Entah ada hubungan atau tidak dengan insiden pembubaran acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Natal di Gedung Sabuga, Bandung oleh ormas Pembela Ahlu Shunnah (PAS) 6 November lalu, Presiden Jokowi Jumat kemarin memerintahkan pembentukan tim anti intoleransi. Apakah ini awal dimulainya gerakan sapu bersih ormas-ormas radikal yang suka buat resah?
Jika benar, pembentukan tim anti intoleransi ini adalah untuk memberantas aksi premanisme ormas radikal yang sudah sangat meresahkan masyarakat, merongrong wibawa negara, merusak persatuan dan kebhinekaan Indonesia, tentu kehadirannya amat patut disambut dengan gembira.Â
Tetapi, jika keberadaan tim ini hanya sekedar reaksi spontan atas kekecewaan masyarakat yang mendambakan supremasi hukum dan keadilan yang telah koyak akibat aksi ormas intoleran  tanpa ada agenda jelas berupa tindakan hukum baik berupa pembubaran dan pelarangan ormas semacam itu, tentu tak perlu gembira.
Pernyataan akan ada pembinaan, imbauan, teguran, terhadap ormas semacam itu sudah terlampau sering terdengar. Kenyataan menunjukkan negara terkesan tidak berdaya menghadapi aksi ormas intoleran dengan alasan undang-undang atau payung hukum UU Keormasan yang masih harus direvisi, dan seterusnya.Â
Sementara itu, kepolisian sebagai kepanjangan tangan pemerintah terkesan juga terdikte oleh tindakan ormas intoleran itu. Alih-alih bertindak keras menunjukkan ketegasan dan perlawananan atas sikap intoleransi yang membahayakan persatuan dan kebhinekaan Indonesia, Polri justru sering sangat akomodatif terhadap kelompok itu.Â
Seperti ada rumus baku: demo tidak dilarang asal tidak melanggar undang-undang, agar aman Polri harus bertindak akomodatif terhadap pendemo. Rumus itu tampak benar diterapkan pada insiden Sabuga saat PAS membubarkan KKR Natal. Dalam skala besar, aksi demo GNPF MUI pun ditangani dengan rumus baku itu.
Tetapi, terlalu dini juga untuk bersikap pesimis atas instruksi Presiden Jokowi yang memerintahkan pembentukan tim anti intoletansi. Memang masih dilihat dulu siapa saja yang terlibat dalam tim itu. Apakah nanti tim itu juga sepenuhnya mengandalkan Polri seperti selama ini, apakah TNI juga dilibatkan dalam tim ini, apakah ada unsur masyarakat misalnya ormas besar Islam seperti NU, Muhammadyah, KWI, dan lainnya, tentu masih harus ditunggu.
Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat yang bertemu Presiden Jokowi dan membahas masalah ini menyatakan, tim khusus ini semacam task force untuk menghandle penyebaran ideologi kekerasan, radikal, fundamentalis, dan virus-virus kekerasan. Akan ada upaya sistematis untuk membendung itu.
Sementara Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan, anggota tim akan ditentukan langsung oleh Presiden Jokowi. Selain dari internal pemerintah dan Komnas HAM, akan diambil juga dari kelompok sipil. Tim tak hanya berupaya menangkal gerakan intoleran, tapi juga sekaligus memperkuat nilai nasionalisme dan kebangsaan di masyarakat. (kompas.com, 9/12/2016)
Pernyataan dua pejabat itu memang belum memberi gambaran secara jelas model dan bentuk tim anti intoleransi ini. Jika memang benar tim ini semacam tim task force atau tim pemukul berarti tim ini punya kewenangan penindakan secara langsung. Tentu masih harus ditunggu bentuk konkret penindakan itu apa.Â
Yang pasti, salah satu bentuk penindakan yang diharapkan masyarakat adalah bukan lagi sekedar teguran, imbauan, atau pembinaan. Tetapi, tindakan tegas yang diharapkan adalah pembubaran dan pembekuan, dan pelarangan aktivitas ormas semacam itu. Para pimpinan dan anggota ormas yang melanggar hukum juga harus diproses hukum.
Nahdlatul Ulama sudah beberapa kali meminta kepada pemerintah, termasuk saat SBY menjabat presiden, agar membubarkan ormas radikal intoleran semacam itu. FPI, HTI, dan sejenisnya adalah ormas yang selama ini dikategorikan intoleran. Bahkan HTI secara terang-terangan ingin mendirikan kekhilafahan selain menolak Pancasila.
Beberapa minggu lalu, Ketua PBNU Said Aqil Siradj secara angsung di hadapan Presiden Jokowi yang hadir di Kongres Muslimat NU di Asrama Haji, Pondok Gede Jakarta Timur, kembali mengutarakan permintaan agar ormas yang menolak Pancasila, UUD '45, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika dibubarkan saja. Sebuah permintaan yang menyuarakan keresahan masyarakat Indonesia atas ulah dan tindakan ormas semacam itu.
Bisa jadi, perintah pembentukan tim anti intoleransi ini juga sebagai respon atas permintaan itu. Tetapi, sambil menunggu terbentuknya tim itu dan kerjamya secara nyata, Polri yang selama ini sudah berurusan dengan ormas semcam itu, seharusnya menunjukkan tajinya. Kasus Riziek Sihab misalnya yang menistakan Pancasila dan Bung Karno dan kini kasusnya dilimpahkan ke Polda Jabar, harus segera diproses secara hukum. jangan Ahok saja.
Sebelum ada instruksi penbentukan tim anti intoleransi, masalah ormas dan pembubarannya melibatkan empat lembaga negara, Â yaitu Polri, Kejaksaan Agung, Depdagri, dan masukan pertimbangan dari BIN. Saat Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan ada ormas besar anti Pancasila akan segera dibubarkan, Juni lalu, sebenarnya masyarakat sudah nampak menyambut gembira. Namun, tak adanya pembubaran hingga saat ini menunjukkan adanya masalah di sana.
Harus diakui, akibat sikap tak tegas dari pemerintah ini, yang sangat mungkin karena pertimbangan politis, mengakibatkan sepak terjang ormas intoleran semakin meresahkan. Kehidupan kampus pun mereka goyang. Tak sekedar merekrut anggota dari dalam, tetapi mereka memasuki wilayah dalam kampus dengan demo-demonya. Masjid di kampus pun mereka kuasai sehingga mimbar khotbah Jumat diwarnai hujatan atas kelompok lain.
Bukan rahasia lagi, tetap eksisnya kelompok intoleran itu tak luput dari dukungan politik atau bahkan perlindungan dari kelompok politik legal dan institusi resmi. Isu ini sudah lama terdengar misalnya ketika FPI ramai disoroti akibat tindakan brutal mereka. Kini saat even Pilkada DKI dengan serangkaian aksi pengkafiran, demo atas nama membela Islam, hal itu sulit ditutup-tutupi lagi. Masyarakat makin melek informasi dan tak bisa digiring dengan opini dan pernyataan bahwa demo berjalan tertib dan damai.
Euforia atas stempel aksi demo membeka Islam berjalan damai, sejuk, sukses, dihadiri jutaan umat, justru membuat kelompok intoleran mendapat angin. Soal jumlah peserta aksi di Monas itu misalnya, menurut hitungan dengan pencitraan satelit, kurang dari 500 ribu orang, ada yang menyebut sekitar  300 orang. Tetapi oleh Riziek Sihab disebut 7 juta orang lebih, atau hampir menyamai penduduk DKI.
Buntut dari sikap euforia yang berlebih itu muncul gugatan agar Ahok membayar ganti rugi Rp 470 miliar, yang katanya untuk bangun masjid yang akan dikoordinatori MUI. Entah hitung-hitungan apa yang dipakai ormas Aku Cinta Tanah Air (ACTA), yang termasuk barisan Riziek cs itu untuk mengajukan jumlah rupiah yang besar itu. Demikian juga dasar kerugian yang dipakai untuk memunculkan angka gugatan itu. Absurd.Â
Ternyata paska aksi itu Sari Roti memberi klarifikasi, yang menegaskan mereka tak pernah memberikan roti gratis. Ada seseorang yang membeli roti produk mereka dalam jumlah besar dan meminta dibagikan di aksi 212. Akibat bantahan ini, muncullah aksi boikot itu yang diwarnai kalimat dan kata yang sungguh kasar dan tak layak di medsos, terlebih menyebut halal haram. Entah, mereka belajar hukum di mana dan apa juga sudah bertanya ke MUI soal halal haram roti itu.
Itu adalah contoh bagaimana sikap intoleran dan mau menang sendiri, merasa benar sendiri, yang dipertontonkan dengan sangat arogan. Kebenaran seolah telah mereka monopoli sendiri, sementara kelompok di luar atau yang tak sepaham dengan mereka, dihujat dan dinistakan. Yang eman-eman ya roti Sari Roti yang suka saya makan itu, mereka haramkan dan mereka injak-injak.Â
Adalah wajar jika aksi PAS di Bandung yang membubarkan KKR Natal di Sabuga, dianggap sebagai rentetan euforia aksi 212 di Monas itu. Stempel sukses bahkan acara itu dihadiri presiden, membuat mereka semakin berani bergerak secara terbuka dan leluasa. Reaksi Polwitabes Bandung dalam merespon aksi PAS ini tampak benar sangat terpengaruh dengan situasi di Jakarta.
Insiden Sabuga itu yang pasti menambah panjang deretan aksi merusak kebhinekaan dan persatuan di Indonesia ini. Tindakan itu jelas-jelas melanggar HAM dan sangat tidak layak hanya diselesaikan dengan kata "maaf". Harus ada tindakan hukum yang tegas. Dan, yang pasti prosedur penanganan aksi yang telah diterapkan oleh Polwiltabes Bandung itu harus ditinjau secara serius, mengapa seorang Kombes terkesan membiarkan massa masuk ke tempat KKR Natal dan membubarkan acara itu.
Rapat terpadu yang digelar Pemkot Bandung Jumat kemarin, yang diunggah dalam akun facebook Walikota Bandung Ridwan Kamil, memang telah memutuskan sembilan hal terkait hal itu. Di antaranya, tindakan PAS melanggar hukum, memerintahkan PAS mengajukan surat permintaan maaf kepada KKR dan pernyataan mematuhi ketentuaan UU. Kalau lewat tujuh hari tidak melaksanakan perintah itu, Pemkot Bandung akan melarang seluruh aktivitas PAS.
Apakah cukup dengan itu?Â
Lepas dari insiden intoleransi di Bandung itu, penanganan terhadap ormas semacam PAS dan sejenisnya itu memang harus tegas dan dan tak boleh berkompromi. Masyarakat sangat menantikan hal itu. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi dengan negeri ini ke depan. Indonesia yang heterogen, plural, dan sangat menjunjung tinggi toleransi ini mungkin hanya tinggal slogan semata. Jelas hal itu harus dicegah.
Kembali ke tim anti intoleransi yang segera dibentuk atas instruksi presiden itu. Tentunya, tim itu tidak merupakan pengulangan dari pola kerja yang selama ini telah berjalan yang dimotori Polri, yang terbukti gagal membendung aksi ormas intoleran. Tim ini seharusnya punya wajah dan pola kerja baru yang lebih garang dan bisa diandalkan untuk mengatasi dan melawan ormas intoleran. Terlebih lagi tim ini semacam tim task force. Jadi, harus ada pukulan, jangan hanya imbauan dan nasehat saja.
Salam, damai Indonesiaku.
Bacaan pendukung:
https://m.detik.com/news/berita/d-3367934/ini-9-keputusan-pemkot-bandung-terkait-insiden-sabuga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H