Ibadah sholat baik yang wajib maupun yang sunah, bagi muslim tentunya membawa kebaikan dan bukan keburukan dan kemudlaratan. Jadi, bukan kegiatan sholatnya yang jadi masalah. Tetapi, kegiatan di luar sholat itu yang bermasalah jika tidak sesuai dengan tujuan sholat itu sendiri. Jika ibadah ini dipolitisasi dengan mengumpulkan jamaah dalam jumlah besar yang rawan sekali dimasuki kepentingan destruktif dan melenceng dari tujuan ibadah itu sendiri, tentu perlu dikaji lagi dengan lebih bijak dan seksama.
Jumlah massa yang besar yang diraih dengan gerakan politik sholat berjamah ini ditinjau dari aspek keamanan juga sangat rawan dimasuki oleh penyusup dengan membawa kepentingan yang destruktif. Bayangkan saja jika ada yang menaruh bom di tengah jamaah semacam ini, apa akibat yang akan terjadi. Atau, misalnya ada provokator yang tiba-tiba membuat kerusuhan di tengah jamaah, apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kalaupun tidak ada penyusup, tetapi jika ibadah semacam ini diwarnai dengan pidato politik yang membakar hati jamaah, untuk berbuat sesuai arahan si pemberi pidato, terlebih sudah ada massa yang disiapkan untuk menggiring massa yang lain, akibatnya juga akan sangat berbahaya. Kasus aksi makar 212 yang gagal itu menunjukkan skenario semacam itu.
Oleh karena itu, menjadi penting menjawab pertanyaan untuk apa gerakan politik sholat berjamaah ini dilakukan dan sampai kapan terus dilakukan. Jikalau gerakan semacam ini untuk menanamkan kesadaran kepada jamaah agar lebih toleran terhadap umat agama lain, tidak mau menang sendiri, menyayangi dan menyantuni anak yatim dan fakir miskin, itu memang tujuan ibadah yang benar.
Kalau gerakan semacam ini untuk menanamkan nilai kebangsaan, memerangi korupsi, narkoba, penistaan dan perilaku aniaya pada anak dan perempuan, itu tindakan mulia. Demikian juga jika gerakan semacam itu ditujukan untuk menanamkan kesadaran perlunya sholat berjamaah itu sendiri. Ini bisa disebut gerakan politik sholat tetapi tujuan politiknya adalah ibadah itu sendiri.
Menjadi bermasalah jika tujuan politik yang hendak diraih gerakan itu adalah kekuasaan politik, merongrong wibawa hukum dan negara, menjatuhkan pemerintahan yang sah, mengganti konstitusi negara, memaksakan kepentingan kelompok atas kelompok lain, atau memaksakan kebenaran atas nama kelompok untuk menekan kelompok lain. Jika ini yang terjadi, seharusnya aparat hukum wajib menindaknya.
Jika melihat gerakan Shubuh berjamaah 1212 yang merupakan kelanjutan dari aksi 212, maka tujuan politik gerakan ini seharusnya tak jauh dari masalah Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Selama Ahok belum ditahan, dinyatakan bersalah, dan dipenjara dalam kasus dugaan penistaan agama, gerakan yang dimotori GNPF MUI ini terus berlanjut.
Pertanyaannya, apakah tuntutan itu layak diajukan oleh kelompok ini jika tak punya tujuan politik lain. Islam itu sangat menekankan keadilan, jadi tindakan memaksakan kehendak dan kebenaran hukum itu jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, tujuan politik lain itulah yang lebih menonjol dalam gerakan politik sholat berjamaah itu, yaitu urusan Pilkada DKI Jakarta.
Jika urusannya adalah pilkada DKI Jakarta, mengapa pula harus melibatkan massa di daerah lain di Indonesia? Jawaban sederhananya, karena di Jakarta massa lebih berempati kepada Ahok. Warga Jakarta yang lebih moderat tak lagi memasalahkan urusan agama calon gubernurnya, yang penting becus bekerja, jujur, adil, punya program jelas, dan pro rakyat, anti koruptor dan maling APBD.
Itulah alasan pokonya, sehingga dicarilah isu yang sangat sensitif dan bisa menarik emosi orang banyak. Isu itu adalah ucapan Ahok di Kepulauan Seribu, yang maaf telah digoreng sedemikian rupa sehingga memunculkan dugaan penistaan agama. Dengan isu inilah massa dari luar Jakarta ditarik dukungannya untuk ikut menekan agar Ahok dihukum dan dipenjara sehingga gagal jadi gubernur lagi.
Tetapi, kenyataan menunjukkan selain soal Ahok, ada agenda lain yang berjalan simetris dengan aksi-aksi itu, antara lain pelengseran Jokowi, teror, dan juga niatan pendirian kekhilafahan di Indonesia. Ucapan Riziek yang menyatakan jika Ahok tidak dihukum, berarti akan ada revolusi di Indonesia, menggambarkan secara jelas ke mana arah gerakanan yang dibangunnya, yaitu pemaksaan kebenaran hukum.Â