Sayang, tak pernah ada penelitian soal ini. Sementara itu, air terjun Banyu Langse pun tetap apa adanya tanpa sentuhan perhatian. Pohon Dora keramat yang tetap jadi "grumbul" itu adalah bukti nyata sikap acuh tak acuh itu.
Ah, biarkan sajalah. Itu ada yang mengurus sendiri. Saya dan istri kan cuma wisatawan gratisan, jadi ya  enjoy saja. Setelah foto-foto sampai puas, berselfie ria, terpeleset tapi tidak jatuh,  akhirnya kami "mengganggu" Bu Kemi dan Wiwin anaknya yang sedang membatik daster. Dari jauh gubuk kecil di depan rumah itu tampak seperti warung, ternyata itu tempat membatik Bu Kemi dan Wiwin anaknya.
Kami pun ngobrol ngalor-ngidul, tanya ini-itu, dan saya asyik memfoto dari berbagai sudut yang menarik. Dari perbincangan itu kami tahu, baik Bu Kemi mapun Wiwin hanyalah "buruh batik". Upahnya untuk mencap batik per dasternya Rp 900, untuk upah membobor (memborehkan malam) dengan kuas Rp 1.000 per daster. Pewarnaannya diserahkan ke pemilik. Sehari rata-rata bisa menyelesaikan 30 daster. Itulah pendapatan sampingan keluarganya.
Andai saja semua potensi yang dimiliki desa ini disajikan dalam kemasan wisata yang menarik, murah, sederhana, tapi berkelas, pastilah bisa memberi manfaat ekonomi yang lebih bagi warga semacam Bu Kemi ini.
Daya tarik desa ini sebagai tujuan wisata gratisan sudah menyebar sejak lebih dari empat tahun lalu. Tetapi, sampai Minggu kemarin, tak terlihat ada upaya berarti untuk memasarkannya. Selain rombongan pramuka yang melakukan LDK, kami juga melihat rombongan pecinta sepeda gunung, beberapa keluarga, juga para remaja datang menikmati Air Terjun Banyulangse.
Tapi, siapa tahu kalau lain kali saya berkesampatan ke tempat ini lagi, ada perubahan yang lebih baik. Bisa menikmati air terjun dengan aman, bisa beli makanan dan minuman, bisa beli oleh-oleh batik. Dan, tentunya ada tempat duduk-duduk yang teduh untuk beristirahat barang sejenak. Juga Goa Gampeng Gempalnya didandani. Dengan begitu, meski wisata ndeso, Banyu Langse berasa internasional.
Salam.