Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Akrobat Politik "Papa Minta Saham"

30 September 2016   01:27 Diperbarui: 30 September 2016   07:55 2167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS/ALIF ICHWAN Makhamah Kehormatan Dewan (MKD) memeriksa Setya Novanto dalam perkara pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada sidang MKD, Jakarta, Senin (7/12/2015).

Setya Novanto ingin jadi ketua DPR lagi? Inilah topik yang lagi hangat di sebagian kecil masyarakat Indonesia, khususnya yang ada di gedung DPR Senayan  Jakarta. Yang punya hajat memang mereka, jadi yang ribut ya mereka sendiri. Rakyat yang tahun lalu disuguhi persidangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI dan rekaman "Papa Minta Saham", mungkin dianggap sudah amnesia semua.

Setya Novanto, sekali lagi, memang fenomenal. Terpental dari kursi ketua DPR, dengan gesit dan tangkas, dia bisa langsung menduduki kursi ketua umum Golkar dalam munas di Bali, yang heboh itu. Setelah itu, tanpa sungkan-sungkan dia rangkul Jokowi dan dijadikannya ikon kebangkitan Golkar, sebagai capres partai itu pada 2019.

Ahok pun yang dia kenal cukup lama, segera menyusul dirangkulnya sebagai cagub DKI. Jika sebelumnya Ahok berniat maju lewat jalur independen dengan dukungan Teman Ahok, Nasdem, dan Hanura, setelah Golkar masuk semuanya berubah karena Ahok memutuskan maju lewat jalur partai. Jelas ada pengaruh Setya Novanto di situ.

Merangkul Jokowi, merangkul Ahok, dan entah dia akan merangkul siapa lagi. Setya Novanto sadar betul ada "noda" besar yang masih mengancamnya yaitu skandal "Papa Minta Saham" yang membuatnya hengkang dari kursi ketua DPR. Maka dia pun maju ke Mahkamah Konstitusi, menggugat bukti rekaman yang disodorkan Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan dan kini dipegang Kejaksaan Agung itu.

Hasilnya, sungguh spektakuler. Mahkamah Konstitusi ternyata mengabulkan gugatannya dan menyatakan bukti rekaman yang diperoleh bukan atas perintah penegak hukum, tidak bisa dijadikan barang bukti dalam perkara pidana. Artinya, penyadapan terhadap satu pihak harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan ketentuan sesuai UU ITE. 

Jadi kalau rekaman tidak atas permintaan penegak hukum, ya tidak bisa jadi barang bukti meski isi rekaman itu benar dan valid. Keputusan ini jelas spektakuler, karena menutup peluang masyakat melaporkan suatu tindak kejahatan dengan bukti rekaman, karena bukti itu tidak diperoleh atas perintah penegak hukum. 

Lha, kalau penegak hukum sudah meminta melalukan perekaman, artinya kejahatan atau tindak pidana itu sudah mereka ketahui. Masalahnya aparat penegak hukum tidak selalu tahu dan karena itu membutuhkan laporan masyarakat atau korban kejahatan. Selanjutnya, penegak hukum akan menilai laporan itu memenuhi syarat jika dilengkapi dengan bukti, yang dalam kasus tertentu bisa berupa rekaman.

Apakah hal itu juga sudah dipertimbangkan majelis hakim MK yang diketuai Arief Hidayat (ketua MK saat ini), saya kurang tahu. Namun, keputusan itu terbukti disayangkan beberapa pihak. Ini mungkin mengingatkan orang pada keputusan MK yang membolehkan "politik dinasti" itu dan mantan napi ikut pilkada.

Berbekal keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 itu, Setya Novanto mendesak Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI, agar merehabilitasi dirinya, nama baik dan kehormatannya. Hasilnya, lagi-lagi spektakuler. Setya Novanto kok dilawan.

MKD lewat surat keputusan yang ditandatangani Ketua MKD DPR Sufmi Dasco Ahmad, mengabulkan tuntutan Setya Novanto. Sidang 27 September 2016 terhadap permohonan peninjauan kembali putusan Mahkamah Kehormatan Dewan atas nama Yth. Drs. Setya Novanto, Ak (A-300/F-PG), yang diajukan secara tertulis pada 19 September 2016, memutuskan:

1. Mengabulkan Permohonan Peninjauan Kembali Sdr. Drs. Setya Novanto, Ak terhadap proses Persidangan atas Perkara Pengaduan Sdr. Sudirman Said.

2. Menyatakan bahwa proses persidangan perkara tidak memenuhi syarat hukum untuk memberikan Putusan Etik karena berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 bahwa alat bukti rekaman elektronik sebagai alat bukti utama dalam proses persidangan MKD adalah tidak sah.

3. Memulihkan harkat dan martabat serta nama baik Saudara Setya Novanto dan pihak-pihak lain yang terkait dalam Proses Persidangan MKD. (kompas.com, 29/9/2016).

Akrobat Politk "Papa Minta Saham"

Menyusul telah keluarnya surat keputusan MKD DPR RI yang telah merehabilitasi harkat dan martabat serta nama baik Setya Novanto bahkan pihak lain yang terkait proses persidangan MKD tahun lalu, kini muncul suara agar dia didudukkan kembali sebagai ketua DPR. Setidaknya Ridwan Bae anggor DPR dari Golkar, yang tahun lalu terlibat sebagai "Yang Mulia" di MKD, telah menyuarakan hal itu.

Alasannya, persidangan itu telah mempermalukan Setya Novanto di tingkat nasional bahkan internasional. Karena itu, menjadi wajar jika MKD mengusulan kembali Setya Novanto sebagai ketua DPR. Jika tidak, keputusan itu bersifat setengah hati  sementara Setya Novanto telanjur jadi korban.

Sesederhana itukah kelanjutan skandal "Papa Minta Saham" paska keluarnya keputusan MK yang mengabulkan sebagian gugatan Setya Novanto, yaitu bukti rekaman yang diperoleh tanpa permintaan penegak hukum tidak bisa dijadikan bukti perkara pidana? Inilah yang dikesankan dari tindakan dan keputusan para anggota dewan terhormat itu.

Memang, terkait tuntutan Setnov jadi ketua DPR lagi kini mendapat penentangan dari anggota DPR lain. Misalnya, Taufiqulhadi dari Nasdem, Dadang Rusdiana dari Hanura, juga Asrul Sani dari PPP. Asrul mengaitkan masalah ini dengan UU MD3, yaitu pergantian pimpinan harus melalui mekanisme yang ada. Karena itu, putusan MKD itu tidak otomatis mengembalikan Setnov jadi ketua DPR lagi.

Yang menarik adalah pendapat wakil ketua DPR Agus Hermanto. Dia menilai MKD tidak menganulir keputusan sebelumnya dalam sidang peninjauan kembali itu karena memang MKD tidak pernah mengeluarkan keputusan terkait Setnov. Sebabnya, Setnov terlebih dulu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua DPR.

Kalau dicermati lebih jauh, dari semua pernyataan terkait Setnov ini semuanya menilai wajar jika MKD merehabilitasi martabat dan kehormatan serta nama baik Setnov, paska keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian gugatan terkait sah tidaknya bukti rekaman yang diserahkan Sudirman Said itu. Tidak ada pendapat yang menentang keputusan MKD itu.

Ini memang agak mengherankan, bagaimana bisa keputusan hukum terkait sah tidaknya barang bukti rekaman terkait perkara pidana, bisa mengubur pelanggaran etika yang dilakukan seorang Setya Novanto. Lepas dari cara memperoleh bukti rekaman itu, isi dan subtansi pembicaraan dalam rekaman itu tak otomatis hilang hanya karena rekamn itu bukan atas permintaan penegak hukum.

Kesalahan berpikir yang fatal ini, sudah terlihat sejak skandal "Papa Minta Saham" digelar Desember tahun lalu. Ini terlihat dari pertanyaan yang mengejar legalitas bukti rekaman yang diserahkan Sudirman Said  dan bukannya isi dan substansi pembicaraan dalam rekaman itu. Saat itu sudah banyak yang mengkritik sikap MKD itu namun yang dikritik tak mau dengar kelihatannya.

Karena itu  ketika MKD DPR RI pada sidang 27 September 2016 kemarin memutuskan merehabilitasi harkat dan martabat serta nama baik Setya Novanto, dengan menjadikan keputusan MK terkait legalitas barang bukti, itu hanya pengulangan saja. Para anggota MKD itu telah menjadikan persidangan etik seperti persidangan perkara pidana di peradilan umum. Ini tentu tidak tepat karena sifat dua peradilan itu memang berbeda. 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan Tap MPR No. 21/2001 dan TAP MPR No. 8/ 2001 tentang etika berkehidupan berbangsa dan bernegara, menyatakan perkara mengenai etika bisa berjalan sendiri tanpa hukum pidana. Juga, jika penyelenggara negara melakukan perbuatan yang kurang pantas, tidak beretika itu harus mengundurkan diri atau diberhentikan tanpa adanya putusan hukum. 

"Ketentuan itu ada dalam ketetapan tersebut. Orang yang bersalah dalam hukum administrasi negara dapat dihukum tanpa dihukum pidana. Misalnya diberhentikan. Meskipun orangnya tidak dihukum pidana. Jadi hukum administrasi dan hukum pidana itu berbeda, apalagi etika," ungkapnya. 

Karena itu, dia menilai putusan MK  tidak bisa jadi dasar bagi MKD DPR mengabulkan permintaan pemulihan nama baik Setya Novanto. Putusan MK itu dikategorikan sebagai putusan soal hukum pidana, sedangkan putusan MKD adalah tentang etika. "Jadi jalurnya berbeda. Oleh sebab itu tidak bisa saling menghapuskan. Keduanya berjalan sendiri-sendiri." (kompas.com, 29/9/2016)

Mengacu pada pendapat Mahfud MD itu, begitu cepat dan bersemangatnya anggota Mahkamah Kehormatan Dewan merehabilitasi harkat dan martabat serta nama baik Setya Novanto, jelas mengherankan. Sebagai anggota dewan, rasanya kok sulit dipercaya mereka tidak paham perbedaan perkara etika dan pidana, terlebih tahun lalu sudah banyak suara yang mengingatkan mereka.

Oleh karena itu saya cenderung menilai apa yang terjadi saat ini di DPR adalah sebuah akrobat politik. Sebuah akrobat untuk menarik perhatian khalayak dan menyuarakan dengan lantang bahwa Setya Novanto tidak bersalah dalam kasus "Papa Minta Saham". Karena itu harkat dan martabat serta nama baik Setya Novanto harus dipulihkan. Tak hanya itu, kalau bisa Setya Novanto bisa jadi ketua DPR Iagi.

Pertanyaannya, apa target selanjutnya dari akrobat politik itu. Apakah ini berarti skandal "Papa Minta Saham" sudah tamat karena bukti rekaman yang diserahkan Sudirman Said hasil rekaman mantan direktur Feeport Indonesia Ma'roef Sjamsoeddin, saat ini sudah dinyatakan tak bisa dipakai sebagai bukti perkara pidana? Artinya, Setya Novanto sudah tidak terbebani lagi dengan kasus itu?

Untuk internal DPR, boleh saja kasus ini dianggal selesai dengan segala akrobat politik itu. Namun, tulisan ini hanya mengingatkan, tidak semua rakyat bisa dibuat amnesia dari kebenaran kasus ini. Transkrip rekaman pembicaraan antara Setya Novanto, Reza Chalid (yang menghilang entah ke mana), dan Ma'roef Sjamsoeddin sudah beredar luas, dan masyarakat tahu dan bisa menilai apa isi pembicaraan itu.

Secara etika, seorang ketua DPR bertindak dan berinisiatif mempertemukan Ma'roef Sjamsoeddin yang saat itu menjabat direktur Freeport dengan Riza Chalid seorang pengusaha, membicarakan deal-deal bisnis, jelas melanggar etika. Itu tak terkait dengan tugasnya sebagai ketua DPR. Terlebih lagi jika isi pembicaraannya "semeriah" itu.

Karena itu, sebaiknya akrobat politik "Papa Minta Saham" itu dihentikan saja. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada lembaga DPR yang sudah rendah itu jangan dibuat lebih jatuh lagi akibat rehabilitasi dan promosi Setnov yang ganjil ini. Percayalah, memori rakyat indonesia masih cukup baik. 

Masyarakat tentu juga masih ingat bagaimana reaksi Presiden Jokowi saat itu. 

Salam

Bacaan pendukung: kompas.com dan metrotvnews.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun