Adalah memprihatinkan melihat kalangan cendekia dan terdidik dengan gelar profesor, doktor, magister yang terjerat tindak pidana korupsi. Tercatat lebih dari sepuluh profesor yang pernah terjerat korupsi. Juga lebih dari 200 doktor (ada yang menyebut 332 doktor, dan 147 magister), melakukan hal yang sama.Â
Misalnya, Profesor I Made Titib (IHDN/Bali), Prof Dr Rahardi Ramelan (ITS), Prof Dr Fasichul Lisan, MA (Unair), Prof Dr Edy Yuwono (Unsoed), Prof. Daan Dimara (Uncen), Prof. Dr Nazaruddin Sjamsuddin, MA (UI), Prof Dr Burhanudin Abdullah (Unpad), Prof Dr Rokhmin Dahuri (IPB), Prof Dr Rudi Rubiandini (ITB), Prof Dr H Abdus Salam (IAIN Cirebon), Prof Dr Zarkasih Anwar, Sp.A(K) (Universitas Sriwijaya), Pr. Dr Miranda S. Goeltom, SE, MBA (UI), Dr Tafsir Nurchamid (UI), Prof Dr Mansur Ramli (Kemendikbud)
Banyak nama tenar lain bergelar doktor juga tersangkut perkara ini, misal Anas Urbaningrum doktor ilmu politik dari Unair, Andi Malarangeng doktor ilmu politik lulusan NIU, Illinois, AS. Akil Mochtar mantan ketua MK itu juga doktor ilmu hukum dari Unpad.
Banyaknya orang bergelar akademik tinggi yang tersangkut tindak pidana korupsi itu memang tidak serta merta berhubungan dengan keilmuan mereka. Rata-rata perkara yang menjerat mereka adalah saat bekerja di luar institusi akademik, meski ada juga yang tersangkut perkara korupsi yang bersentuhan langsung dengan tugas di kampus.
Tetapi itu menunjukkan lemahnya penanaman nilai karakter kejujuran dan perilaku anti korupsi di kalangan mereka. Bisa saja itu karena tak tahan menghadapi godaan dan peluang melakukan korupsi, bisa juga karena terbelit sistem yang korup, atau karena ketidakpedulian mereka terhadap tindak korupsi.
Survei yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menemukan data yang cukup mengejutkan, 33 persen orang Indonesia yang bergelar doktor menilai korupsi adalah wajar. Penelitian CSIS yang dirilis 27 Juli 2016 lalu, mengindikasikan pola pikir yang praktis dan tak mau repot, acuh tak acuh terhadap persoalan korupsi yang membelit negeri.
Ini tentu sangat memprihatinkan. Saat ini, beberapa perguruan tinggi memang telah memberikan pendidikan antikorupsi dengan berbagai macam metode, ceramah, diskusi, hingga kajian kasus. Tentunya gerakan ini tidak bisa hanya berjalan di satu dua kampus, tetapi harus menjadi mata kuliah wajib di seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia.Â
Mengacu pada hasil survei CSIS tersebut, sudah seharusnya pendidikan dan penanaman semangat antikorupsi ditindaklanjuti dengan laku nyata, berupa janji nyata tidak melakukan korupsi dan sanksi tegas kepada alumni yang melanggar berupa pencabutan gelar akademis.
PENCABUTAN GELAR TAK BISA DIPAKSAKAN
Kembali ke gelar doktor dan status tersangka korupsi yang kini disandang Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam. Sepintas memang tak ada yang salah dan menjadi hak Nur Alam tang telah susah payah melakukan penelitian dan membuat disertasi untuk gelarnya itu. Tetapi, melihat kaitan pendidikan karakter dan moral yang juga menjadi tugas dan kewajiban perguruan tinggi, tak sekedar pengetahuan, naif sekali jika status tersangka korupsi tak mempengaruhi sikap dan tindakan Universitas Negeri Jakarta atas pemberian gelar itu.
Memang, ujian promosi untuk gelar doktor Gubernur Nur Alam itu telah terjadwal sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Nur Alam sebagai tersangka. Universitas Negeri  Jakarta mungkin juga telah memperhitungkan konsekuensi hukum, jika sampai menunda atau membatalkan ujian oromosi itu.