Mei tahun ini memang anomali. Kalender rutin Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional, memang berjalan seperti biasa sebagai seremoni tahunan berskala nasional. Namun, ada yang nyleneh tahun ini. Hantu PKI yang biasanya muncul pada bulan September dan Oktober, muncul lebih awal. Sementara Tragedi Mei yang memakan banyak korban itu makin tak jelas penyelesaiannya.
Tragedi Mei tidak hanya memakan korban empat Pahlawan Reformasi, namun ada seribu dua ratus lebih jiwa rakyat tak berdosa ikut jadi korban. Cap yang selama ini yang dilempar, mereka adalah pelaku penjarahan dalam peristiwa yang dikesankan sebagai sentimen anti etnis Tionghoa itu. Namun, bukti menunjukkan sebaliknya. Kejadian itu adalah bagian dari rangkaian rencana sistematis menggoyang Indonesia untuk kekuasaan.
Banyak kejanggalan penanganan aksi kerusuhan itu, yang menguatkan dugaan adanya rivalitas di antara pejabat militer. Ada Nama Wiranto dan kelompoknya ada nama Prabowo dan kelompoknya. Tim Gabungan Pencari Faktra menemukan adanya ketidakcepatan bertindak, satu hal yang sangat diperlukan saat itu.
Ketidakcepatan bertindak itu mengakibatkan “pembiaran sementara”, sehingga kerusuhan tidak tertangani dengan cepat, meluas, dan menimbulkan banyak korban jiwa. Hingga saat ini, peristiwa itu “seolah” dibuat kabur tanpa ada kejelasan siapa yang harus bertanggung jawab dan diseret untuk diadili secara hukum.
Para pecinta teori konspirasi memunculkan nama Beny Moerdani, yang disebut bertanggung jawab atas kejadian itu. Operasi intelijen Beny Moerdani disebut di belakang gerakan “orang-orang” terlatih yang bertindak sebagai provokator sekaligus eksekutor tragedi ini. Teori ini mengeliminasi keterlibatan Prabowo dan kelompoknya. Sementara Beny yang disebut sudah meninggal dunia, tak bisa membela diri.
Meski sudah memasuki era Reformasi, kenyataan menunjukkan sejak era Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini Joko Widodo, kasus ini berjalan mengambang tanpa ada penyelesaian yang jelas. Walau tak sama persis, penanganannya terasa “mirip” upaya merekonstruksi sejarah peristiwa ’65 yang selalu dihambat dengan munculnya hantu PKI.
Oleh karena itulah, saat hantu PKI dimunculkan di bulan Mei ini, terasa ada anomali. Meski kalau dirunut, bisa saja ada hubungan dengan Simposium Nasional Tragedi 1965 yang digagas ketua Lemhanas Agus Wijoyo. Hantu PKI ini juga sah saja dinilai sebagai penghalang aktif, bagi upaya pemerintah untuk menemukan kuburan massal korban peristiwa 1965, yang diperintahkan Presiden Jokowo kepada Menkopolhukam.
Terkait persoalan PKI ini, Presiden Jokowi disebut mengumpulkan Kapolri, Jaksa Agung, kepala BIN, Panglima TNI diwakili KASAD. Hasilnya, presiden memerintahkan agar maraknya peredaran kaos, mercandis, atau kegiatan yang menunjukkan komunis akan bangkit, ditindak secara hukum. Acuanya sudah jelas, Tap MPR No 25 Tahun 1966, UU No 27 Tahun 1999.
Setelah ribut-ribut akibat tindakan aparat dinilai over bahkan cenderung “represif” dengan penangkapan pemakai kaos, “operasi” buku, dan lain-lain, akhirnya presiden mengeluarkan instruksi kedua. Aparat diminta tidak bertindak represif dalam menangani masalah persoalan itu. Nah, kini masalahnya ternyata masih dilanjutkan dengan sikap berbeda Menhan Ryamizard Ryacudu.
Jadinya, hantu PKI itu memang makin heboh saja. Namun, yang menerima akibat persoalan hantu PKI itu ternyata tak hanya simposium Lemhanas dan upaya pencarian kuburan masal itu saja. Akibat tersedot ke hantu-hantu PKI itu, perhatian masyarakat ke Tragedi Mei 1998 juga jauh berkurang. Jadi, munculnya hantu-hantu itu memang menyasar dua kejadian sekaligus, peristiwa 1965 dan tragedi Mei 1998.
Jika dikaji lagi, dari dua kejadian peristiwa besar itu, Tragedi Mei 1998 lebih berdampak langsung pada situasi politik kekinian. Selain karena rentang waktunya lebih pendek (18 tahun), sebagian korban, maupun keluarga korban masih banyak yang hidup. Para pejabat yang seharusnya bertanggung jawab pada saat kejadian itu, juga masih hidup.
Penanganan tragedi ’98 yang tak kunjung tuntas dan diambangkan itu, memberi kesan adanya keengganan untuk mengusik kembali kejadian itu dan menyelesaikannya secara hukum. Seiring berjalannya waktu, penanganan yang mengambang ini, memang membuahkan hasil. Mungkin tahun demi tahun masyarakat akan lupa, sehingga tuntutan penyelesaian perkara ini secara hukum akan semakin menurun.
Sementara itu, para keluarga korban yang terus menuntut keadilan, dari tahun ke tahun energinya semakin habis. Dan, generasi muda saat ini pun sebagian juga berhasil dibelokkan pemahamannya dan mempercayai bahwa kejadian itu adalah kerusuhan antaretnis. Sungguh manajemen isu yang andal, jika memang ada yang merancangnya demikian.
Dibanding tragedi 1998, peristiwa 1965 secara emosional memiliki pengaruh yang tak terlampau dalam bagi generasi masa kini. Mereka adalah generasi yang lebih leluasa mengakses informasi, khususnya melalui dunia digital. Apa yang yang mereka serap, itulah kebenaran yang akan mereka anut. Hantu-hanti PKI yang kini dibangkitkan, justru memperkuat pendapat mereka bahwa sejarah resmi peristiwa 1965 sejarah “setingan”.
(Ini jelas mengkhawatirkan, karena mereka tak mengenal sepak terjang PKI menjelang dan selama pemberontakan mereka pada 1948, juga kiprah mereka setelah tahun-tahun Bung Hatta merehabilitasi nama mereka. Tahun-tahun pertengahan tahun limapuluhan, awal tahun 60-an hingga 1965, adalah rentetan pemicu tragedi 1965, selain faktor peran CIA dan militer binaannya.)
Namun, Tragedi Mei ‘98 yang lebih dekat, secara emosional tentu masih memberikan pengaruh ke masyarakat, termasuk generasi mudanya. Pemahaman peristiwa itu relatif lebih fresh dan mengikat secara emosional. Terlebih lagi, jika para pelaku dan penanggung jawab peristiwa itu masih hidup aman-aman saja, tak tersentuh hukum.
Dengan pemikiran ini, Tragedi Mei ‘98 lebih memberikan dampak politik dan hukum jika diungkap dan pelakunya diadili di pengadilan dengan tuduhan pelanggaran HAM berat. Jadi, hantu PKI yang dibangkitkan di bulan Mei itu, memang berhubungan dan memberi dampak pada upaya “pemahaman” kesejarahan pada peristiwa 1965. Namun, dampak yang lebih besar adalah pengalihan perhatian dari tuntutan penanganan Tragedi Mei ‘98.
Semakin tidak jelasnya penganganan Tragedi Mei ‘98 ini, terbukti hingga saat ini belum ada ketegasan pemerintah terkait penanganan perkara ini. Peradilan HAM yang dituntut para pegiat hak asasi manusia, termasuk keluarga korban juga tak kunjung ditanggapi dengan aksi nyata.
Sementara itu, mereka yang disebut terlibat dan bertanggung jawab pada Tragedi Mei ‘98, justru makin mapan di dunia politik dan kekuasaan. Pertanyaannya adalah, apakah Presiden Jokowi juga akan meneruskan ‘’kegagalan’’ presiden sebelumnya untuk menangani kasus ini secara hukum?
Jika semua kejahatan kemanusiaan penanganannya terus didasarkan pada keseimbangan dan harmoni politik, maka negara ini memang sudah meletakkan hukum dalam posisi yang buruk. Jika tak ada ketegasan negara pada pelanggaran hukum semacam itu, selain menimbulkan beban sejarah, tak tertutup kemungkinan kejadian serupa bisa berulang di masa mendatang.
Dan sebagaimana peristiwa 1965, pemahaman sejarah Tragedi Mei ‘98 juga akan semakin kabur, seiring kaburnya ingatan manusia. Dan selama itu semakin tidak jelas siapa yang harus disalahkan. Jika sudah demikian, Tragedi Mei ‘98 hanya akan jadi mimpi buruk pada keluarga korban sepanjang usianya. Mungkinkah ini yang dikehendaki?
Tulisan ini hanyalah pengingat. Mudah-mudahan tak semua pelanggaran ham berat harus berakhir pada kompromi politik dan pengabaian keadilan bagi korban dan keluarganya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H