Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gelar Doktor dan Korupsi Gubernur Nur Alam

26 Agustus 2016   15:14 Diperbarui: 26 Agustus 2016   15:37 1298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Namun, tetap saja kebijakan itu akan menimbulkan pertanyaan, seberapa peduli Universitas Negeri Jakarta dalam pemberantasan korupsi. Apakah status tersangka korupsi tidak membuat Universitas Negeri Jakarta menunda gelar itu? Apakah Universitas Negeri Jakarta akan mencabut gelar itu kalau Nur Alam terbukti bersalah dan dipidana? Jawaban atas pertanyaan itu menggambarkan pandangan perguruan tinggi itu atas masalah korupsi di Indonesia.

Sebenarnya, pendapat tentang gelar akademik yang seharusnya dicabut setelah seseorang terbukti melalukan korupsi yang didasari keputusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap, sudah lama didengungan. Langkah yang diambil Binus Universty, Unpad, UII, adalah pilihan dari pandangan yang ada. Memang, belum ada sikap resmi dari Dikti apakah pencabutan gelar semacam itu akan diberlakukan secara nasional.

Perang melawan korupsi tidak bisa hanya dilakukan oleh KPK, Polri, Kejaksaan, yang bermuara di pengadilan. Peran serta masyarakat dan institusi lain termasuk perguruan tinggi sangat diperlukan. Peperangan melawan korupsi tak sekedar penindakan melalui OTT KPK misalnya. Di luar itu ada unsur pencegahan baik melalui perbaikan sistem birokrasi maupun pendidikan antikorupsi.

Perguruan tinggi jelas tak bisa berpangku tangan. Banyaknya kalangan berpendidikan tinggi yang terlibat korupsi, seharusnya bisa membuat perguruan tinggi mereview ulang pandangannya tentang gelar akademik yang sepenuhnya berbasis pengetahuan, dan tak bisa dikaitkan dengan urusan etika dan moral seperti tindak korupsi.

Meskipun demikian kesamaan pandangan dalam persoaan ini tak sepenuhnya bisa diharapkan. Bisa saja perguruan memilih pilihan yang aman, yaitu mengambil tanggung jawab menanamkan nilai moral dan semangat antikorupsi, namun setelah itu menyerahkan sepenuhnya penerapannya kepada alumninya. Perkara mereka tetap melakukan korupsi, itu adakah pilihan alumni yang harus menanggung konsekuensi hukumnya sendiri. 

Pandangan semacam itu sah saja, karena memang tak pernah ada jaminan seseorang yang diajari budi pekerti yang baik, pasti tidak akan jadi orang kriminal di kemudian hari. Tugas perguruan tinggi usai ketika sang mahaiswa diwisuda. Sementara pengusaan ilmu pengetahuan yang diajarkan, dinilai tak terkait standar moral yang dianut alumninya.

Belajar untuk menguasai ilmu pengetahuan memang hak setiap warga negara, termasuk seorang narapidana sekalipun. Karena itulah, banyak napi tak hanya di Indonesia, menjalani masa tahanannya dengan belajar untuk memperoleh gelar. Ini menegaskan gelar akademik sepenuhnya didasari penguasaan ilmu pengetahuan yang diajarkan. Tak peduli apa latar belakang mereka, jika memenuhi persyaratan secara akademik, mereka bisa berkuliah lagi, misalnya di LP Sukamiskin yang diikuti napi koruptor itu.

Akhirnya, persoalan gelar akademik yang disandang para koruptor itu memang bisa dipandang sebagai hak pribadi yang bersangkutan senyampang dia memenuhi persyaratan akademik dan keilmuan. Tesis, disertasi, karya ilmiah mereka adalah kekayaan ilmu pengetahuan yang tentunya tak terpengaruh kecenderungan negatif moral mereka, karena harus melalui saringan ketat ilmu pengetahuan itu sendiri.

Meskipun begitu, banyaknya orang bergelar akademik tinggi yang terlibat korupsi memang seharusnya membuat perguruan tinggi menelaah kembali metode pendidikan moral, etika, semangat anti korupsi kepada mahasiswanya. Mencabut gelar akademik karena perbuatan korupsi alumninya, itu adalah pilihan untuk menimbulkan efek jera.

Namun, pilihan ini agaknya memang sulit dipaksakan sebagai kesepakatan bersama. 

Karena itu, kalau ada orang bergelar profesor, doktor, atau magister jadi koruptor, kita tak usah heboh karena gelar itu tak terkait tindak korupsi mereka. Kita mungkin hanya perlu mengelus dada, mengapa para cerdik pandai kok malah getol korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun