Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Duet Sumbang Buat Presiden Jokowi

13 Oktober 2016   11:19 Diperbarui: 13 Oktober 2016   16:44 5181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: rmol.co | JPNN.com

Kembali ke urusan OTT di Kemenhub. Pernyataan duet sumbang itu sungguh memprihatinkan karena menunjukkan mereka sepertinya tak punya rasa peduli yang lebih terhadap urusan pungli. Praktek yang sudah berjalan masif, bahkan di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi itu, memerlukan perhatian khusus agar bisa direm, dihilangkan, dan ditindak secara hukum.

Inilah yang mungkin tidak ditangkap oleh Fahri Hamzah maupun Fadli Zon, karena sifat dan sikap prasangka buruk dan nyinyirnya itu. Kehadiran presiden adalah pemberi perhatian lebih itu, yang diharapkan bisa menyemangati dan mendorong upaya pemberantasam pungli di Indonesia. Langkah itu juga diambil setelah satu jam sebelumnya presiden mencanangkan Operasi Pemberantasan Pungli.

Jadi, kehadiran presiden di Kemenhub itu bukannya tanpa makna, terlebih hanya sebagai pengalih perhatian. Kehadiran presiden adalah simbol peperangan terhadap pungli telah dimulai, beriringan dengan perang melawan korupsi yang digeber KPK. Dan, ini sejalan dengan upaya reformasi hukum yang mulai dijalankan pemerintah. Pencitraan? Jelas bukan; ini kerja.

OTT di Kemenhub itu hasil sitaannya juga tidak kecil-kecil amat. Uang tunainya Rp 17.270.000 ditambah Rp 34 juta ditambah Rp 61 juta. Totalnya, jumlahkan sendiri. Selain itu ada juga buku tabungan yang bersaldo Rp 1 miliar. Yang paling penting, pungli itu menyasar izin yang seharusnya sudah selesai secara online, tapi dilanjut di meja petugas. Kalau tak mau bayar, izin tak keluar.

Ini model pungli yang (maaf) biasa terjadi saat ini. Sistem boleh online, bayar tetap saja bisa dibuat dua tempat, satu di bank sesusi sistem online; dua dia di kantong petugas sesuai sistem pungli yang sudah mentradisi.Nah, inilah urgensinya menghentikan pungli yang korbannya menyasar masyarakat Indonesia secara luas.

Ya, namanya pungli, uangnya juga terhitung recehan di mata koruptor. Pungli itu pungutan liar, yang mengumpulkan mel-melan dari uang Rp 5 ribu, Rp 10 ribu, Rp 50 ribu, Rp 100 ribu hingga Rp 500 ribu atau lebih. Sedikit demi sedikit akhirnya jadi bukit; karena punglinya sudah jadi bukit, pastilah korbannya tidak sedikit. Karena itu, pungli harus disikat habis.

Namanya pungli itu tidak hanya di Kemenhub, tapi banyak juga di sentra-sentra pelayanan masyarakat. Kata Ombudsman, pelayanan SIM dan Samsat itu juga banyak laporan pungli, ada juga di jembatan timbang, pengurusan KTP, sertifikat tanah, dll. Jadi, pungli itu memang menyasar masyarakat yang butuh pelayanan pemerintah.

Karena menyangkut pelayanan maka korbannya bisa dipastikan banyak atau berjamaah. Sebabnya sederhana, rakyat yang butuh pelayanan itu memang banyak karena jumlah penduduk Indonesia juga banyak. Karena itu, keresahan dan kerugian akibat pungli juga banyak. Ekonomi biaya tinggi, masyarakat terbebani, kesejahteraan menurun.

Itulah pungli, meski uangnya kecil tapi jika ditumpuk bisa jadi bukit. Kalau uangnya langsung gedebuk satu koper 50 miliar dolar Singapura, itu namanya sogokan atau upeti dan tidak lagi disebut pungli. Karena sifat merugikannya yang masal, menyasar khalayak luas, pemerintah bertekat menggelorakan lagi Operasi Pemberantasan Pungli di bawah koordinasi Menkopolhujam.

Inilah suasana kebatinan yang harus dipahami Fahri Hamzah dan Fadli Zon ketika melihat dan mendengar Presiden Jokowi hadir di OTT pungli di Kemenkumham. Itu adalah langkah penegasan bahwa pungli harus diberantas habis. Jadi ini tak ada kaitannya dengan presiden harus mengunjungi 73 ribu desa untuk melihat hal semacam itu.

Ini juga tak ada kaitannya dengan pengalihan isu atau keharusan presiden cukup duduk manis di belakang meja sambil mengagumi roadmap OPP dan rencana detailnya. Itu namanya tak nalar, tidak bisa menangkap suasana kebatinan betapa pungli sudah begitu parah dan harus diberantas habis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun