Secara resmi, setelah menangkap Kivlan Zen, Adityawarman Thaha, Firza Husein, Rachmawati, Ratna Sarumpaet, Eko Suryo Santjojo, Alvin Indra, Sri Bintang Pamungkas, Ahmad Dhani, jamran, Rizal Kobar, belum ada tersangka baru. Polri baru mengeluarkan pernyataan lanjutan tentang usaha menelusuri penyandang dana aksi makar 212, termasuk kemungkinan adanya tersangka lain.Â
Tetapi, pernyataan itu bisa juga dinilai menyiratkan adanya jaringan lain dalam aksi itu yang belum tersentuh. Penyandang dana hanyalah salah satu jaringan itu, sementara itu tentu akan ada jaringan lain yang mendukung gerakan itu dari sisi lain. Masak sih sebuah gerakan makar bisa berjalan hanya dengan sebelas orang?
Misalnya saja, kalau upaya mereka berhasil menggiring massa demo itu untuk menduduki DPR/MPR, apa ya ketua DPR dan ketua MPR langsung mau menggelar sidang istimewa. Kalau mau tentunya harus ada dukungan anggota DPR/MPR lain. Katakanlah ada yang mendukung, apa ya PDIP diam saja, apa ya Golkar diam saja, apa ya PKB diam saja, apa ya Hanura diam saja, apa Nasdem diam saja. Apa ya semua anggota DPR/MPR yoi-yoi saja.Â
Semua itu tentu sudah diperhitungkan dan disiapkan orang-orangnya. Nah, kalau sudah begini wajar to jika ada kecurigaan sudah ada dirijen di DPR/MPR yang akan menghendel untuk memenuhi tuntutan para pelaku makar dan pasukan pendudukannya. Kalau ini tidak diperhitungkan dan dipersiapkan, berarti mereka kelompok makar amatiran. Saya tidak tahu, apakah polisi juga punya pikiran semacam ini.Â
Kembali ke usaha dompleng-mendomplengi. Karena yang jadi pijakan semua masalah ini  adalah kasus Basuki Tjahaja Purnama; sementara kasus itu walaupun sudah diproses hukum dan segera disidangkan tetap saja dianggap tidak memuaskan, artinya potensi aksi dengan massa besar tetap ada. Dan, selama potensi itu ada, potensi pendomplengan juga tetap ada.Â
Jalan paling mudah mengatasi persoalan ini adalah meniadakan aksi dengan massa besar itu.Tetapi tentu saja Polri tidak bisa begitu saja bisa menghilangkannya karena negara ini menjamin hak orang berdemo asal sesuai aturan hukum.Â
Hanya saja tetap ada pertanyaan yang pantas diajukan dan perlu jawaban. Apakah demo yang bertujuan menekan secara psikis dan mengintervensi sebuah proses hukum dibenarkan? Bukankah itu demo semacam itu tidak sama artinya dengan tidak menghormati proses hukum yang sedang berjalan? Apakah demo semacam ini tidak melanggar aturan hukum?
Untuk menjawab pertanyaan itu biarlah para bijak, cerdik, pandai, dan para pakar hukum yang menjawabnya. Mahkamah Konstitusi mungkin perlu juga dimintai pendapat dan fatwa hukum soal ini. Masalah itu perlu dikaji kembali, jika tidak ingin kelompok mayoritas akan selalu menggunakan cara pengerahan massa untuk memaksakan kebenaran hukum sesuai kepentingan kelompok mereka.
Jika kita hanya bersikukuh dengan pengertian demo yang tidak melanggar hukum seperti saat ini, bisa dibayangkan andaikan NU yang umatnya terbanyak se-Indonesia itu kemudian melakukan aksi serupa dalam kasus lain. Saya yakin Jakarta tidak akan muat menampung massa itu. Ini sekedar ilustrasi karena saya yakin NU tidak akan pernah melakukan hal itu karena rasa memiliki, rasa sayang, dan rasa tanggung jawabnya kepada negeri ini terlampau besar dibanding kepentingan kelompoknya.Â
Kembali ke potensi aksi dengan massa besar yang tetap ada, termasuk saat persidangan kasus Basuki Tjahaja Purnama di PN Jakarta Utara nanti. Jika pengusutan kasus makar itu belum tuntas, maka kemungkinan adanya pihak yang belum terjamah hukum untuk mendomplengi aksi itu juga tetap besar.