Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Banyu Langse, Situs Purbakala yang Terlupakan

31 Oktober 2016   12:28 Diperbarui: 1 November 2016   02:17 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bu Kemi dan Wiwin putrinya, pembatik Boto. foto: dokpri

Wisata ke tempat-tempat populer macam Ancol, TMII, Malioboro Yogyakarta, Bali mungkin sudah biasa. Ramai-ramai naik bus berombongan dengan tujuan tempat wisata yang sudah dikemas dalam satu paket. Minggu kemarin, saya memilih wisata tidak biasa, wisata ndeso yang digemari anak-anak muda.

Ternyata wisata ndeso ini juga sudah jadi trend para pecinta sepeda, baik sepeda gunung ataupun komunitas sepeda ontel antik yang suka pakai caping gunung dan berpakaian amtenar atau petani ndeso. Seminggu sekali biasanya mereka lewat depan rumah, terkadang ada yang membawa tape recorder membunyinyakan lagu-lagu jadul.

Bagi saya, ini memang wisata murah meriah. Kantong cekak tak jadi halangan, yang penting cukup ada uang untuk beli bensin dan makan minum seadanya di jalan. Sambil menikmati udara pedesaan yang segar bebas polusi, kita bisa menemukan tempat yang menarik yang tak diduga sebelumnya, seperti situs sejarah atau Goa yang terlupakan.

Hari Minggu kemarin, dengan naik motor, saya melakuan wisata ndeso itu bersama istri tercinta, keluyuran ke desa-desa yang punya tempat indah tak kalah dengan yang sudah branded. Ternyata, wisata model begini, tak kalah menariknya. Asal desa tujuan utama sudah direncanakan, tak perlu takut tersesat di jalan. Kalau tersesat, ya tinggal tanya saja pada penduduk setempat.

Kenyataan menunjukkan, banyak warga masyarakat yang tidak tahu kalau daerahnya itu ternyata punya tempat-tempat yang indah dan menarik. Keindahan dan keelokan di depan mata tak tampak, tapi keindahan dan keelokan milik tetangga seribu mil jauhnya tetap terbayang... hehehe. Eh kok jadi ceramah. 

Tapi itu benar, lho. Istri saya yang asli Tuban itu ternyata tidak tahu kalau banyak objek wisata menarik di daerahnya. Tahunya dia, ya Batu-Malang, Yogyakarta, Jakarta, Bali. Padahal hanya beberapa puluh kilo dari rumah, ada juga yang hanya 1 sampai 3 km, ada tempat yang menarik dan indah.

Nah, kemarin kami memutuskan keluyuran ke desa-desa yang punya alam yang indah dan menarik yaitu Desa Boto, Kecamatan Semanding Tuban. Di sana ada air terjun Banyu Langse dan Desa Jetak, Kecamatan Montong Tuban yang punya air terjun Bongok atau Singonegoro. Dua desa ini adalah desa kuno yang punya kaitan dengan sejarah Majapahit bahkan lebih tua dari itu.

Tapi, bagian awal, saya akan menceritakan perjalanan ke Boto dengan air terjun Banyu Langse-nya dulu. Ini desa kuno di pegunungan kapur Kendeng. Orang luar Tuban, mungkin pernah mengenal pertapaan Gembul, Desa Jadi, pertapaan para wali yang dulu semasa Pak Harto sering dikunjungi "orang penting" dari Jakarta untuk menyepi di situ. Desa Boto itu tetangga dekatnya.

Dari rumah kami di Jl Hayam Wuruk  Semanding II, Tuban, sekitar pukul 08.00 (agak kesiangan karena rencananya berangkat pagi pukul 06.00) kami berangkat melalui Jl Gajah Mada. Sampai di Masjid Al Falah di barat Polres Tuban, kami belok kiri melewati jalan desa menuju Desa Sumur Gung, Dusun Bongkol. Udara cukup bersih karena ada persawahan di kanan-kiri jalan.

Para pramuka sedang menjalani LDK di hulu air terjun Banyu Langse. foto: dokpri
Para pramuka sedang menjalani LDK di hulu air terjun Banyu Langse. foto: dokpri
Dari Bongkol kami belok kiri ke arah Desa Tegalrejo, kemudian belok kiri lagi menuju Boto. Tak usah takut tersesat, karena ada petunjuk jalan dan penduduk sangat ramah jika ditanyai arah jalan. Sesampai di Balai Desa Boto, ada Gang Tirto Langse tertulis di atas papan kayu kecil. Kami ikuti saja gang itu, sampai notok terlihat sungainya. Dan, di hulu sungai yang jaraknya sekitar tiga puluh meter sudah terlihat air terjun itu.

Kami kemarin, setelah menengok sebentar memutuskan untuk menikmati pemandangan air terjun yang lebih hulu lagi, tempat yang biasa dipakai pramuka dan pelajar melakukan LDK dan outbond. Ada bukit di atas air terjun ini yang cukup tinggi, yang memiliki tanah yang cukup lapang, di sinilah biasanya mereka berkemah. 

Jadi motor kami putar, masih di Gang Tirto Langse, ada belokan jalan menuju tempat itu. Dan semua jalan di situ kondisinya mulus beraspal, sampai di jembatan di atas air terjun utama. Air terjun Tirto Langse atau Banyu Langse, memang bertingkat-tingkat, meski ketinggiannya tak seberapa tapi jumlahnya banyak, sambung-menyambung. Sayangnya, memang belum ada sentuhan untuk menjadikannya tempat wisata.

Jadi, sikap hati-hati tetap harus dijaga karena belum ada fasilitas apa pun, misalkan tangga, undakan jalan dari semen menuju bawah air terjun. Kalau mau selfi, misalnya, juga harus super hati-hati, khususnya yang air terjun di hulu dekat jembatan, pinggirannya licin. Helm saya kemarin sempat jatuh di tepi air terjun. Karena licin tempat jatuhnya,  terpaksa deh minta pertolongan anggota pramuka.

MENGENAL AIR TERJUN BANYU LANGSE

Banyu Langse adalah sungai purba, yang berhulu di perbukitan Desa Jadi. Letak Desa Boto itu di bawah, sementara Desa Jadi itu di atas, dengan jalanan yang menanjak tajam. Sungai yang menurun tajam itu membentuk air terjun-air terjun mini di aliran sungai yang jumlahnya lebih dari sepuluh. Inilah keunikan Tirto Langse, yang rupanya menarik masyarakat sejak dulunya. 

Di tepinya, berdirilah Desa Boto, penamaan yang diambil dari penemuan batu bata kuno sisa candi, yang kini tinggal jadi "grumbul" dengan Pohon Dora yang usianya sudah ratusan tahun. Para tetua desa ini, saat saya tanya cuma menunjukkan pohon ini dan sisa batu bata di bawahnya, sebagai bukti sejarah desa mereka. 

Konon, di desa ini pada 2013 pernah pula ditemukan batu lingga-yoni, alu serta pipihan yang juga terbuat dari batu, serta patung Airlangga seukuran 10 cm yang terbuat dari kuningan. Benda-benda ini ditemukan di bibir goa Gampeng Gempal, yang terletak sekitar seratus meter dari air terjun. Penemunya seorang pemuda bernama Satria Angga. Entah benda purbakala itu sekarang di mana, di Museum Kambang Putih Tuban atau jadi koleksi pribadi.

Sisa-sisa bukti sejarah purbakala Banyu Langse. foto: dokpri
Sisa-sisa bukti sejarah purbakala Banyu Langse. foto: dokpri
Selain benda purbakala, Candi yang diduga ada di lokasi Pohon Dora Keramat itu, juga ada tempat penempaan benda pusaka semacam keris, tombak, dan sejenisnya milik Empu Besalih. Belum jelas benar lokasi persis candi dan tempat penempaan pusaka milik Empu Besalih. Namun, nama Empu Besalih memang sudah lekat dengan para tetua desa ini.

Desa ini memang desa kuno. Tradisi membatik masih bertahan di sini, batik tulis atau batik cap motif kontemporer atau motif klasik gedok Kerek. Di desa ini pula Bupati Tuban ke-22 P. Soedjono Poetro (1748-1755) dimakamkan, yang tak jauh dari Sungai Banyu Langse.

Penamaan Banyu Langse sendiri memunculkan beberapa versi sejarah yang diyakini masyarakat. Yang umum mempercayai, penunggu air terjun itu adalah Sri Banyulangsih. Ada juga mempercayai, Banyu Langse berasal dari bahasa Jawa Kawi Langse atau naga karena bentuk air terjunnya yang berkelak-kelok. 

Tetapi, ada juga yang meyakini Langse dalam bahasa Jawa Kuno berarti mati atau lambat, lunglai. Ini sesuai dengan penemuan batu bata yang diperkirakan sebagai candi, yang memang biasa berfungsi sebagai tempat pembuangan abu jenazah. Air terjun yang bertingkat-tingkat bisa dimaknai perjalanan menuju alam roh yang bertingkat-tingkat. Karena itulah sungai ini dipilih sebagai lokasi Candi.

Sri Banyulangseh sendiri kalau ditinjau dari nama yang menyandangnya, jelas bukanlah warga biasa. Pemakaian gelar Sri menunjukkan derajat pemiliknya setingkat raja. Penemuan batu lingga yoni, patung Airlangga kecil, juga pipihan batu, menunjukkan Sri Banyulangse kemungkinan besar semasa dengan Airlangga, atau bisa jadi jauh  sebelumnya.

Sayang, tak pernah ada penelitian soal ini. Sementara itu, air terjun Banyu Langse pun tetap apa adanya tanpa sentuhan perhatian. Pohon Dora keramat yang tetap jadi "grumbul" itu adalah bukti nyata sikap acuh tak acuh itu.

Ah, biarkan sajalah. Itu ada yang mengurus sendiri. Saya dan istri kan cuma wisatawan gratisan, jadi ya  enjoy saja. Setelah foto-foto sampai puas, berselfie ria, terpeleset tapi tidak jatuh,  akhirnya kami "mengganggu" Bu Kemi dan Wiwin anaknya yang sedang membatik daster. Dari jauh gubuk kecil di depan rumah itu tampak seperti warung, ternyata itu tempat membatik Bu Kemi dan Wiwin anaknya.

Kami pun ngobrol ngalor-ngidul, tanya ini-itu, dan saya asyik memfoto dari berbagai sudut yang menarik. Dari perbincangan itu kami tahu, baik Bu Kemi mapun Wiwin hanyalah "buruh batik". Upahnya untuk mencap batik per dasternya Rp 900, untuk upah membobor (memborehkan malam) dengan kuas Rp 1.000 per daster. Pewarnaannya diserahkan ke pemilik. Sehari rata-rata bisa menyelesaikan 30 daster. Itulah pendapatan sampingan keluarganya.

Bu Kemi dan Wiwin putrinya, pembatik Boto. foto: dokpri
Bu Kemi dan Wiwin putrinya, pembatik Boto. foto: dokpri
Daster batik yang berbahan dasar kain kaos itu umumnya dihargai Rp 60 ribu per potong. Sayangnya, waktu kami ingin membeli satu-dua potong untuk oleh-oleh belum ada yang jadi. Kami pun akhirnya hanya bisa melihat-lihat saja. 

Andai saja semua potensi yang dimiliki desa ini disajikan dalam kemasan wisata yang menarik, murah, sederhana, tapi berkelas, pastilah bisa memberi manfaat ekonomi yang lebih bagi warga semacam Bu Kemi ini.

Daya tarik desa ini sebagai tujuan wisata gratisan sudah menyebar sejak lebih dari empat tahun lalu. Tetapi, sampai Minggu kemarin, tak terlihat ada upaya berarti untuk memasarkannya. Selain rombongan pramuka yang melakukan LDK, kami juga melihat rombongan pecinta sepeda gunung, beberapa keluarga, juga para remaja datang menikmati Air Terjun Banyulangse.

Tapi, siapa tahu kalau lain kali saya berkesampatan ke tempat ini lagi, ada perubahan yang lebih baik. Bisa menikmati air terjun dengan aman, bisa beli makanan dan minuman, bisa beli oleh-oleh batik. Dan, tentunya ada tempat duduk-duduk yang teduh untuk beristirahat barang sejenak. Juga Goa Gampeng Gempalnya didandani. Dengan begitu, meski wisata ndeso, Banyu Langse berasa internasional.

foto: dokpri
foto: dokpri
Sudah, begitu saja. Nanti dilanjut di wisata ndeso Air Terjun Bongok, Mbah Singonegoro.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun