Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membaca Alarm Bahaya dari Garut

23 September 2016   18:30 Diperbarui: 24 September 2016   09:18 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Kompas/Rony Ariyanto Nugroho

Fakta itu bisa jadi pijakan untuk melakukan perbaikan, baik menyangkut tata ruang, perlunya ketegasan hukum dan menjaga daerah aliran sungai, pentingnya reboisasi yang berkesinambungan dan ketegasan hukum terhadap masyarakat yang merusak hutan dan mengubah lahan hutan menjadi kawasan pertanian.

PELAJARAN UNTUK PILGUB JAKARTA

Mungkin terasa kurang logis menghubungkan bencana Garut dengan Pilgub DKI Jakarta. Namun, jangan protes dulu. Apa yang terjadi di alam sebenarnya bisa dipetik pelajarannya untuk kebaikan manusia atau alam itu sendiri. Tak terkecuali bencana di banjir bandang di Garut itu. Semuanya tergantung dari sisi mana pelajaran itu diambil.

Bagi daerah yang memiliki problem geografis dan sosial serupa Garut, mungkin  akan meningkatkan kewaspadaan dan melakukan upaya persiapan dan perbaikan agar bencana serupa tak terjadi di daerahnya. Terlebih lagi, iklim yang terus berubah dan menimbulkan anomali cuaca makin sering terjadi.

Bagi Jakarta yang sedang mempersiapkan pilgub-nya, pelajaran  yang bisa diambil adalah kewaspadaan agar bencana banjir bandang politik tidak terjadi selama proses pilgub berlangsung. Ini bukan kewaspadaan yang mengada-ada, karena ancaman itu nyata jika potensi konflik dan dinamika politik pilgub tidak dikelola dengan cara yang bijaksana, tegas, dan cepat.

Fakta pilgub DKI Jakarta yang menjadikan ancaman banjir bandang politik itu nyata:

Pertama, inilah lompatan sejarah Indonesia modern yang mencoba mewujudkan kebhinekaan dalam pemilihan langsung oleh rakyat, seorang pemimpin bangsa meski baru setingkat gubernur ibu kota negara, dari kalangan minoritas etnis Tionghoa. Riak-riak penerimaan dan penolakan pasti terjadi di dalamnya.

Kedua, meski sudah 71 tahun merdeka, para politisi kita ternyata sebagian masih lekat dengan politik sektariannya, yang cenderung tak menghargai hak dan kehormatan kelompok lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ungkapan, hujatan, caci maki yang terlontar selama proses pilgub ini menunjukkan potensi destruktif yang besar, karena bisa membakar dan menggerakkan emosi di akar rumput.

Ketiga, sentimen SARA secara terang-terangan telah dijadikan komoditas politik kelompok tertentu, tanpa ada ketakutan ada sanksi hukum yang menjerat mereka. Sementara itu, sikap pasif aparat dan pemerintah atas keadaan ini sungguh mengkhawatirkan. Lebih tragis lagi, mereka membungkus dagangan sentimen SARA itu atas nama demokrasi dan hak sebagai warga negara.

Keempat, peran media sosial sebagai ajang pertempuran "cyber army" masing-masing kelompok, dipenuhi dengan ungkapan kasar, caci maki. Keadaan tampaknya sulit dikontrol karena baik yang mencaci maupun yang dicaci menikmati pertunjukan itu. Sementara kelompok pengguna yang masih waras, bisa saja meninggalkan arena semacam itu. Namun, tak sedikit pula yang ikut terpengaruh dan larut di dalamnya.

Empat fakta itu (mungkin masih banyak yang lain) punya kemiripan dengan kasus banjir bandang di Garut, yaitu kita sama-sama tahu ada potensi bahaya itu. Namun mungkin kita belum beranjak untuk mencegah dan memperbaiki keadaan, agar potensi tidak berubah menjadi bencana yang mengerikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun