Tulisan ini bukan bermaksud mencampuri urusan peribadatan umat Kristiani. Tulisan ini hanya sebuah pandangan atas pembubaran acara Kebaktian Natal di Gedung Sasana Budaya Ganesha Bandung (Sabuga), oleh ormas Pembela Ahlu Shunnah (PAS). Sebuah wujud tindakan intoleransi yang seharusnya bisa dicegah Polri.
Acara itu sudah 15 tahun secara rutin diadakan di sana. Jadi seharusnya sudah tidak ada masalah lagi, sebagaimana acara Tabligh Akbar yang juga akan diadakan di gedung itu. Jika memang ada kesadaran bersama tentang kebhinekaan Indonesia, tentu aksi mau menang dan benar sendiri itu tidak perlu terjadi.
Soal perizinan dan segala macamnya yang dipermasalahkan itu, juga tidak benar karena Ridwan Kamil walikota Bandung ternyata sudah mengizinkan. Jadi, tindakan itu lebih didasari semangat mau menang sendiri, mau benar sendiri, melupakan kenyataan bahwa di Indonesia ini hidup hidup bermacam manusia dengan agama dan kepercayaannya.
Ini sekali lagi membuktikan perlunya pengaturan dan pengendalian ormas yang berjibun itu dengan segala kefanatikan dan keeksklusifannya masing-masing. Ini juga menunjukkan Polri belum "berani" dan "gamang" menghadapi ormas keagamaan semacam PAS (juga yang lain) dan malah larut dalam permainan mereka.Â
Ada satu hal yang menarik yang jadi alasan pembubaran acara Kebaktian Natal itu yaitu karena menggunakan fasilitas umum dan bukan tempat peribadatan umat Kristiani yaitu gereja. Agar adil, seharusnya pertanyaan serupa seharusnya juga diajukan kepada panitia Takbligh Akbar yang juga menggunakan tempat itu kenapa tidak di masjid atau musholla, atau tempat lain.
Tabligh Akbar walaupun bukan ibadah wajib, dari kaca mata Islam tetaplah sebuah kegiatan ibadah yaitu menyeru umat ke jalan kebaikan dan keutamaan. Kegiatan ini bisa dilakukan di gedung atau lapangan. Ketika panitia Tabligh Akbar memilih Gedung Sabuga sebagai tempat, itu tidak dilarang oleh ketetapan syar'i dalam hukum Islam.
Kebaktian Natal yang telah 15 tahun diadakan di Gedung Sabuga menunjukkan peribadatan semacam itu boleh dilakukan di luar gereja. Artinya dalam ketetapan hukum agama umat Kristiani, tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan semacam itu di luar gereja, di dalam gedung di luar gereja.Â
Artinya, pilihan mengunakan Gedung Sabuga baik dari pandangan Islam atau Kristiani tidak ada larangan. Jadi tindakan pemilihan tempat itu sepenuhnya merupakan domain dari penyelenggara Kebaktian Natal dan panitia Tablik Akbar. Dalam kasus itu, Gedung Sabuga adalah fasilitas umum yang dipilih.
Karena sudah 15 tahun kegiatan Kebaktian Natal dilakukan di Gedung Sabuga, artinya selama itu pula tidak ada permasalahan atau larangan dari pengelola gedung dan pemerintah Kotamadya Bandung  dan jajaran pemerintah lain. Kalau kini ada Ormas bernana PAS tiba-tiba berdemo, menyerobot ke tempat acara, dan mengintimidasi peserta kebaktian itu dan membubarkan kegiatan ibadah itu, berarti yang bermasalah adalah PAS itu sendiri.
Ini menunjukkan adanya masalah serius intoleransi yang harus segera diatasi. Pemerintah adalah abdi rakyat Indonesia yang heterogen ini. Pemerintah sudah seharusnya bertindak adil dan melayani semua warganya tanpa membeda-bedakan. Pemerintah juga berkewajiban mencegah kelompok mayoritas berlaku aniaya terhadap kelompok minoritas.Â
Tindakan di Sabuga itu menunjukkan pemerintah lalai dalam melindungi hak beragama dan menjalankan ibadah warga negaranya. Seharusnya, polri selaku kepanjangan tangan pemerintah bisa aktif mencegah aksi intoleransi PAS, tetapi kenyataan yang ada tidak demikian. Mungkin, perlu aturan baru berdemo, termasuk larangan demo untuk mencampuri dan merusak peribadatan umat beragama lain.
Aturan semacam itu diperlukan, sehingga tidak terjadi tirani kelompok mayoritas atas kelompok minoritas, termasuk tirani agama mayoritas atas umat agama minoritas di negeri ini. Jika memang ada permasalahan  tidak boleh diselesaikan dengan cara demo tetapi harus melalui lembaga resmi yang mengatur hal ini.Â
Kasus Basuki Tjahaja Purnama petahana gubernur DKI itu seharusnya memberi pelajaran bahwa pemaksaan kehendak oleh kelompok mayoritas itu sangat berbahaya. Kelompok mayoritas dengan menumpang hak berdemo yang dijamin konstitusi negeri ini justru akan merusak konstitusi negeri ini, yaitu hukum yang berkeadilan, yang bebas tekanan dan intervensi dari pihak mana pun. Tidak boleh kelompok mayoritas merusak sendi-sendi keadilan negeri ini.
Karena itulah, sudah waktunya pemerintah menunjukkan bahwa negeri ini menjamin, menghargai, dan melindungi hak warga agama minoritas. Bukan sekedar retorika, tetapi harus berupa aksi nyata. Persatuan dalam kebhinekaan di negeri ini tidak boleh rusak hanya karena ulah sekelompok masyarakat yang mau menang sendiri dan merasa paling benar sendiri.
Pemerintah harus bersikap adil dalam persoalan ini. Termasuk, seumpama umat Kristiani berkehendak mengadakan Kebaktian Natal di Monas, tentu tak boleh dilarang dan justru harus difasilitasi dan dibantu secara penuh. Sebabnya sederhana. Kalau kemarin umat Islam diizinkan dan difasilitasi untuk menggelar doa dan shalat Jumat di Monas, seharusnya hal serupa juga berlaku untuk umat agama lain.
Mungkin, seandainya ada  Kebaktian Natal di Monas itu adalah salah satu jawaban nyata atas pertanyaan, benarkah pemerintah telah berlaku adil pada setiap umat beragama di negeri ini. Setelah Kebaktian Natal, mungkin umat Budha juga menyusul mengadakan kegiatan senada di sana, demikian juga umat Hindu, dan yang lainnya. Mungkin, Indonesia perlu menunjukkan semangat toleransi ini kepada rakyatnya dan juga kepada dunia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H