Jadi, yang memegang dokumen asli TPF Kematian Munir tak hanya SBY, tapi ada lima lembaga lain termasuk Kejaksaan Agung. Ini seperti jawaban ke Jaksa Agung untuk mencari dokumen itu di lembaganya sendiri, sebelum kulonuwun meminta informasi ke SBY; kalau tak ketemu, silakan Jaksa Agung cari di empat lembaga lainnya itu.
Penjelasan Sudi Silalahi ini nadanya berbeda dengan penjelasan tertulis yang dibacakan pada sidang Komisi Informasi Pusat 19 September 2016 lalu. Dalam jawaban tertulisnya yang dibacakan majelis hakim saat itu, Sudi mengatakan "Saya tidak tahu hasil kerja TPF Munir. Setelah pertemuan terakhir saya ingat ada bundle map dari ketua tim yang diserahkan ke Presiden. Mungkin itu adalah hasil kerja yang dilaporkan kepada Presiden".
Yusril Ihza Mahendra selalu menteri sekretaris negara saat pemerintahan SBY juga menyatakan tidak pernah ada penyerahan dokumen itu ke Sekretaris Negara. Ini diperkuat dengan pernyataan pejabat di Kementerian Sekretariat Negara yang jelas menyatakan dokumen itu tak ada di Sekretariat Negara.
Kini dengan disebutkan bahwa dokumen itu ternyata telah diserahkan juga ke Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Kemenkumham, BIN, dan Seskab, selain SBY sendiri, maka kalau semuanya hilang, ini bisa disebut "kehilangan berjamaah". Sebabnya, enam penerima dokumen itu termasuk SBY, tidak satu pun yang menyimpan atau memiliki dokumen asli. Tak berlebihan kalau keadaan ini disebut aneh tapi nyata.
Alasan Sudi Silalahi yang menyebut selang waktu yang cukup lama sehingga menyulitkan penelusuran dokumen itu juga (maaf) agak mengherankan. Secara tidak langsung, Sudi telah menyatakan semua kearsipan di enam lembaga itu cukup buruk sehingga naskah dokumen asli dalam kasus yang cukup penting semacam itu diabaikan dan raib tidak diketahui rimbanya.
Masalah hilangnya dokumen asli hasil kerja TPF Kematian Munir kini telah melebar dengan pernyataan itu. Dia menyebut sampai saat ini di Polri telah terjadi 7 kali pergantian pejabat, Jaksa Agung 4 pejabat, BIN 5 pejabat, Kemenkumham 5 pejabat, dan Seskab 4 pejabat. Faktor ini menjadi penyebab kesulitan itu. Pertanyaannya kembali, apakah lembaga itu semuanya tidak didukung pengarsipan yang baik?
Kini di tengah misteriusnya enam bundel dokumen asli itu, muncul satu kopi dokumen yang menurut Tim SBY diperoleh selama proses dua minggu mencari dokumen asli itu. Mantan Ketua TPF Marsudhi Hanafi menjamin keaslian kopi dokumen itu. Dokumen inilah yang akan diserahkan ke Presiden Jokowi. Meski demikian, perkara ini tampaknya tak bisa begitu saja selesai sebelum dokumen yang asli ditemukan.
Hendardi mantan anggota TPF menilai kopi dokumen yang diserahkan itu tak menjawab persoalan hilangnya dokumen asli laporan hasil kerja TPF Kematian  Munir. Bahkan dia menilai kopi dokumen itu sebagai "ilegal" dan tidak bisa digunakan meski telah dikonfirmasi oleh Marsudhi. Sebabnya, TPF sudah dibubarkan.
Dengan pernyataan Tim SBY itu, bola pengusutan hilangnya dokumen TPF Kematian Munir telah ditendang dengan jelas menuju jajaran pemerintahan Presiden Jokowi. Sebabnya, tak ada satu penjelasan pun yang diutarakan Tim SBY, mengapa dokumen yang diserahkan ke SBY juga hilang kecuali bahwa telah terjadi serah terima berkas dan dokumen ke lembaga kepresidenan, termasuk ke Arsip Nasional RI, yang jumlahnya sekitar dua truk itu.Â
Dengan demikian, Jaksa Agung yang telah diperintahkan Presiden Jokowi untuk mencari dokumen yang hilang, telah diarahkan Tim SBY untuk tidak mengusik SBY karena mantan presiden ke-6 itu tidak punya dokumen asli karena dokumen telah disebar ke lima lembaga termasuk Kejaksaan Agung, dan "kemungkinan" dokumen yang diterimanya telah masuk dalam dua truk berkas dan dokumen yang diserahkan, termasuk ke Arsip Negara RI.
Walaupun ada embel-embel Tim SBY akan terus berusaha mencari naskah dokumen yang asli, Â dan sementara ini baru bisa menemukan kopi naskahnya, arah pernyataannya sudah jelas. "Para pejabat atau mantan pejabat di lembaga terkait 'mari' bersama-sama mencari naskah dokumen yang asli yang telah diserahkan TPF pada 24 Juni 2005 lalu."