Nahdlatul Ulama sudah beberapa kali meminta kepada pemerintah, termasuk saat SBY menjabat presiden, agar membubarkan ormas radikal intoleran semacam itu. FPI, HTI, dan sejenisnya adalah ormas yang selama ini dikategorikan intoleran. Bahkan HTI secara terang-terangan ingin mendirikan kekhilafahan selain menolak Pancasila.
Beberapa minggu lalu, Ketua PBNU Said Aqil Siradj secara angsung di hadapan Presiden Jokowi yang hadir di Kongres Muslimat NU di Asrama Haji, Pondok Gede Jakarta Timur, kembali mengutarakan permintaan agar ormas yang menolak Pancasila, UUD '45, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika dibubarkan saja. Sebuah permintaan yang menyuarakan keresahan masyarakat Indonesia atas ulah dan tindakan ormas semacam itu.
Bisa jadi, perintah pembentukan tim anti intoleransi ini juga sebagai respon atas permintaan itu. Tetapi, sambil menunggu terbentuknya tim itu dan kerjamya secara nyata, Polri yang selama ini sudah berurusan dengan ormas semcam itu, seharusnya menunjukkan tajinya. Kasus Riziek Sihab misalnya yang menistakan Pancasila dan Bung Karno dan kini kasusnya dilimpahkan ke Polda Jabar, harus segera diproses secara hukum. jangan Ahok saja.
Sebelum ada instruksi penbentukan tim anti intoleransi, masalah ormas dan pembubarannya melibatkan empat lembaga negara, Â yaitu Polri, Kejaksaan Agung, Depdagri, dan masukan pertimbangan dari BIN. Saat Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan ada ormas besar anti Pancasila akan segera dibubarkan, Juni lalu, sebenarnya masyarakat sudah nampak menyambut gembira. Namun, tak adanya pembubaran hingga saat ini menunjukkan adanya masalah di sana.
Harus diakui, akibat sikap tak tegas dari pemerintah ini, yang sangat mungkin karena pertimbangan politis, mengakibatkan sepak terjang ormas intoleran semakin meresahkan. Kehidupan kampus pun mereka goyang. Tak sekedar merekrut anggota dari dalam, tetapi mereka memasuki wilayah dalam kampus dengan demo-demonya. Masjid di kampus pun mereka kuasai sehingga mimbar khotbah Jumat diwarnai hujatan atas kelompok lain.
Bukan rahasia lagi, tetap eksisnya kelompok intoleran itu tak luput dari dukungan politik atau bahkan perlindungan dari kelompok politik legal dan institusi resmi. Isu ini sudah lama terdengar misalnya ketika FPI ramai disoroti akibat tindakan brutal mereka. Kini saat even Pilkada DKI dengan serangkaian aksi pengkafiran, demo atas nama membela Islam, hal itu sulit ditutup-tutupi lagi. Masyarakat makin melek informasi dan tak bisa digiring dengan opini dan pernyataan bahwa demo berjalan tertib dan damai.
Euforia atas stempel aksi demo membeka Islam berjalan damai, sejuk, sukses, dihadiri jutaan umat, justru membuat kelompok intoleran mendapat angin. Soal jumlah peserta aksi di Monas itu misalnya, menurut hitungan dengan pencitraan satelit, kurang dari 500 ribu orang, ada yang menyebut sekitar  300 orang. Tetapi oleh Riziek Sihab disebut 7 juta orang lebih, atau hampir menyamai penduduk DKI.
Buntut dari sikap euforia yang berlebih itu muncul gugatan agar Ahok membayar ganti rugi Rp 470 miliar, yang katanya untuk bangun masjid yang akan dikoordinatori MUI. Entah hitung-hitungan apa yang dipakai ormas Aku Cinta Tanah Air (ACTA), yang termasuk barisan Riziek cs itu untuk mengajukan jumlah rupiah yang besar itu. Demikian juga dasar kerugian yang dipakai untuk memunculkan angka gugatan itu. Absurd.Â
Ternyata paska aksi itu Sari Roti memberi klarifikasi, yang menegaskan mereka tak pernah memberikan roti gratis. Ada seseorang yang membeli roti produk mereka dalam jumlah besar dan meminta dibagikan di aksi 212. Akibat bantahan ini, muncullah aksi boikot itu yang diwarnai kalimat dan kata yang sungguh kasar dan tak layak di medsos, terlebih menyebut halal haram. Entah, mereka belajar hukum di mana dan apa juga sudah bertanya ke MUI soal halal haram roti itu.
Itu adalah contoh bagaimana sikap intoleran dan mau menang sendiri, merasa benar sendiri, yang dipertontonkan dengan sangat arogan. Kebenaran seolah telah mereka monopoli sendiri, sementara kelompok di luar atau yang tak sepaham dengan mereka, dihujat dan dinistakan. Yang eman-eman ya roti Sari Roti yang suka saya makan itu, mereka haramkan dan mereka injak-injak.Â