Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

SBY dan Dokumen Kematian Munir (2)

24 Oktober 2016   12:23 Diperbarui: 24 Oktober 2016   17:45 1742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". (UUD '45 Pasal 27 Ayat 1)
---
Ternyata, tidaklah mudah bagi mantan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk berbicara terbuka soal dokumen kematian Munir, hasil kerja Tim Pencari Fakta yang telah diserahkan kepadanya Juni 2005 dan kini raib entah ke mana. SBY diyakini tahu persis soal tujuh bendel dokumen itu yang ternyata tidak singgah di Sekretariat Negara.

Dua minggu sudah sejak Komisi Informasi Publik memutuskan hasil kerja Tim Pencari Fakta Kematian Munir yang dibentuk dengan Kepres No 11 Tahun 2004, wajib diumumumkan ke publik, keberadaan dokumen itu tetap tak jelas. Harapan agar SBY secara sukarela bicara ke publik baru setengah bersambut. Sementara Jaksa Agung yang bermaksud menanyakan langsung ke SBY, terkesan masih maju mundur dan ditentang oleh Partai Demokrat.

Saya kutipkan bunyi UUD '45 Pasal 27 Ayat 1 itu, untuk mendudukkan persoalan ini ke bingkai hukum agar tidak melebar ke mana-mana, dipolitisir atas nama sopan santun dan kepantasan, warga kelas utama yang perlu perlakuan khusus, dsb. Jadi marilah kita kembali ke persoalan hukum tentang diwajibkannya dokumen kematian Munir Saud Thalib diumumkan ke publik dan upaya menemukan dokumen itu.

Ini perlu ditegaskan karena Partai Demokrat partainya SBY tampaknya telah menggiring persoalan ini keluar dari konteks hukum. Terakhir lewat jubirnya, Rachland Nashidik,  partai itu merasa keberatan kalau Jaksa Agung Prasetyo meminta keterangan langsung ke SBY. Pernyataan itu terasa aneh dan mencerminkan bagaimana hukum diperlakukan tidak sama kepada setiap warga negara.

Pernyataan itu menjadi bias karena Presiden Jokowi dikesankan secara khusus memerintahkan Jaksa Agung Prasetyo memeriksa SBY terkait hilangnya dokumen itu. Dan ini dinilainya bisa membawa pesan yang keliru karena Jaksa Agung adalah pemegang otoritas hukum pidana. Seharusnya, "Ia (Presiden Jokowi) sebenarnya bisa mengontak dan bertanya sendiri kepada Presiden RI ke-6 (SBY) dengan berbagi niat baik dan kepedulian terhadap penuntasan kasus Munir,” kata Rachland. (tempo.co.id, 22/10/2016)

Ada kerancuan berpikir di kalangan Partai Demokrat dalam memahami persoalan dokumen kematian Munir yang hilang. Ada dua kepentingan utama dalam persoalan mencari keberadaan dokumen itu. Pertama, dokumen itu dicari untuk kemudian diumumkan ke publik sebagaimana keputusan Komisi Informasi Publik 10 Oktober 2016 lalu. Kedua, setelah dokumen ditemukan dan ternyata ada novum baru dalam khusus kematian Munir, Jaksa Agung berkewajiban memprosesnya secara hukum.

Untuk itulah Jaksa Agung Prasetyo diperintahkan Presiden Jokowi untuk menemukan dokumen hasil kerja TPF itu. Tidak ada perintah presiden untuk secara khusus memeriksa SBY. Tetapi, informasi dari kalangan yang tahu persoalan ini menunjukkan, dokumen itu terakhir kali diterima SBY saat diserahkan TPF Juni 2005 lalu, dan tidak diserahkan ke Sekretariat Negara.

Ini ditegaskan oleh Yusril Ihza Mahendra yang saat itu menjabat menteri sekretaris negara. Yusril, Sudi Silalahi yang saat itu menjabat menteri sekretaris kabinet, juga Andi Malarangeng yang jadi jubir presiden ketika itu tahu secara langsung pertemuan TPF Kematian Munir dan Presiden SBY dan juga penyerahan dokumen hasil kerja TPF.

Inilah dasar yang menggiring Jaksa Agung Prasetyo untuk meminta penjelasan kepada SBY dan bukan memeriksa. Meminta penjelasan adalah hal yang wajar dilakukan dalam menelusuri kejadian hilangnya dokumen negara. Jadi Partai Demokrat tidak perlu membelokkannya sehingga terkesan SBY 'diperiksa' dan dijadikan 'pesakitan' dalam kasus itu. Terlebih lagi, upaya menjadikan SBY 'pesakitan' itu atas perintah Jokowi. Yang benar saja.

Jikalau Jaksa Agung Prasetyo mengetuk pintu rumah SBY di Cikeas, dan dengan takzim mengucapkan salam kepada tuan rumah, itu tak perlu dipermasalahkan. Sebagai tuan rumah yang baik, SBY tentunya akan membuka pintu, menjawab salam, dan menyalami tamunya dengan senyum riang. Itu sebuah kewajaran dan harmoni kehidupan.

Nah, setelah beramah-tamah ala kadarnya, jika Jaksa Agung Prasetyo dengan hormat bertanya seputar dokumen kematian Munir, itu juga biasa. Sebagai tuan rumah yang baik dan warga negara yang menghayati isi Pasal 27 Ayat 1 UUD '45, tentu SBY akan menjelaskan dengan serinci-rincinya soal dokumen itu.Harapannya tentu agar masalah itu cepat selesai. Syukur jika ada bundelan dokumen yang mungkin bisa diserahkan.

Inilah gambaran mengapa wajar saja Jaksa Agung Prasetyo meminta informasi langsung ke SBY. Meminta informasi berbeda dengan memeriksa. Sementara SBY yang tahu persis soal dokumen itu juga wajar saja memberikan informasi agar masalahnya jelas. Yang tidak wajar itu jika Partai Demokrat keberatan jika SBY memberikan informasi karena itu sama saja melarang SBY menjadi warga negara yang baik.

Apakah tidak sebaiknya Presiden Jokowi menelepon langsung ke SBY dan menanyakan soal dokumen itu? Itu bisa saja dilakukan tapi bukan keharusan.  Kalau itu dianggap keharusan, sama artinya dengan menafikkan isi Pasal 27 Ayat 1 UUD '45, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

Jadi, kasus dokumen kematian Munir yang raib itu memang kasus hukum. Presiden  Jokowi memerintahkan Jaksa Agung yang memegang otoritas hukum, karena ini memang masalah hukum. Karena ini masalah hukum, semua yang terkait persoalan ini kedudukannya sama di depan hukum. 

Jika saat ini arah informasi dokumen itu menuju SBY, maka secara hukum SBY sebagai warga negara "bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Persoalan sederhana yang seharusnya tidak dipolitisir oleh Partai Demokrat.

Menunggu SBY Bicara Kebenaran

Setelah berbelok ke berbagai arah, perjalanan kasus dokumen kematian Munir Said Thalib ini sudah mengarah jelas, yaitu SBY tahu dokumen itu dan diserahi tujuh bendel oleh TPF Kematian Munir yang menghadap di kantornya Juni 2005 lalu. Ini informasi dari anggota TPF dan pejabat yang mendampinginya.

Jadi, kejelasan kasus raibnya dokumen kematian Munir ini salah satunya ditentukan penjelasan SBY. Jika SBY mau bicara, maka kemungkinan ditemukannya atau penyebab raibnya dokumen itu bisa diketahui. Oleh karena itu, memang harus ditunggu keihlasan SBY untuk bicara masalah ini dengan sejelas-jelasnya, seterang-terangnya, sebenar-benarnya.

Ada pendapat, untuk menemukan dokumen itu tidak perlu melalui SBY, cukup menelusurinya ke TPF atau malah cukup berselancar di internet dan menemukan dokumen itu di sana. Tentu tidak semudah itu karena secara resmi TPF Kematian Munir sudah bubar. Masalah raibnya dokumen adalah urusan kenegaraan, untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana diperintahkan Komisi Informasi Publik dan menemukan novum baru dalam kematian Munir dan memprosesnya secara hukum. 

Karena ini menjadi persoalan negara, maka cara yang ditempuh juga dengan cara-cara negara. Memakan waktu, tapi cara ini untuk mendapatkan legalitas formal sehingga didapatkan penyelesaian yang memenuhi kaidah hukum negara. Kalau Jaksa Agung yang diberi tugas menangani kasus ini arahnya jelas, kasus ini akan terselesaikan juga.

Selain memenuhi kewajiban mengumumkan dokumen itu ke publik sebagaimana perintah Komisi Informasi Publik, penemuan novum baru untuk menuntaskan kasus HAM pembunuhan Munir juga sangat penting. Kasus yang terjadi pada 7 September 2004 saat SBY masih capres dan ditangani seama pemerintahannya itu dinilai banyak pihak belum tuntas.

Hendardi, salah satu anggota TPF, termasuk orang yang menilai seperti itu. SBY dinilainya tidak banyak membantu. Ada empat level aktor yang direkomendasikan TPF untuk diusut, yaitu aktor lapangan, aktor pemberi fasilitas, aktor perencana, dan aktor pengambil jeputusan. Namun, yang divonis bersalah hanya aktor lapangan yaitu Pollycarpus Budihati Priyanto. Sementara dokumen dari TPF juga tidak diungkap ke publik. (kompas.com, 24/10/2016)

Atas dasar itu, keterangan langsung SBY terkait persoalan dokumen kematian Munir menjadi sangat penting. Mungkin inilah saatnya bagi SBY untuk menunjukkan kebesaran hatinya dengan memberikan keterangan dengan sejelas-jelasnya, seterang-terangnya, dan sebenar-benarnya.

Dan, SBY sebagaimana termuat di akun Twitter @SBYudhoyono, Minggu malam, sudah berjanji akan memberikan penjelasan dua tiga hari ke depan. 

screenshot-20161024-120105-580d96a4b493733917cb9f8b.png
screenshot-20161024-120105-580d96a4b493733917cb9f8b.png
Jadi sebaiknya memang kita tunggu saja penjelasan SBY nanti, yang sejelad-jelasnya, seterang-terangnya, dan sebenar-benarnya. Bukankah kasus-kasus HAM harus diselesaikan sehingga tidak jadi beban anak cucu nanti?

Salam, damai.
Bacaan pendukung: satu, dua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun