Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Akrobat Politik "Papa Minta Saham"

30 September 2016   01:27 Diperbarui: 30 September 2016   07:55 2167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena itu  ketika MKD DPR RI pada sidang 27 September 2016 kemarin memutuskan merehabilitasi harkat dan martabat serta nama baik Setya Novanto, dengan menjadikan keputusan MK terkait legalitas barang bukti, itu hanya pengulangan saja. Para anggota MKD itu telah menjadikan persidangan etik seperti persidangan perkara pidana di peradilan umum. Ini tentu tidak tepat karena sifat dua peradilan itu memang berbeda. 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan Tap MPR No. 21/2001 dan TAP MPR No. 8/ 2001 tentang etika berkehidupan berbangsa dan bernegara, menyatakan perkara mengenai etika bisa berjalan sendiri tanpa hukum pidana. Juga, jika penyelenggara negara melakukan perbuatan yang kurang pantas, tidak beretika itu harus mengundurkan diri atau diberhentikan tanpa adanya putusan hukum. 

"Ketentuan itu ada dalam ketetapan tersebut. Orang yang bersalah dalam hukum administrasi negara dapat dihukum tanpa dihukum pidana. Misalnya diberhentikan. Meskipun orangnya tidak dihukum pidana. Jadi hukum administrasi dan hukum pidana itu berbeda, apalagi etika," ungkapnya. 

Karena itu, dia menilai putusan MK  tidak bisa jadi dasar bagi MKD DPR mengabulkan permintaan pemulihan nama baik Setya Novanto. Putusan MK itu dikategorikan sebagai putusan soal hukum pidana, sedangkan putusan MKD adalah tentang etika. "Jadi jalurnya berbeda. Oleh sebab itu tidak bisa saling menghapuskan. Keduanya berjalan sendiri-sendiri." (kompas.com, 29/9/2016)

Mengacu pada pendapat Mahfud MD itu, begitu cepat dan bersemangatnya anggota Mahkamah Kehormatan Dewan merehabilitasi harkat dan martabat serta nama baik Setya Novanto, jelas mengherankan. Sebagai anggota dewan, rasanya kok sulit dipercaya mereka tidak paham perbedaan perkara etika dan pidana, terlebih tahun lalu sudah banyak suara yang mengingatkan mereka.

Oleh karena itu saya cenderung menilai apa yang terjadi saat ini di DPR adalah sebuah akrobat politik. Sebuah akrobat untuk menarik perhatian khalayak dan menyuarakan dengan lantang bahwa Setya Novanto tidak bersalah dalam kasus "Papa Minta Saham". Karena itu harkat dan martabat serta nama baik Setya Novanto harus dipulihkan. Tak hanya itu, kalau bisa Setya Novanto bisa jadi ketua DPR Iagi.

Pertanyaannya, apa target selanjutnya dari akrobat politik itu. Apakah ini berarti skandal "Papa Minta Saham" sudah tamat karena bukti rekaman yang diserahkan Sudirman Said hasil rekaman mantan direktur Feeport Indonesia Ma'roef Sjamsoeddin, saat ini sudah dinyatakan tak bisa dipakai sebagai bukti perkara pidana? Artinya, Setya Novanto sudah tidak terbebani lagi dengan kasus itu?

Untuk internal DPR, boleh saja kasus ini dianggal selesai dengan segala akrobat politik itu. Namun, tulisan ini hanya mengingatkan, tidak semua rakyat bisa dibuat amnesia dari kebenaran kasus ini. Transkrip rekaman pembicaraan antara Setya Novanto, Reza Chalid (yang menghilang entah ke mana), dan Ma'roef Sjamsoeddin sudah beredar luas, dan masyarakat tahu dan bisa menilai apa isi pembicaraan itu.

Secara etika, seorang ketua DPR bertindak dan berinisiatif mempertemukan Ma'roef Sjamsoeddin yang saat itu menjabat direktur Freeport dengan Riza Chalid seorang pengusaha, membicarakan deal-deal bisnis, jelas melanggar etika. Itu tak terkait dengan tugasnya sebagai ketua DPR. Terlebih lagi jika isi pembicaraannya "semeriah" itu.

Karena itu, sebaiknya akrobat politik "Papa Minta Saham" itu dihentikan saja. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada lembaga DPR yang sudah rendah itu jangan dibuat lebih jatuh lagi akibat rehabilitasi dan promosi Setnov yang ganjil ini. Percayalah, memori rakyat indonesia masih cukup baik. 

Masyarakat tentu juga masih ingat bagaimana reaksi Presiden Jokowi saat itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun