Pilgub DKI banyak disebut sebagai salah satu faktor penentu arah pilplres 2019. Soal ini tak perlu diperdebatkan lagi. Pertarungan di pilgub ini diprediksi tak akan kalah dengan Pilpres 2014, yang lukanya tak kunjung sembuh itu. Namun, bukan soal itu yang perlu dikhawatirkan. Yang perlu diantisipasi adalah jika momen ini jadi ajang balas dendam, menghalalkan segala cara, yang bahkan lebih buruk dibanding pilpres 2014 itu.
Walaupun baru pilgub, yang berhajat di momen ini sama saja, ada Megawati, ada Prabowo, ada Susilo Bambang Yudhoyono, ada pula Jokowi yang walaupun berposisi netral sebagai kepala negara, namun mesin politiknya pasti tak akan bersikap netral karena kepentingan Pilpres 2019 nanti.
Megawati usai mengantar dan mendampingi pasangan Cagub-Cawagub Ahok-Djarot, Â mendaftar di KPUD Jakarta, Rabu (21/09/2016) lalu menyatakan harapannya agar pilgub DKI bisa berjalan demokratis, aman, dan stabil. Sebuah harapan tulus seorang negarawan untuk kebaikan dan keutamaan bangsanya.Â
Saya yakin, Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo Subiantoro, dan tokoh-tokoh bangsa lain juga menginginkan hal serupa. Muskil sekali rasanya, jika mereka tidak menghendaki pilgub yang tidak demokratis, tidak aman, dan tidak stabil. Jika memang ada keinginan yang sama, tentunya tinggal mengimplementasikannya ke tingkat bawah. Pertanyaannya,Â
apakah hal ini sudah dilakukannya?Â
Kalau sekarang masih muncul jargon "calon yang didukung cukong" dan "calon yang didukung rakyat" tampaknya hal itu belum berjalan. Â Karena itu, tanpa bermaksud patah arang atas sikap politisi yang tak juga "etis dan demokratis" itu, harapan kita taruh sepenuhnya pada pelaksana pilgub, baik KPU maupun Panwaslu, aparat keamanan baik Polri maupun TNI yang memback up-nya, maupun otoritas lain yang bersinggungan dengan persoalan ini, termasuk Kominfo, untuk bersikap tegas jika ada pelanggaran.
Akhirnya, semuanya kembali kepada kita. Pelajaran dari Garut menunjukkan potensi yang bisa menyebabkan banjir bandang sudah lama diketahui. Namun antisipasi dan respon yang tak memadai mengakibatkan terjadi bencana banjir bandang terbesar selama era Garut modern.
Di pilgub DKI Jakarta, potensi yang bisa jadi pendulum dan penyulut banjir bandang politik juga sudah diketahui. Apakah potensi itu akan dibiarkan dan direspon sekedarnya sehingga berpotensi menimbulkan ancaman petaka? Seharusnya tidak demikian dan wajib dicegah semampunya oleh semua yang terlibat dalam hajatan politik itu. Entahlah, kalau ada menghendaki sebaliknya.
Salam, damai Indonesiaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H