Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

(Sebuah Dialog) Ketua DPR Kok Gonta-Ganti

22 November 2016   16:38 Diperbarui: 22 November 2016   16:44 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: beritasatu.com, liputan6.com

Lha, tidak ada angin ribut, hujan angin, banjir bandang, tsunami, kok tiba-tiba Golkar mau ganti ketua DPR RI. Apa ya DPR sudah berubah jadi DP Golkar, gitu. Itu kan lembaga terhormat wakil rakyat, kok gonta-ganti ketua seenaknya.

#Ketua DPR itu kan dari Golkar. Nah, Golkar ingin menggantinya. Kau tak perlu ikut ribut.#

Mengganti ketua DPR itu kan ada sebabnya. Orangnya masih sehat, tidak mengundurkan diri, tidak melanggar hukum, tidak terlibat persekongkolan yang membahayakan dan merugikan negara, tidak menjual jabatan, tidak korupsi, tidak jadi calo proyek, tidak main perempuan, tidak buat skandal "mama minta pulsa". Lha, kok ujug-ujug mau diganti.

#Undang-Undang menyatakan pimpinan DPR dapat diberhentikan apabila diusulkan oleh partai politiknya sesuai peraturan perundang-undangan. Jadi, kalau Golkar yang mengusulkan pemberhentian ketua DPR yang dari partainya sendiri, kan boleh saja.#

Itu tidak menjawab pertanyaan, apa yang jadi penyebab ketua DPR diganti. Oke itu hak Golkar untuk mengganti wakilnya, tapi ini ketua DPR jabatan top markotop di legislatif, kan harus ada sebabnya. Pergantian ketua DPR itu pastinya juga akan menimbulkan riak baru di DPR sebelum akhirnya mencapai keseimbangan.

#Nah, kalau itu kita memang harus merawang suasana kebatinan di Golkar. Ade Komaruddin yang hendak diganti dengan Setya Novanto, bisa disebut kelompok kalah paska Munas Golkar di Bali. Memang saat itu ada anggapan, Setya Novanto tak akan mengusik posisi Ade Komaruddin di DPR. Akom dan faksinya menyatakan dukungannya sementara Setya Novanto menyatakan fokus untuk konsolidasi pembenahan partai. Setelah konsolidasi dan posisi Setya Novanto kuat, terlebih dengan rangkulan mautnya ke Jokowi, faksinya dan tentu saja Setya Novanto tentu ingin kembali berkuasa di DPR. Melalui jalur organisasi yang kini dikuasai faksi Setya Novanto, diputuskanlah Ade Komarudin harus diganti.#

Kalau DPR itu milik Golkar sendiri, itu terserah mereka mau ganti seratus kali paling rakyat hanya tertawa, kan DP Golkar bukan DPR. Lha ini DPR RI lho, lembaga wakil rakyat terhormat, yang duduk di situ juga beragam fraksi, tentu tidak bisa semaunya begitu. Suasana kebatinan di DPR dan rakyat juga mesti diperhatikan juga. 

Sampeyan tadi menyebut faksi Setya Novanto dan faksi Ade Komaruddin. Nah apa faksi Ade Komaruddin juga akan tinggal diam saja di DPR, pasti akan ada perlawanan. Ingat itu kasus Fahri Hamzah dan PKS yang tak kunjung selesai. Masa Ade Komaruddin akan diam saja, diganti seperti itu.

#Omongan kau tak salah juga. Di DPP Golkar Setya Novanto memang yang berkuasa, tetapi di DPR Akom tetaplah seorang ketua DPR yang tentu punya kolega yang siap membantu untuk mempertahankan jabatannya. Saya setuju masalah ini tidaklah sederhana dan sangat berpotensi menimbulkan kegaduhan baru.#

Yang juga harus diperhitungkan Golkar sebelum memaksakan kehendak mendudukkan Setya Novanto sebagai ketua DPR lagi adalah, suasana kebatinan rakyat. Apa dipikir rakyat sudah melupakan kasus "Papa Minta Saham" itu. Mendudukkan kembali Setya Novanto sebagai ketua DPR itu seperti membuka borok lama. 

Janganlah keputusan MK yang menyatakan bukti rekaman yang diperoleh tanpa permintaan aparat penegak hukum itu tidak sah, dijadikan pegangan. Keputusan itu hanya menyangkut sah tidaknya rekaman itu untuk bukti hukum. Tetapi substansi pembicaraan itu tidak pernah dinyatakan salah karena suara yang terlibat dalam pembicaraan itu memang milik Setya Novanto.

#Ah, kali ini aku setuju juga sama omongan Kau. Suasana kebatinan rakyat juga mesti diperhatikan. Kalau dipikir lagi, Setya Novanto itu sudah pas di posisinya sekarang. Dia bisa membuktikan kalau tidak gila jabatan, dan fokus membenahi organisasi untuk persiapan pilkada dan pilpres. 

Tapi, kalau dia kini ingin juga menjabat kembali sebagai ketua DPR, agenda politik apa yang sebenarnya yang sedang dipersiapkan. Ingin memgembalikan gengsinya yang hilang akibat kasus "Papa Minta Saham" yang memaksanya mundur itu. Kalau itu maksudnya, jelas tak tepat. Rakyatlah yang menilainya.#

Kepercayaan rakyat kepada Golkar yang terguncang akibat kasus "Papa Minta Saham", yang mulai pulih dengan pendekatan marketing jualan brand Jokowi, bisa kembali buyar dan guncang. Bisa saja kembali muncul penilaian, "Oh ternyata hanya segitu saja to, tobatnya. Merakyat dengan nama Jokowi itu hanya modus". Ya, rakyat kan kini makin kritis.

Kalau sudah begitu, sah juga penilaian bahwa dukungan Golkar untuk mengusung Jokowi maju dalam Pilpres 2019 nanti juga tidak bisa dipegang kepastiannya. Bagaimana tidak, terhadap kadernya sendiri saja meski beda faksi, Akom sudah mau diganti dengan Setya Novanto. Ini kadernya sendiri lho, yang paska munas Bali disebut tak diganggu gugat posisinya sebagai ketua DPR. 

#Ah, omongan Kau makin cerdas saja. Tapi jangan lupa, persoalan di Golkar sendiri tidaklah sesederhana yang Kau pikir. Coba Kau lihat soal dukungan ke Ahok sebagai cagub DKI itu, ketua Golkar itu ternyata juga mengalami perlawanan dari dalam. Sampai-sampai dia memberikan peringatan ke ARB. Nah, pertanyaannya, apakah faksi Akom ini termasuk dalam kelompok itu. Kalau soal dekat dengan JK sih, sudah banyak yang tahu.#

Jadi maksud sampeyan, pergantian ketua DPR itu juga terkait upaya menyatukan Golkar dalam satu visi, tidak ada pembangkangan atas keputusan DPP. Alasan itu tetap saja meragukan, terlebih dengan mendudukkan kembali Setya Novanto sebagai ketua DPR. Yang muncul justru tuduhan bahwa Setya Novanto dan Golkar pimpinannya, sedang memanfaatkan situasi yang dihadapi Jokowi saat ini untuk memaksakan niatnya mendudukkan kembali Setya Novanto sebagai ketua DPR.

Niat ini sudah diutarakan sebagian anggota Golkar beberapa waktu lalu sebelum ribut-ribut soal Ahok, demo, dan rencana makar saat ini. Jadi, kalau Golkar memutuskan Setya Novanto sebagai Golkar pada saat situasi seperti ini, boleh dibilang Golkar sudah memaksa Jokowi untuk mendukung kemauan mereka dengan barter dukungan politik.

#Sesuai undang-undang, Presiden Jokowi tak punya kaitan dengan permasalahan itu. Kan presiden sudah menyatakan itu urusan Golkar dan mekanisme yang berlaku di DPR.#

Sampeyan tidak salah. Tetapi ingat, kasus Setya Novanto itu masih menggantung di Kejaksaan Agung. Dulu dihentikan kan karena saksi yang bernama Reza Chalid yang juga punya kaitan dengan  kasus Petral itu, dipanggil tidak datang dan tidak diketahui rimbanya. Jadi kasus "Papa Minta Saham" itu masih menggantung.

Nah, kalau kini ada rencana untuk mendudukkan kembali Setya Novanto sebagai ketua DPR, wajar pula kalau ini dinilai sebagai bentuk tekanan ke pemerintahan Jokowi untuk tidak mengungkit-ungkit kasus itu dengan membiarkan Setya Novanto duduk kembali sebagai ketua DPR.

#Jadi sahabat yang baik memang seharusnya tidak memanfaatkan kelemahan sahabatnya untuk keuntungan pribadi. Sahabat yang baik seharusnya membantu sahabatnya di kala diperlukan. Sahabat yang baik, terlebih sudah bertekad mengusungnya jadi capres pada 2019 nanti, tentu tidak memanfatkan kesempatan dalam kesempitan sahabatnya. Pertanyaannya, apakah Golkar sudah jadi sahabat baik Jokowi.#

Memang, tak ada kawan atau lawan abadi dalam politik, kepentingan yang mempertemukannya. Tetapi ingat, orang berpolitik itu jualan citra kepada masyarakat. Kalau citranya buruk karena sikap yang suka menelikung kawan, masyarakat tentu akan menilai buruk. Citra partai buruk, masyarakat akan meninggalkannya. Ini seharusnya jadi pegangan juga.

#Pendapat itu tak sepenuhnya benar. Masih banyak juga masyarakat yang tak peduli dengan sikap parpol dan pemimpinnya. Saat mereka datang ke bilik suara, ada beberapa sebab antara lain sungkan ke Pak RT atau ketua TPS, takut dicap melawan pemerintah, atau karena imbalan. Karena itu, jangan heran juga kalau politisi kita tak begitu memperhitungkan tanggapn masyarakat yang mereka wakili.#

Tetapi, kalau menyangkut nama Jokowi, Golkar seharusnya berhitung dengan matang. Saat mereka mengusung nama Jokowi mendahului PDIP partai asal Jokowi, tentu mereka sudah berhitung keuntungan dari jualan brand Jokowi, yang punya pendukung setia yang banyak dan lintas parpol itu. Jadi  kalau Golkar kali ini bertindak bijak saat Jokowi justru membutuhkan dukungan, balasan dari pendukung Jokowi tentu patut diperhitungkan.

#Jadi, sebaiknya Setya Novanto memang harus mengerem ambisinya untuk  kembali jadi ketua DPR begitu?#

Sampeyan sendiri bisa menjawabnya. Ini bukan sekedar soal undang-undang, ada banyak hal yang harus diperhitungkan Golkar jika ingin memaksakan niat menjadikan Setya Novanto sebagai ketua DPR. Selain bisa menimbulkan kegaduhan baru, Golkar akan dinilai masyarakat sebagai partai yang tak setia dan hanya mengejar kekuasaan semata.

Lebih dari itu, jangan harap rakyat akan melupakan kasus "Papa Minta Saham" . Jika Reza Chalid berhasil ditemukan, tak tertutup kemungkinan akan muncul desakan agar kasus itu dibuka kembali. Itu bukan hal yang mustahil.

Jadi, kalau memang ada masalah dengan Ade Komaruddin, solusinya bukan dengan menggantinya dengan Setya Novanto.  Kalau itu dilakukan, pasti ada penilaian: yang punya masalah itu Setya Novanto dan bukan Ade Komaruddin. Jadi, bijaksanalah.

Salam, damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun