Semuamya aman dan terkendali.

Kita tentu masih ingat bagaimana pemberitaan tentang dokumen Panama Papers yang berisi nama-nama yang diduga sebagai pengemplang pajak itu, jadi ulasan yang ramai dan menjual. Beberapa pejabat penting negara luar mengundurkan diri dari jabatannya akibat namanya disebut dalam dokumen itu. Misalnya saja, Perdana Menteri Islandia Sigmundur David Gunnlaugsson, Menteri Perindustrian Spanyol Jose Manuel Soria, Pejabat senior FIFA Juan Pedro Damiani.

Di Indonesia, juga banyak nama yang muncul di dokumen itu. Namun, pemecahan masalahnya lain sehingga tidak menimbulkan badai dan cukup Angin Mamiri sepoi-sepoi basah yang melenakan. Dikatakan, punya perusahaan cangkang itu tidak selalu mengemplang pajak, tetapi bagian dari strategi bisnis (walau sama saja tidak bayar pajak ke negara).

Ada juga yang bilang, sejak dibuat perusahaan itu tak pernah ada transaksi (namanya perusahaan cangkang di negara surga pajak, transaksi sudah biasa dirahasiakan dan tak tercatat). Dan solusi hebatnya adalah pengampunan pajak atau tax amnesty. Mereka yang namanya ada di Panana Papers atau dokumen lain, bisa mengikuti program itu. Semuanya clear, semuanya senang, semuanya tersenyum. Tak ada badai. 

Oleh karena itulah, pernyataan Agus Rahardjo itu terlalu prematur walaupun harus diakui perlawanan politik terhadap KPK akan terus terjadi, seperti saat ini dengan adanya gerakan sosialisasi dari pihak DPR untuk mengegolkan hasrat mereka merevis UU KPK. Seharusnya Agus tak perlu mengungkapkan hal itu sebelum membuktikan diri bahwa KPK memang bisa mengguncang  Indonesia.

Kalau dasar asumsi Agus adalah disebutnya nama-nama besar saat persidangan nanti, itu juga tidak sepenuhnya bisa diterima. Selama ini, kepada masyarakat sudah sering diperdengarkan nama-nama besar yang terlibat kasus ini dan itu, tetapi kenyataannya hanya ramai di pemberitaan karena KPK atau lembaga lain yang berkompeten dalam urusan pemberantasan korupsi, tak kunjung mengeksekusinya. Jadilah itu semua seperti pepesan kosong.

Bisa jadi, pernyataan Agus itu dilandasi niat jujur untuk mendapatkan dukungan masyarakat agar proses penanganan dan persidangan kasus korupsi E-KTP berjalan dengan tuntas. Sementara itu, dia sadar bahwa yang dihadapi KPK dalam kasus ini adalah tokoh-tokoh yang dinilai besar untuk ukuran Indonesia. Ini tentu menimbulkan sedikit kegalauan di internal KPK dan karena itu mereka perlu dukungan masyarakat. 

Namun, masalah sebenarnya justru ada di dalam KPK sendiri. Boleh dibilang, dukungan masyarakat terhadap KPK relatif tak pernah kendur. Ini karena lembaga antirasuah inilah harapan dan benteng terakhir masyarakat dalam berperang melawan korupsi. Jadi, setiap upaya melemahkan atau menyerang KPK, selalu mendapat perlawanan dari masyarakat. 

foto detik
foto detik
Masalahnya adalah KPK belum sepenuhnya bisa memenuhi harapan masyarakat itu. Bukan hanya karena keterbatasan lembaga saja, tetapi KPK belum sepenuhnya selesai dengan dirinya sendiri, khususnya penerapan asas 'keadilan bagi semua' sehingga masih memunculkan kesan tebang pilih. Pimpinan KPK boleh berganti, tetapi masalah pokok ini masih menghantui.

Satu contoh kecil adalah kasus korupsi Hambalang yang masih hangat walau sudah bertahun-tahun lalu kejadiannya. Masyarakat bisa menilai bagaimana perjalanan pengusutan kasus ini di KPK. Choel misalnya yang sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak akhir 2015, baru ditahan setahun lebih kemudian. Sementara itu, nama yang sudah sering disebut misalnya Ibas atau Edi Bhaskoro putra SBY, tak tersentuh KPK hingga kini.

Kasus Bank Century yang hangat lagi paska mantan ketua KPK Antasari Azhar bebas dan mendapat grasi dari presiden, adalah contoh lain. Masih ada nama-nama lain yang belum tersentuh dalam kasus yang disebut erat kaitannya dengan pendanaan pilpres 2009 itu. Pimpinan KPK paska Antasari terbukti tak mampu menyelesaikannya hingga kini. 

Ini tentu menimbulkan pertanyaan, benarkah KPK dengan kegarangannya telah menerapkan asas 'keadilan bagi semua' dalam penanganan kasus korupsi? Jika jawabannya adalah ya, tentu tidak ada golongan atau kelas penguasa sekalipun yang lolos dari penindakan KPK. Namun kenyataannya tidak demikian. Ada golongan penguasa yang sepertinya diharamkan untuk disentuh hukum oleh KPK.

Harus diakui, resiko yang dihadapi KPK ketika harus berhadapan dengan pihak yang punya kuasa memang cukup besar. Upaya kriminalisasi terhadap personal dan pimpinan KPK ketika ada pihak yang tersentuh jerat hukum KPK, sudah beberapa kali terjadi. Apa yang menimpa Antasari, Bibit, Candra Hamzah, Abraham Samad, Bambang Wijayanto dan yang lain adalah contoh bagaimana risiko yang harus dihadapi dalam peperangan melawan korupsi ini.

Tetapi, lagi-lagi meski sudah dikriminalisasi semacam itu, ternyata KPK tetap saja belum selesai dengan dirinya sendiri. Mungkin orang semacam Antasari Azhar memang langka seperti sikapnya yang diperlihatkan saat memimpin KPK. Dia bersikukuh menahan Aulia Pohan yang jadi besan presiden SBY. Dia juga bersikukuh mengusut kasus IT KPU yang ternyata melibatkan Ibas atau Edi Bhaskoro putra SBY (ini pengakuan Antasari).

Abraham Samad Cs meski sama-sama "dikriminalisasi" kualitasnya mungkin masih di bawah level Antasari. Ini bisa dibuktikan dari kasus Hambalang dan Century yang tak tuntas-tuntas itu meski banyak pihak menyebut kesaksian dan bukti yang diperlukan sudah cukup. Masyarakat memang berhak menilai meski secara hukum tak berpengaruh apa pun.

Belajar dari pimpinan KPK terdahulu, Agus Rahardjo seharusnya sudah menyiapkan mental yang tangguh dalam menghadapi reaksi atas kasus yang diangani KPK dan dibawa ke persidangan. Tentunya, yang diharapkan adalah keberanian yang diperlihatkan Agus Cs itu seperti keberanian Antasari yang pantang surut meski berhadapan dengan kasus yang melibatkan keluarga SBY.

Dalam kasus korupsi E-KTP yang merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun, menyisakan hutang 90 juta dolar AS ke perusahaan di Amerika,  dan dalam pemeriksaan telah memanggil 294 saksi (bisa lebih), baru menghadirkan dua tersangka ke pengadilan yaitu mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri, Sugiharto, dan  mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri, Irman. 

KPK dalam kasus ini telah memanggil 23 anggota DPR namun hanya 15 yang datang dan memberikan keterangan. Dari 15 yang datang iru, tercatat ada 14 orang nengembalikan uang total senilai Rp 30 miliar. Jumlah uang keseluruhan yang disita KPK termasuk dari anggota DPR itu Rp 250 miliar, terbesar dalam sejarah KPK.

Yang menarik, dalam persidangan kasus dua tersangka yang dimulai 9 Maret besok, ada 40 nama yang disebut menerima aliran dana korupsi E-KTP itu. Sementara itu, jumlah tersangka yang menyusul Sugiharto dan Firman disebut akan terus bertambah. Jika memang benar demikian, ini memang bisa jadi kasus yang besar baik dari terdakwa maupun jumlah uang yang dikorupsinya.   

Untuk sementara ini, nama-nama besar yang disebut tersangkut kasus ini memang belum disebut oleh KPK, dan dijanjikan akan terungkap di persidangan. Namun, berdasar saksi yang pernah dipanggil KPK memang ada nama-nama besar itu, yaitu Gubernur BI Agus Martowardoyo, Ketua DPR Setya Novanto, mantan Mendagri Gamawan Fauzi.

Mantan anggota Komisi II DPR yang gubernur Jateng Gandjar Pranowo, juga Olly Dondokambey yang kini gubernur Sulut, Menkumham Yasonna H Laoly, ketua FPD MPR M Jafar Hafsah, juga tercatat pernah dipanggil sebagai saksi. Meskipun begitu, belum ada kepastian bahwa para saksi inilah nama besar yang dimaksud KPK.

Kembali soal guncangan politik yang diharapkan Ketua KPK Agus Rahardjo tidak terjadi, paska pengungkapan kasus ini di persidangan. Ini seperti mengingatkan kita kepada sikap KPK sendiri yang ternyata juga tidak tergerak untuk untuk menindaklanjuti nama yang disebut dalam kasus korupsi Hambalang atau korupsi di Kementerin ESDM  yang disebut almarhum Sutan Bathoegana.  

Oleh karena itu, sebenarnya pernyataan Agus itu bisa dinilai dari dua sisi. Dari satu sisi kita berharap tidak terjadi resistensi secara politis akibat terlibatnya atau disebutnya nama-nama besar dalam kasus itu. Ini tampaknya sudah mulai diperlihatkan dengan munculnya aksi sosialisasi revisi KPK yang menyangkut empat poin yaitu pembatasan penyadapan, kewenangan pengangkatan penyelidik dan penyidik, kewenangan penerbitan SP3, dan pembentukan dewan  pengawas.

Rencana revisi UU KPK ini sebenarnya sudah ditolak banyak pihak. Pada masa ketua DPR dijabat Ade Komarudin, wacana ini berhenti. Namun, sejak Setya Novanto memegang kembalI jabatan ketua DPR, sejak Februari lalu Badan Keahlian DPR ditugaskan melakukan sosialisasi di antaranya ke kampus. Katanya ini merupakan kesepakatan eksekutif dan legislatif. Apakah ini ada kaitannya dengan disebutnya nama besar dalam kasus korupsi E-KTP, itulah yang sekarang jadi sorotan.

Selain soal resistensi politis dan guncangan politis, pernyataan ketua KPK bisa menyiratkan adanya kegamangan tentang langkah KPK setelah nama-nama besar itu disebut. Disebut saja di persidangan tetapi tidak ada langkah lanjutan untuk menjadikannya sebagai tersangka, tentu tidak berakibat apa-apa. Artinya tidak ada guncangan politik tidak ada perlawanan secara politis.

Tentu saja kita tidak ingin KPK mengambil langkah cari aman ini hanya untuk menghindari guncangan politik. Sudah wakunya KPK menunjukkan keberanian seperti yang ditunjukkan Antasati Azhar. Syukur-syukur kasus Hambalang dan ESDM juga dituntaskan hingga tuntas...tas...tas.

Salam, damai Indonesia.

Bacaan pendukung: 1, 2 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun