#Ah, kali ini aku setuju juga sama omongan Kau. Suasana kebatinan rakyat juga mesti diperhatikan. Kalau dipikir lagi, Setya Novanto itu sudah pas di posisinya sekarang. Dia bisa membuktikan kalau tidak gila jabatan, dan fokus membenahi organisasi untuk persiapan pilkada dan pilpres.Â
Tapi, kalau dia kini ingin juga menjabat kembali sebagai ketua DPR, agenda politik apa yang sebenarnya yang sedang dipersiapkan. Ingin memgembalikan gengsinya yang hilang akibat kasus "Papa Minta Saham" yang memaksanya mundur itu. Kalau itu maksudnya, jelas tak tepat. Rakyatlah yang menilainya.#
Kepercayaan rakyat kepada Golkar yang terguncang akibat kasus "Papa Minta Saham", yang mulai pulih dengan pendekatan marketing jualan brand Jokowi, bisa kembali buyar dan guncang. Bisa saja kembali muncul penilaian, "Oh ternyata hanya segitu saja to, tobatnya. Merakyat dengan nama Jokowi itu hanya modus". Ya, rakyat kan kini makin kritis.
Kalau sudah begitu, sah juga penilaian bahwa dukungan Golkar untuk mengusung Jokowi maju dalam Pilpres 2019 nanti juga tidak bisa dipegang kepastiannya. Bagaimana tidak, terhadap kadernya sendiri saja meski beda faksi, Akom sudah mau diganti dengan Setya Novanto. Ini kadernya sendiri lho, yang paska munas Bali disebut tak diganggu gugat posisinya sebagai ketua DPR.Â
#Ah, omongan Kau makin cerdas saja. Tapi jangan lupa, persoalan di Golkar sendiri tidaklah sesederhana yang Kau pikir. Coba Kau lihat soal dukungan ke Ahok sebagai cagub DKI itu, ketua Golkar itu ternyata juga mengalami perlawanan dari dalam. Sampai-sampai dia memberikan peringatan ke ARB. Nah, pertanyaannya, apakah faksi Akom ini termasuk dalam kelompok itu. Kalau soal dekat dengan JK sih, sudah banyak yang tahu.#
Jadi maksud sampeyan, pergantian ketua DPR itu juga terkait upaya menyatukan Golkar dalam satu visi, tidak ada pembangkangan atas keputusan DPP. Alasan itu tetap saja meragukan, terlebih dengan mendudukkan kembali Setya Novanto sebagai ketua DPR. Yang muncul justru tuduhan bahwa Setya Novanto dan Golkar pimpinannya, sedang memanfaatkan situasi yang dihadapi Jokowi saat ini untuk memaksakan niatnya mendudukkan kembali Setya Novanto sebagai ketua DPR.
Niat ini sudah diutarakan sebagian anggota Golkar beberapa waktu lalu sebelum ribut-ribut soal Ahok, demo, dan rencana makar saat ini. Jadi, kalau Golkar memutuskan Setya Novanto sebagai Golkar pada saat situasi seperti ini, boleh dibilang Golkar sudah memaksa Jokowi untuk mendukung kemauan mereka dengan barter dukungan politik.
#Sesuai undang-undang, Presiden Jokowi tak punya kaitan dengan permasalahan itu. Kan presiden sudah menyatakan itu urusan Golkar dan mekanisme yang berlaku di DPR.#
Sampeyan tidak salah. Tetapi ingat, kasus Setya Novanto itu masih menggantung di Kejaksaan Agung. Dulu dihentikan kan karena saksi yang bernama Reza Chalid yang juga punya kaitan dengan  kasus Petral itu, dipanggil tidak datang dan tidak diketahui rimbanya. Jadi kasus "Papa Minta Saham" itu masih menggantung.
Nah, kalau kini ada rencana untuk mendudukkan kembali Setya Novanto sebagai ketua DPR, wajar pula kalau ini dinilai sebagai bentuk tekanan ke pemerintahan Jokowi untuk tidak mengungkit-ungkit kasus itu dengan membiarkan Setya Novanto duduk kembali sebagai ketua DPR.
#Jadi sahabat yang baik memang seharusnya tidak memanfaatkan kelemahan sahabatnya untuk keuntungan pribadi. Sahabat yang baik seharusnya membantu sahabatnya di kala diperlukan. Sahabat yang baik, terlebih sudah bertekad mengusungnya jadi capres pada 2019 nanti, tentu tidak memanfatkan kesempatan dalam kesempitan sahabatnya. Pertanyaannya, apakah Golkar sudah jadi sahabat baik Jokowi.#