Oleh karena itu, sebenarnya pernyataan Agus itu bisa dinilai dari dua sisi. Dari satu sisi kita berharap tidak terjadi resistensi secara politis akibat terlibatnya atau disebutnya nama-nama besar dalam kasus itu. Ini tampaknya sudah mulai diperlihatkan dengan munculnya aksi sosialisasi revisi KPK yang menyangkut empat poin yaitu pembatasan penyadapan, kewenangan pengangkatan penyelidik dan penyidik, kewenangan penerbitan SP3, dan pembentukan dewan  pengawas.
Rencana revisi UU KPK ini sebenarnya sudah ditolak banyak pihak. Pada masa ketua DPR dijabat Ade Komarudin, wacana ini berhenti. Namun, sejak Setya Novanto memegang kembalI jabatan ketua DPR, sejak Februari lalu Badan Keahlian DPR ditugaskan melakukan sosialisasi di antaranya ke kampus. Katanya ini merupakan kesepakatan eksekutif dan legislatif. Apakah ini ada kaitannya dengan disebutnya nama besar dalam kasus korupsi E-KTP, itulah yang sekarang jadi sorotan.
Selain soal resistensi politis dan guncangan politis, pernyataan ketua KPK bisa menyiratkan adanya kegamangan tentang langkah KPK setelah nama-nama besar itu disebut. Disebut saja di persidangan tetapi tidak ada langkah lanjutan untuk menjadikannya sebagai tersangka, tentu tidak berakibat apa-apa. Artinya tidak ada guncangan politik tidak ada perlawanan secara politis.
Tentu saja kita tidak ingin KPK mengambil langkah cari aman ini hanya untuk menghindari guncangan politik. Sudah wakunya KPK menunjukkan keberanian seperti yang ditunjukkan Antasati Azhar. Syukur-syukur kasus Hambalang dan ESDM juga dituntaskan hingga tuntas...tas...tas.
Salam, damai Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H