Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dinasti Politik Cenderung Korup, Pak Wapres...

7 Januari 2017   17:23 Diperbarui: 8 Januari 2017   19:28 3096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Urusan jabatan kepala daerah bukanlah semata urusan memerintah dan memimpin pembangunan sebuah daerah. Tetapi kenyataan menunjukkan banyak faktor ekonomi dan politik yang juga digarap seorang kepala daerah dan "bolo kurowonya". Jika ini berkesinambungan dipegang sebuah dinasti politik, mungkinkah kebaikan muncul di sana?

Data Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri pada tahun 2013, menyatakan ada 61 kepala daerah atau 11 persen dari semua kepala daerah di Indonesia mempunyai jaringan politik kekerabatan atau dinasti politik. Bisa saja data itu kini sudah berubah atau bertambah banyak paska keputusan MK pada 2015 lalu. Sementara hasil OTT KPK terhadap kelompok ini sudah mencapai 78 kepala daerah, termasuk Bupati Klaten Sri Hartini. 

Saat merumuskan pasal 7 huruf r UU 8/2015 yang dianulir MK itu, yang berisi larangan kerabat petahana ikut pilkada sebelum jeda satu masa jabatan, pertimbangan pemerintah saat itu adalah untuk memutus mata rantai dinasti politik, tindakan koruptif, dan penyalahgunaan wewenang. Kedudukan calon dari keluarga petahana dinilai tidak sama dengan calon lain. 

Petahana mempunyai akses terhadap kebijakan dan akses terhadap alokasi anggaran, sehingga dapat memberikan keuntungan pribadi untuk kemenangan kerabatnya. Hal yang sering dilakukan adalah memperbesar dana hibah, dana bantuan sosial, program kegiatan yang diarahkan ke dalam upaya memenangkan salah satu pasangan calon. (detik.com, 5/1/2017)

Pemerintah saat itu juga merujuk hasil survei IFES dan Lembaga Survei Indonesia tentang pandangan warga masyarakat terhadap dinasti politik. Hasilnya, 64 persen warga menyatakan dinasti politik berdampak negatif, 9 persen menyatakan berdampak positif, 7 persen menyatakan tidak berdampak, dan 38 persen menjawab tidak tahu. Artinya mayoritas warga menyatakan dinasti politik berdampak negatif.

Inilah sebenarnya kekhawatiran terbesar sebagian masyarakat atas meningkatkan praktek dinasti politik di daerah dengan segala penyimpangannya, baik secara politik maupun ekonomi. Sistem birokrasi pemerintahan, perangkat dan aparat hukum kita terbukti belum sepenuhnya mampu menangani penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan dinasti politik.

Satu contoh mudah kasus mantan gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang ditangkap KPK dan telah divonis 7 tahun dalam perkara suap ketua MK Akil Mochtar. Tetapi, dalam kasus dana bansos dan hibah Provinsi Banten yang diduga melibatkan Atut, sampai kini mandek. Sementara itu, dinasti politik Ratu Atut tetao berjaya di Banten. Bahkan Andhika Hazhrumy, anak Ratu Atut, kini tampil sebagai cawagub Banten mendampingi Wahidin.

Dengan realitas politik semacam itu, pernyataan wakil ketua KPK Laode Muhammad Syarif yang mengimbau masyarakat untuk jeli dalam memilih pemimpin menjelang pemilihan kepala daerah cukup tepat. Dia menilai kepala daerah yang berasal dari dinasti politik berpotensi melakukan korupsi.

Jadi, memang benar dinasti politik tidak selalu identik dengan korupsi. Tetapi, fakta yang ada saat ini menunjukkan keberadaan dinasti politik punya kecenderungan berperilaku korup. Karena itu, hati-hatilah memilih kepala daerah dalam musim pilkada tahun ini. Ingat kata KPK, kepala daerah dari dinasti politik berpotensi melakukan korupsi.

Salam
Bacaan pendukung: 1 l 2 l 3 l 4 l 5 l

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun