Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Khol" Sunan Bonang, Pasar Rakyat, dan Doa

21 Oktober 2016   19:46 Diperbarui: 22 Oktober 2016   02:51 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rempeyek udang, sego pecel, rengginang piring dan aneka jajanan. foto: dokumen pribadi

Ini adalah kisah tentang keutamaan yang tak luruh oleh zaman Seorang Wali Allah ratusan tahun lalu namun tetap hidup melintasi zaman Sebuah bukti terpeliharanya kemuliaan dan keberkahan anugerah kehidupan  Kebaikan, kebagusan, kerahmatan yang mengalir bak mata air bagi semua golongan. Pancaran cahaya hati yang mengikat berjuta jiwa, luruh dalam penyerahan Tunduk, tafakkur, sujud, dzikir, tahlil, dan lantunan ayat-ayat Al Qur'an. Diam dalam doa siri dan penyerahan diri ke hadirat Tuhan Semesta Alam

Suasana di Makam Sunan Bonang. foto: dokumen pribadi
Suasana di Makam Sunan Bonang. foto: dokumen pribadi
Kawan, ini kisah tentang Wali Allah yang mengajarkan kerendahan hati, kesucian diri, kesucian hati dalam mengarungi Samudra Kehidupan. Tentang Wali Allah yang mengajarkan penghormatan kepada sesama, melepas diri dari belenggu keduniawian yang menyebarkan Cahaya Illahi dengan suara lembut ditingkap suara merdu bonang yang menggetarkan.

Kawan, ini kisah tentang Wali Allah yang mengajarkan cinta kesejatian, penyerahan diri, keikhlasan,  dan pencarian di jalan Tuhan yang tak menganjurkan permusuhan, penghujatan, tapi bersenandung dengan kelembutan hati dan perasaan yang mengikat hati jutaan manusia, luruh dalam cinta Rasullullah dan penyerahan kepada Allah Tuhan Seru Sekalian Alam.

Kawan, ini kisah Wali Allah Sunan Bonang, yang keutamaannya terus mengalir melintasi zaman membawa Cinta Rasul dan Kebesaran Tuhan

Jika engkau tanya, Sunan Bonang itu Jawa, Cina, Melayu, atau dari Arab sana, semua itu ada dalam dirinya

Jika engkau tanya, Sunan Bonang lebih cinta NU, Muhammdiyah, MUI HTI, FPI, atau ormas lainnya, semua itu belum ada pada zamannya

Jika engkau tanya, Sunang Bonang itu lebih sayang pejabat, hartawan, atau rakyat jelata, semuanya ada dalam amanah Salam yang dipancarkannya

Gerbang tengah menuju Makam Sunan Bonang dan keramiknya. foto: dokumen pribadi
Gerbang tengah menuju Makam Sunan Bonang dan keramiknya. foto: dokumen pribadi
Kawan, Kamis kemarin adalah khol ke-501 Sunan Bonang. Jika datang, akan engkau saksikan manusia berbondong-bondong datang tanpa bayaran, tanpa undangan. Ada bapak-bapak, ibu-ibu, nona-nona, para perjaka, dan anak-anak. Ada para pejabat atau rakyat jelata. Ada kiai langgar, kiai kampung, kiai kecamatan, kiai kabupaten hingga kiai negara. Ada yang bersorban, berpici hitam atau putih, abu atau biru, hijau atau hijau putih, berbenang emas atau katun biasa; ada pula yang tak pakai penutup kepala. 

Ada yang bersarung, berkerudung-kebaya, berjilbab, tapi ada juga yang berjean belel atau hanya bercelana pendek saja. Ada yang naik sedan, bus, truk, mobil gerobak, mobil desa roda tiga, sepeda motor, sepeda ontel atau berjalan. Mereka datang dari empat penjuru angin, berkabilah, berpasangan, atau sendirian. Jangan engkau tanya, apakah mereka semua Islam dan sembahyang

Engkau akan saksikan pasar rakyat di jalanan di sekitar Alun-alun Tuban. Para pedagang musiman datang dari empat mata arah angin. Ada dandang, wajan, piring, pisau, rantang, ataupun kobokan. Ini adalah musim belanja setahun sekali bagi warga pelosok pedesaan. Jangan engkau tanya apakah pedagang dan pembelinya Islam dan bersembahyang

Aneka peralatan dapur, pakaian china, topeng, perahu othok-othok. foto: dokumen pribadi
Aneka peralatan dapur, pakaian china, topeng, perahu othok-othok. foto: dokumen pribadi
Kawan, di pasar rakyat itu, engkau akan saksikan senyum dan tawa bahagia orang kebanyakan. Tak ada gengsi untuk beli sosis bakar atau pentol bakso super besar, arum manis, atau manisan meski debu halus beterbangan. Atau ice cream murah seukuran topi kerucut bocah yang terbalik, meleleh dalam jilatan bocah-bocah ingusan

Ada balon warna-warni, topeng, kapal othok-othok berputar di air dalam nampan, boneka, dan juga aneka mainan. Ada komidi putar, ada pula monyet menari dan bertingkah dengan irama gendang yang ditabuh bersahutan. Ada musik dang dut jalanan yang diputar keras dengan loudspeaker murahan, ada pula lantunan sholawat nabi di sisi lain jalan

Monyet pun ikut beraksi. foto: dokumen pribadi
Monyet pun ikut beraksi. foto: dokumen pribadi
Itulah kawan, pasar rakyat ini laksana lukisan keberagaman. Jangan engkau kaget pula kalau ada copet berkeliaran, menatap dompet dan perhiasan. Ada banyak kebaikan di sana, tapi ada pula kejahatan dan keburukan berjalan beriringan. Sebuah cermin besar yang membuat kita waspada, copet dan pencoleng berwajah kebaikan selalu ada di tiap keutamaan. Sebuah hukum alam yang melintasi zaman, tentang manusia bertopeng kebaikan namun berlaku kebalikan

Jangan engkau heran, Kawan, dan bertanya mengapa itu terjadi. Pertanyaanmu tak relevan, seperti bertanya mengapa engkau dijadikan manusia dan tidak jadi malaikat saja. Jangan engkau heran, Kawan, dan bertanya mengapa manusia di dunia ini tidak dijadikan satu model saja. Pertanyaanmu tidak ikhlas, seperti mahluq yang tak pandai bersyukur akan nikmat keberagaman.

Lihatlah di pasar rakyat itu, Kawan, manusia itu makhluq yang unik yang tak mungkin persis sama dan membawa perbedaan. Di sana juga ada kembang-kembang plastik aneka warna menirukan keberagaman alam. Alam indah karunia Tuhan yang menyimpan berjuta perbedaan, yang berjalan harmoni dalam hukum Tuhan. Jadi mengapa pula itu semua tidak kau syukuri dan renungkan

Ah, Kawan, aku jadi teringat nasihat untuk diri sendiri yang kukirim ke seorang teman. Janganlah ujub, riya', sombong; jangan pula memuja harta dan kuasa; dan jangan sekali-kali merasa ahli surga. Muslim itu membawa amanah Salam, Rahmatal lil Alamin. Mukmin itu wajib membaca ayat-ayat Tuhan di alam semesta untuk memahami firman-firmanNya. Dan toleransi itu adalah sujud syukur manusia atas keberagaman alam karunia  Tuhan. Kawan, pasar rakyat di Khol Sunang Bonang ini mengingatkan itu semua. Tentang toleransi dan rahmatal lil alamin

Rempeyek udang, sego pecel, rengginang piring dan aneka jajanan. foto: dokumen pribadi
Rempeyek udang, sego pecel, rengginang piring dan aneka jajanan. foto: dokumen pribadi
Ah sudahlah, jika kau lapar, di lorong dalam bisa kau dapatkan nasi pecel lima ribuan dan rempeyek udang. Ada juga rengginang piring bergelantungan, bersanding dengan aneka batik, kerudung, kopiah hingga sorban. Di luar itu, ada bursa jenang memanjang memenuhi jalan; berbaris rapi sambung menyambung dan juga berpunggungan. Ada jenang coklat, merah, atau jenang hitam; ada dodol, ada pula yang disuwir-suwir warna merah dan hijau

Itulah Kawan, keberagaman dalam makanan; yang mungkin kau jumpai tak hanya di Khol Sunan Bonang

Bursa jenang memanjang di sepanjang jalan. foto: dokumen pribadi
Bursa jenang memanjang di sepanjang jalan. foto: dokumen pribadi
Itulah kisah tentang Khol Sunan Bonang. Ada tunduk, tafakkur, sujud, dzikir, tahlil, dan alunan ayat-ayat Al Qur'an. Ada diam dalam doa siri, penyerahan diri ke Tuhan Semesta Alam, memohon kelapangan rizki, keselamatan, dan keberkahan. Ada suka, gembira, lelah, tawa, dan aneka rasa kehidupan. Ada pula copet yang terus mengintai dompet dan perhiasan

Jika setelah membaca kisah ini, engkau tak kunjung bisa menerima keberagamanmungkin hatimu memang sakit dan perlu pengobatan

.......

Tombo ati iku limo perkarane
(obat hati itu ada lima perkaranya)

kaping pisan moco Qur’an lan maknane
(yang pertama, baca Qur'an dan maknanya)

kaping pindo sholat wengi lakonono
(yang kedua sholat malam dirikanlah)

kaping telu wong kang sholeh kumpulono
(yang ketiga, berkumpullah dengan orang sholeh) 

kaping papat kudu weteng ingkang luwe
(yang keempat, perbanyaklah berpuasa)

kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
(yang kelima, dzikir malam perbanyaklah)

salah sawijine sopo biso ngelakoni
(salah satunya siapa bisa menjalani)

mugi-mugi Gusti Allah nyembadani”
(mudah-mudahan Gusti Allah mencukupi)

foto: dokumen pribadi
foto: dokumen pribadi
Salam, damai dan sejuk untuk Indonesia

NB: Tulisan ini adalah nasihat untuk diri sendiri, kalau bermanfaat untuk orang lain, ya Alhamdulillah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun