Ada yang bilang penugasan Fahri Hamzah dan Fadli Zon ke luar negeri, menyelamatkan keduanya dari penangkapan aksi makar 212. Tentu saja, pendapat itu sekedar kelakar, sindiran, atau bisa juga sekedar analisa yang didasari pada aktivitas duo F itu pada aksi demo 411 lalu. Kebenarannya tentu harus didukung data valid hasil penelusuran Polri atas aksi makar 212.
Sebagaimana diketahui, Fadli Zon ditugaskan DPR jadi pembicara di konferensi internasional di Panama terkait Panama Papers kemudian ke Kuba menghadiri  pemakaman Fidel Castro. Sementara Fahri Hamzah berkunjung ke Uzbekistan menghadiri pemilu di negara itu bersama rombongan anggota DPR. Jadi, keduanya tidak bisa memenuhi undangan GNPF MUI untuk ikut acara di Monas.
Tetapi, entah apa maksud Fahri Hamzah, sebelum berangkat ke Uzbekistan dia sempat-sempat juga berseloroh tentang upaya makar. "Besok Pimpinan DPR ada tiga. Pak (Setya) Novanto, Pak Agus (Hermanto), dan Pak Taufik (Kurniawan). Ketiganya enggak terlibat di demonstrasi 4 November. Jadi tenang saja, enggak bakal ada makar." (Banjarmasinpost.co.id, 2/12/2016)
Dan, memang pada 2 Desember tak ada makar dengan menduduki gedung DPR/MPR yaang diikuti dengan upaya memaksakan digelarnya sidang istimewa. Bukan karena pimpinan DPR tinggal tiga, bukan; tetapi karena sebelas orang yang terkait tindak makar itu Jumat pagi 2 Desember telah ditangkap polisi sebelum beraksi.Â
Disebutnya nama duo F sebagai pihak yang beruntung atau diselamatkan oleh penugasan itu, bisa juga tak terlepas dari vokalnya kedua nama itu dalam mengkritisi kebijakan pemerintahan Jokowi selama ini dan dukungan penuh mereka pada aksi demo yang dimotori Riziek cs itu. Pada demo 411 lalu, kehadiran mereka sebagai peserta demo dengan naik mobil komando bersama Riziek Sihab menunjukkan semua itu.Â
Pidato Fahri Hamzah yang di antaranya pemberian tip menjatuhkan Jokowi dari kedudukannya sebagai presiden, dengan jalan parlemen jalanan dan parlemen dalam ruangan itu, yang diikuti pergerakan massa menuju gedung DPR/MPR untuk mendudukinya, menguatkan tuduhan adanya percobaan upaya makar saat itu. Pidato Fahri Hamzah yang menghujat dan memfitnah Presiden Jokowi itu juga dinilai sebagai provokasi yang melampaui batas. Karena itu, wajar pula jika ada beberapa pihak yang melaporkannya ke polisi untuk diproses hukum.Â
Meski hingga kini belum ada kepastian proses hukumnya, kasus Fahri Hamzah itu tetap menarik dikaji, terlebih setelah munculnya informasi adanya upaya makar dalam aksi-aksi demo itu. Selain isu makar pada demo 411, upaya makar itu juga disebut direncanakan pada demo 2511 yang gagal, yang kemudian diganti dengan aksi 212.
Adanya penangkapan sebelas orang pada 2 Desember Jumat pagi setelah Subuh menjelang aksi 212, mengingatkan orang bahwa isu makar itu ternyata benar dan tidak berhenti meski sudah ramai disoroti. Mereka disebut akan menunggangi aksi itu untuk tujuan makar dengan mengarahkan massa aksi 212 untuk menduduki gedung DPR/MPR.
Setelah menguasai gedung DPR/MPR mereka berencana akan memaksakan sidang istimewa, membatalkan perubahan pada isi pasal di UUD ' 45 sehingga memungkinkan untuk mengganti Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sebuah upaya yang dulu pernah dilakukan untuk menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Skenario makar itu adalah informasi resmi dari kepolisian yang diungkapkan setelah ditangkapnya sebelas orang itu. Banyak yang mengapresiasi Polri atas keberanian dan keberhasilan menangkap sebelas orang itu sehingga aksi 212 berjalan damai dan kondusif. Betapa mengerikannya Republik ini seandainya langkah itu terlambat dilakukan dan massa yang jumlahnya banyak itu ditunggangi untuk menimbulkan kekacauan dan kerusuhan.
Meski hingga kini sudah ada sebelas orang yang ditangkap dan dijadikan tersangka dalam aksi makar 212, belum berarti kasus itu selesai sampai di situ. Masih banyak puzzle yang belum ditemukan dan juga teka-teki silang yang belum terjawab untuk mendapatkan gambar utuh aksi makar 212. Di sinilah nama duo Fahri Hamzah dan Fadli Zon kembali diingat orang.
Terlebih lagi dari sebelas nama yang ditangkap dan dijadikan tersangka itu, sebagian punya hubungan dekat dengan Partai Gerindra, partainya Fadli Zon, misalnya saja Rachmawati wakil ketua umum Partai Gerindra, Kivlan Zen, Ahmad Dhani cawabub Bekasi.
RIZIEK FPI DAN PUZZLE YANG HILANG
Wajar juga jika orang kembali ingat ke Riziek Sihab yang menggerakkan GNPF MUI yang menggerakkan aksi-aksi itu. Walaupun secara resmi, polri menyebutkan dicapainya kesepakatan mengubah dan memindahkan aksi 212 ke Monas dan menjadikan acara itu murni ibadah, orang tetap saja penasaran dan bertanya-tanya benarkah Riziek Sihab itu tak punya hubungan dengan kelompok itu.
Pertanyaan itu juga relevan dengan fakta bahwa pada demo 411 lalu Rizieklah yang menggiring massa dan berorasi di depan gedung DPR/MPR. Riziek pula yang saat itu terlibat dalam perundingan dengan pihak keamanan dan pihak DPR. Kita juga ingat, Massa saat itu ingin masuk dan menguasai gedung DPR/MPR walaupun dengan alasan "numpang tidur", sebuah alasan yang absurd.
Kini setelah aksi 212, nama Riziek seolah jadi bersih karena sebagai orang yang berada di pihak GNPF MUI, dikatakan tidak terlibat dengan aktivitas para pendompleng yang ditangkap polri. Ini bagi sebagian masyarakat yang selama ini tahu sepak terjang Riziek dan FPI-nya seakan dan sulit diterima akal sehat mereka.
Logika sederhananya begini. Kalau tidak ada acara dengan massa besar tentu tidak ada yang bisa didomplengi. Untuk bisa didomplengi harus ada acara dengan massa besar. Untuk ada acara dengan massa besar harus diadakan. Yang ngotot mengadakan acara dengan massa besar itu adalah GNPF MUI itu yang dipandegani Riziek cs. Kalau Riziek cs tidak ngotot, tentu acara itu akan ada.
Dengan urutan logika berpikir semacam itu maka menganggap Riziek clear dari kelompok pendompleng yang ditangkap itu, terasa janggal. Oleh karena itu, memang masih ditunggu penjelasan polri terkait hal ini. Yang pasti aksi 212 dan para pendompleng yang ditangkap itu tidak bisa dipandang berdiri sendiri-sendiri dan hanya dihubungkan dengan "niat mendompleng" saja.
Pertanyaan itu menjadi penting dikaji karena jika benar-benar ingin memutus mata rantai dompleng-mendompleng ini tidak cukup dengan penangkapan itu saja. Objek yang jadi pendomplengan itu juga harus dikaji lagi dengan serius, tidak bisa timpang sebelah. Jika alasannya adalah kasus Basuki Thahaja Purnama, semua sudah jelas karena telah diproses hukum. Jadi, ada hubungan antara kengototan, aksi dengan massa besar, dan upaya pendomplengan.
Kalau kita amati informasi bebas di medsos, ada beberapa bagan yang menempatkan Riziek dan Munarman panglima perang FPI, juga beberapa personel GNPF MUI dalam jaringan makar itu, meski ada di ring luar. Ada banyak nama lain disebut dan tentu saja polisi pasti sudah tahu ituÂ
Meski demikian, informasi bebas semacam itu tidak bisa kita percaya begitu saja dan perlu pendalaman lagi. Saya tak akan ungkap bagan itu di sini, tetapi sekedar ilustrasi bagaimana peran Riziek cs belum sepenuhnya bisa disebut clear dalam persoalan makar ini. Tetapi, sekali lagi ini domain polisi.
Tetapi, diakui atau tidak, masih ada puzzle yang belum terungkap. Tak hanya soal peran Riziek cs yang menimbulkan rasa penasaran itu, tetapi adanya aktor lain yang belum terungkap dan diungkap. Pastilah ada aktor lain yang bermain di balik layar. Tidak hanya sekedar menyiapkan pendanaan, aktor-aktor itu tentu termasuk jaringan pendukung dan tokoh-tokoh yang dipersiapkan jika upaya makar itu berhasil.
Secara resmi, setelah menangkap Kivlan Zen, Adityawarman Thaha, Firza Husein, Rachmawati, Ratna Sarumpaet, Eko Suryo Santjojo, Alvin Indra, Sri Bintang Pamungkas, Ahmad Dhani, jamran, Rizal Kobar, belum ada tersangka baru. Polri baru mengeluarkan pernyataan lanjutan tentang usaha menelusuri penyandang dana aksi makar 212, termasuk kemungkinan adanya tersangka lain.Â
Tetapi, pernyataan itu bisa juga dinilai menyiratkan adanya jaringan lain dalam aksi itu yang belum tersentuh. Penyandang dana hanyalah salah satu jaringan itu, sementara itu tentu akan ada jaringan lain yang mendukung gerakan itu dari sisi lain. Masak sih sebuah gerakan makar bisa berjalan hanya dengan sebelas orang?
Misalnya saja, kalau upaya mereka berhasil menggiring massa demo itu untuk menduduki DPR/MPR, apa ya ketua DPR dan ketua MPR langsung mau menggelar sidang istimewa. Kalau mau tentunya harus ada dukungan anggota DPR/MPR lain. Katakanlah ada yang mendukung, apa ya PDIP diam saja, apa ya Golkar diam saja, apa ya PKB diam saja, apa ya Hanura diam saja, apa Nasdem diam saja. Apa ya semua anggota DPR/MPR yoi-yoi saja.Â
Semua itu tentu sudah diperhitungkan dan disiapkan orang-orangnya. Nah, kalau sudah begini wajar to jika ada kecurigaan sudah ada dirijen di DPR/MPR yang akan menghendel untuk memenuhi tuntutan para pelaku makar dan pasukan pendudukannya. Kalau ini tidak diperhitungkan dan dipersiapkan, berarti mereka kelompok makar amatiran. Saya tidak tahu, apakah polisi juga punya pikiran semacam ini.Â
Kembali ke usaha dompleng-mendomplengi. Karena yang jadi pijakan semua masalah ini  adalah kasus Basuki Tjahaja Purnama; sementara kasus itu walaupun sudah diproses hukum dan segera disidangkan tetap saja dianggap tidak memuaskan, artinya potensi aksi dengan massa besar tetap ada. Dan, selama potensi itu ada, potensi pendomplengan juga tetap ada.Â
Jalan paling mudah mengatasi persoalan ini adalah meniadakan aksi dengan massa besar itu.Tetapi tentu saja Polri tidak bisa begitu saja bisa menghilangkannya karena negara ini menjamin hak orang berdemo asal sesuai aturan hukum.Â
Hanya saja tetap ada pertanyaan yang pantas diajukan dan perlu jawaban. Apakah demo yang bertujuan menekan secara psikis dan mengintervensi sebuah proses hukum dibenarkan? Bukankah itu demo semacam itu tidak sama artinya dengan tidak menghormati proses hukum yang sedang berjalan? Apakah demo semacam ini tidak melanggar aturan hukum?
Untuk menjawab pertanyaan itu biarlah para bijak, cerdik, pandai, dan para pakar hukum yang menjawabnya. Mahkamah Konstitusi mungkin perlu juga dimintai pendapat dan fatwa hukum soal ini. Masalah itu perlu dikaji kembali, jika tidak ingin kelompok mayoritas akan selalu menggunakan cara pengerahan massa untuk memaksakan kebenaran hukum sesuai kepentingan kelompok mereka.
Jika kita hanya bersikukuh dengan pengertian demo yang tidak melanggar hukum seperti saat ini, bisa dibayangkan andaikan NU yang umatnya terbanyak se-Indonesia itu kemudian melakukan aksi serupa dalam kasus lain. Saya yakin Jakarta tidak akan muat menampung massa itu. Ini sekedar ilustrasi karena saya yakin NU tidak akan pernah melakukan hal itu karena rasa memiliki, rasa sayang, dan rasa tanggung jawabnya kepada negeri ini terlampau besar dibanding kepentingan kelompoknya.Â
Kembali ke potensi aksi dengan massa besar yang tetap ada, termasuk saat persidangan kasus Basuki Tjahaja Purnama di PN Jakarta Utara nanti. Jika pengusutan kasus makar itu belum tuntas, maka kemungkinan adanya pihak yang belum terjamah hukum untuk mendomplengi aksi itu juga tetap besar.
Yang mengkhawatirkan adalah jika momen itu dijadikan aksi balasan atas penangkapan yang dilakukan oleh Polri. Ini bukan kekhawatiran yang mengada-ada, tetapi cukup beralasan jika penanganan kasus makar itu belum tuntas benar. Artinya masih banyak jaringan lain masih bebas melenggang dan belum terpantau radar polisi. Tetapi, saya optimistis radar Polri, TNI, dan BIN cukup canggih untuk memantau aktivitas mereka yang masih bebas itu.
Dalam konteks ini, penelusuran siapa penyandang dana aksi makar dan dompleng-mendomplengi itu menjadi sangat penting dan mendesak. Kalau memang potensinya tak bisa dihilangkan, maka jika pendanaannya dipotong, dihentikan, dan pelakunya dikandangkan, otomatis aktivitas itu akan terhenti atau paling tidak skalanya bisa diperkecil. Ini berlaku pada aksi dengan massa besar itu atau aksi makar yang masih mengintai itu.
Ada informasi yang berseliweran yang menyebut kemungkinan pihak-pihak tertentu menjadi penyandang dana aksi ini. Tentu saja, informasi itu sulit dipegang kebenarannya.Â
Termasuk juga adanya pertanyaan yang juga buat penasaran yaitu dalam soal dana-mendanai, dompleng-mendomplengi ini di mana posisi Cikeas, Â Kertanegara, dan juga Cendana? Apakah mereka sepenuhnya bebas dari masalah ini?Â
Nah, kalau yang itu harus hati-hati menjawabnya. Saya sendiri menghindar untuk menjawabnya dan memilih mengikuti perkembangan yang ada karena kasus ini masih berjalan. Jadi, biarlah waktu yang akan menjawabnya.
Jadi kembali ke pertanyan pokok, siapa penyandang dana makar atau aksi turunnannya yang tunggang-menunggangi itu, jawabannya, kalau perorangan berarti dia orang kaya, yang tak suka pada Presiden Jokowi, ingin cepat jadi presiden, punya kepentingan bisnis, punya kepentingan politik, ingin balas budi kepada kelompok penentang Jokowi, atau niat lainnya.Â
Kalau kelompok berarti kelompok itu punya finansial cukup, jaringan pendanaan yang rapi dan kuat, punya kepentingan politik, punya kepentingan bisnis, punya kepentingan atas ideologi tertentu, dan yang pasti kelompok ini sangat berkepentingan atas jatuhnya Presiden Jokowi atau kacaunya negeri ini.Â
Jadi siapa dong penyandang dananya? Ya telusuri saja dari link masing-masing tersangka itu. Mereka kan punya link sendiri to, paling juga tak jauh-jauh dari situ. Tetapi, sebaiknya memang tunggu saja hasil penelusuran polisi. Jangan sebut nama dulu, nanti ada yang marah-marah dan dituduh pitenah...ingat...pitenah...pitenah lebih kejam daripada pembunuhan. Ingat UU ITE.
Salam, damai
Bacaan pendukung:Â
Polisi Telusuri Penyandang Dana untuk Upaya Makar
Kok Fadli Zon dan Fahri Hamzah Malah Keluar Negeri Ketimbang Datang ke Aksi 212
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H