Sejak 1989, saya sudah biasa melewati jalan itu. Di tepinya, ada sungai berair hijau keputih-putihan yang cukup dalam. Tepat di belokan jalan, air sungai itu jatuh menimbulkan suara bergemuruh. Namun, belum sekali pun saya tergerak berhenti dan menuruni jalan untuk menyaksikan pemandangan air yang bergemuruh jatuh itu.
Dari tepi jalan, sungai yang jatuh itu memang tak begitu menarik kecuali suaranya. Tepat beberapa meter sebelum air jatuh, ada jembatan kecil menghubungkan dua tepiannya, yang dibangun untuk pengaturan irigasi namun juga dimanfaatkan untuk lalu lalang penduduk setempat. Di sisi barat sungai dibuat saluran air kecil, yang dimanfaatkan untuk irigasi.
Tepat di sebelah barat jalan raya, yang tanahnya lebih tinggi dan diplengseng beton, terdapat makam ulama Mbah Jabbar, di naungi pepohonan besar. Kawasan ini, meski tepat di tepi hutan, dulu sangat rimbun dan sejuk, khususnya tahun 80-an. Baik di sisi timur atau barat air terjun, pepohonannya cukup lebat. Tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi.
Dan, beberapa hari lalu, anak wedok saya mengajak jalan-jalan ke tempat itu. Dia sudah pernah ke sana bersama kakak lelakinya setahun lalu. Katanya, air terjun itu sangat elok, indah, dan sangat layak untuk dipotret dan mejeng berselfie ria. Saya nurut saja, terlebih saya memang belum pernah menyaksikan pesona keindahan air terjun itu secara langsung, kecuali dari cerita saja.
Ya itulah Air Terjun Nglirip, di Desa Mulyoagung, Kec. Singgahan Kab. Tuban. Dari kota, jaraknya sekitar 36 km, kalau naik kendaraan dengan kecepatan sedang  atau santai sekitar satu jam. Air terjun ini tepat berada di sisi luar hutan dan merupakan aliran sumber air Krawak, yang dulu cukup dikenal dan sempat jadi lokasi syuting film Rhoma Irama pada tahun 80-an.
September ini, meski sesekali masih turun hujan tak merata, cuaca Tuban relatif cerah dan panas. Suhu rata-rata di atas 31 derajat celcius. Keadaan ini ternyata merata, tak hanya di kota yang dekat laut tapi merata sepanjang jalan bahkan saat di tengah hutan jati yang daunnya meranggas gersang. Itulah yang saya rasakan sepanjang perjalanan.
HUTAN YANG MERANGGAS GERSANG
Dari Kota Tuban, saya potong kompas lewat jalan depan Masjid Al Falah, sebelah barat Polres Tuban. Maunya biar cepat sampai jalan raya Tuwiri Wetan Merak Urak dan langsung ke Montong, tanpa lewat pabrik semen Tuban dan Kerek. Tapi ternyata malah sedikit terhambat karena ada perbaikan jalan desa. Seharusnya saya lewat saja Jl. Letda Sucipto depan kantor DPRD Tuban langsung Merak Urak terus ke Montong lewat Tuwiri Wetan.
Tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi. Pohon-pohon itu banyak yang hilang, sementara penanaman kembali tak cepat mengubah keadaan. Entahlah kalau 15 - 20 tahun lagi, kalau pepohonan itu selamat tumbuh dan tak jadi makanan ternak atau jadi sasaran parang petani penggarap lahan yang tak ingin tanaman jagung atau kacangnya terganggu.Â
Sampai Montong, perjalanan terus ke arah Singgahan. Lagi-lagi saya bernostalgia. Dulu dari kota kecamatan itu sampai Desa Goa Terus, pemandangannya sangat elok. Tebing cadas tinggi vertikal di sebelah barat jalan. Di bawah dan atas rimbun dengan pepohonan, demikian pula di sebelah timur halan. Kini tidak lagi, semuanya berubah gersang.
Masih ada harapan. Dari Goa Terus, yang jalannya diapit batu cadas tinggi menjulang di sisi kiri kanan jalan, berkelak-kelok dengan sudut belokan 90 derajat bahkan kurang itu, biasanya akan langsung masuk kawasan hutan yang lebat. Namun, ternyata itu juga tinggal cerita masa lalu. Hutannya sudah berubah. Bahkan pepohonan lebat, di sebelah utara sumber air Krawak, di tepi jalan juga sudah "dipanen" Perhutani.Hutan kawasan sumber air Krawak dan sekitarnya, seharusnya masuk kategori hutan lindung. Pada tahun 1998 hingga 1999 kawasan ini sempat jadi bancakan para blandong penjarah kayu hutan. Akibatnya sumber air di kawasan itu terancam dan beberapa kering. Akhirnya masyarakat yang dipelopori KH Nasrullah dari Ponpes Tanggir, juga Perhutani, melakukan gerakan penanaman pohon secara masal, secara bergelombang, dari tahun ke tahun.Â