Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

NU Minta Pemerintah Bubarkan Ormas Radikal

24 November 2016   21:26 Diperbarui: 24 November 2016   21:51 1496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto:tribunnews.com

Untuk kesekian kalinya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama meminta kepada pemerintah agar membubarkan ormas yang bertentangan dengan Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD '45. Permintaan ini sudah pernah diutarakan sejak era pemerintahan sebelumnya. Tetapi, kenyataan menunjukkan ormas radikal semacam FPI dan HTI masih bebas melenggang dan memprovokasi massa hingga kini.

Diulanginya permintaan ini oleh PBNU pada acara Kongres XVII Muslimat NU di Asrama Haji, Pondok Gede Jakarta Timur, Kamis (24/11/2016), yang dihadiri juga oleh Presiden Jokowi, mungkin cukup tepat. Situasi sosial politik nasional yang menghangat akibat demo-demo dan perang kata di media itu tak lepas dari peran ormas anti empat pilar itu. Pertanyaannya adalah, apakah pemerintah kali ini akan memenuhi permintaan itu.

KH Said Aqil Siradj ketua PBNU yang mengutarakan permintaan itu memang tidak menyebut satu demi satu ormas yang dimaksud. Yang dipastikannya adalah ormas itu jelas bukan NU, Muhammadyah, atau Wasliyah Sarekat Islam yang ada sejak sebelum kemerdekaan. Pemerintah dinilai sudah tahu ormas yang menentang empat pilar kebangsaan itu. (kompas.com, 24/11/2016)

Tetapi, kalau membaca berita lama, ada dua ormas yang pernah diminta NU untuk dibubarkan yaitu FPI dan HTI. Selama ini yang secara khusus disebut akibat aksinya yang meresahkan masyarakat dan yang secara terbuka ingin mendirikan kekhalifahan di Indonesia memang FPI dan Hizbut Thahir Indonesia (HTI).  Masyarakat luas sudah lama tahu dan merasakan sepak terjang mereka. Muncul juga kesan FPI seolah dibiarkan melecehkan hukum secara terbuka.

Penyebutan kompeni kepada aparat kepolisian, seperti yang ditulis di medsos saat Munarman dan Riziek dipanggil sebagi saksi kasus Ahmad Dhani kemarin tapi tidak datang itu, hanyalah contoh kecil saja. Banyak pelecehan lain, termasuk kepada dasar negara Pancasila juga proklamator yang kini perkaranya dilimpahkan ke Polda Jabar itu.

Kasus-kasus yang melibatkan FPI sudah cukup banyak. Wajar saja jika masyarakat sempat menilai pastilah ada orang besar atau kelompok berpengaruh yang melindungi FPI sehingga ormas ini aman-aman saja. Yang bisa menjawab penilaian ini tentu saja aparat pemerintah sendiri, mengapa ada pembiaran seperti itu. Demikian pula terhadap HTI yang secara terbuka ingin mendirikan kekhalifahan di Indonesia dan menolak dasar negara Pancasila.

Mendagri Tjahjo Kumolo Juni lalu sempat mengungkapkan ada ormas besar yang  anti-Pancasila yang segeta dibubarkan pemerintah. Tjahjo tidak menyebut nama ormas itu, karena masih dirapatkan dengan Polri dan Kejaksaan  Agung. Untuk membubarkan sebuah ormas memang bukan hanya urusan Kemendagri saja, harus ada pertimbangan secara hukum dari Kejaksaan Agung, Polri, juga masukan dari BIN. 

Tetapi, ternyata hingga kini pernyataan pembubaran yang diutarakan oleh Mendagri Tjahjo Kumolo itu belum terwujud. Apakah ini menunjukkan tidak adanya satu pendapat di antara Kemendagri, Polri, Kejaksaan Agung, dan BIN dalam persoalan ini, tidak jelas benar. Hingga saat ini belum terdengar penjelasan lanjutan terkait rencana pembubaran ormas anti-Pancasila itu.

Dan kini, dalam demo-demo yang mengusung semboyan Bela Islam atas kasus dugaan penistaan agama oleh cagub Basuki Tjahaja Purnama itu, terbukti ormas itu jadi aktor utama. Tujuan merongrong pemerintahan Jokowi, tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Jadi, permintaan PBNU kepada pemerintah agar ormas yang menentang empat pilar kebangsaan itu dibubarkan, sangat berdasar.

Ini persoalan prinsip dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penerimaan atas dasar negara Pancasila,UUD '45, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Harus diakui ada upaya sistematis untuk membelokkan sejarah dengan menyebut bahwa Pancasila dan UUD '45 saat ini tidak sesuai lagi dengan rumusan awal, yaitu Piagam Jakarta. Bahkan ada upaya merendahkan martabat Soekarno sebagai pencetus Pancasila.

Tindakan dan aksi yang nyata-nyata merusak kebhinekaan juga bisa terlihat. Meski aksi kekerasaan yang memakai alasan penerapan hukum syari itu relatif jauh berkurang tetapi pemaksaan kehendak dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama ini jelas menunjukkan tidak adanya penghargaan atas kebhinekaan dan hukum yang berlaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun