Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

SBY dan Dokumen Kematian Munir (2)

24 Oktober 2016   12:23 Diperbarui: 24 Oktober 2016   17:45 1742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inilah gambaran mengapa wajar saja Jaksa Agung Prasetyo meminta informasi langsung ke SBY. Meminta informasi berbeda dengan memeriksa. Sementara SBY yang tahu persis soal dokumen itu juga wajar saja memberikan informasi agar masalahnya jelas. Yang tidak wajar itu jika Partai Demokrat keberatan jika SBY memberikan informasi karena itu sama saja melarang SBY menjadi warga negara yang baik.

Apakah tidak sebaiknya Presiden Jokowi menelepon langsung ke SBY dan menanyakan soal dokumen itu? Itu bisa saja dilakukan tapi bukan keharusan.  Kalau itu dianggap keharusan, sama artinya dengan menafikkan isi Pasal 27 Ayat 1 UUD '45, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

Jadi, kasus dokumen kematian Munir yang raib itu memang kasus hukum. Presiden  Jokowi memerintahkan Jaksa Agung yang memegang otoritas hukum, karena ini memang masalah hukum. Karena ini masalah hukum, semua yang terkait persoalan ini kedudukannya sama di depan hukum. 

Jika saat ini arah informasi dokumen itu menuju SBY, maka secara hukum SBY sebagai warga negara "bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Persoalan sederhana yang seharusnya tidak dipolitisir oleh Partai Demokrat.

Menunggu SBY Bicara Kebenaran

Setelah berbelok ke berbagai arah, perjalanan kasus dokumen kematian Munir Said Thalib ini sudah mengarah jelas, yaitu SBY tahu dokumen itu dan diserahi tujuh bendel oleh TPF Kematian Munir yang menghadap di kantornya Juni 2005 lalu. Ini informasi dari anggota TPF dan pejabat yang mendampinginya.

Jadi, kejelasan kasus raibnya dokumen kematian Munir ini salah satunya ditentukan penjelasan SBY. Jika SBY mau bicara, maka kemungkinan ditemukannya atau penyebab raibnya dokumen itu bisa diketahui. Oleh karena itu, memang harus ditunggu keihlasan SBY untuk bicara masalah ini dengan sejelas-jelasnya, seterang-terangnya, sebenar-benarnya.

Ada pendapat, untuk menemukan dokumen itu tidak perlu melalui SBY, cukup menelusurinya ke TPF atau malah cukup berselancar di internet dan menemukan dokumen itu di sana. Tentu tidak semudah itu karena secara resmi TPF Kematian Munir sudah bubar. Masalah raibnya dokumen adalah urusan kenegaraan, untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana diperintahkan Komisi Informasi Publik dan menemukan novum baru dalam kematian Munir dan memprosesnya secara hukum. 

Karena ini menjadi persoalan negara, maka cara yang ditempuh juga dengan cara-cara negara. Memakan waktu, tapi cara ini untuk mendapatkan legalitas formal sehingga didapatkan penyelesaian yang memenuhi kaidah hukum negara. Kalau Jaksa Agung yang diberi tugas menangani kasus ini arahnya jelas, kasus ini akan terselesaikan juga.

Selain memenuhi kewajiban mengumumkan dokumen itu ke publik sebagaimana perintah Komisi Informasi Publik, penemuan novum baru untuk menuntaskan kasus HAM pembunuhan Munir juga sangat penting. Kasus yang terjadi pada 7 September 2004 saat SBY masih capres dan ditangani seama pemerintahannya itu dinilai banyak pihak belum tuntas.

Hendardi, salah satu anggota TPF, termasuk orang yang menilai seperti itu. SBY dinilainya tidak banyak membantu. Ada empat level aktor yang direkomendasikan TPF untuk diusut, yaitu aktor lapangan, aktor pemberi fasilitas, aktor perencana, dan aktor pengambil jeputusan. Namun, yang divonis bersalah hanya aktor lapangan yaitu Pollycarpus Budihati Priyanto. Sementara dokumen dari TPF juga tidak diungkap ke publik. (kompas.com, 24/10/2016)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun