Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Giliran HMI yang Minta Maaf

11 Mei 2016   08:20 Diperbarui: 11 Mei 2016   08:35 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sikap Intelektual itu sering hilang ketika emosi menguasai hati. Karena itu ada nasihat ‘’hati boleh panas tapi otak tetap dingin”.  Kalangan terdidik, termasuk anggota HMI atau KAHMI pasti sudah paham itu. Jika kemudian hati panas itu membuat otak panas dan akhirnya berujung hujan batu ke gedung KPK dan melukai tiga polisi, merusak papan nama KPK, menyemprot dengan cat, pot-pot taman bergelimpangan, pasti itu bukan sikap intelektual. 

Karena bukan sikap intelektual, maka pelaku demo di depan Gedung KPK itu bukan kalangan intelektual tapi sama dengan kalangan kebanyakan yang suka rusuh itu. Dan kerusuhan dalam demo yang anarkis, yang merusak, yang melukai polisi itu jelas perbuatan salah. Karena itu perbuatan salah, maka hukum yang harus mengambil alih. Artinya, pelaku demo anarkis itu (HMI) harus menjalani proses hukum.

Ini sikap fair dan tidak memihak dalam menilai aksi demo kader HMI di depan Gedung KPK, Senin (9 Mei 2016) lalu. Tidak bisa kemudian kita meminta pihak lain, untuk memahami aksi demo anarkis semacam itu hanya atas dasar reaksi emosional terhadap Saut Situmorang wakil ketua KPK yang ucapannya menyinggung keluarga besar HMI itu. Emosi boleh saja, tapi jangan merusak dan anarkis karena itu melanggar hukum.

Kalau disebut aksi itu bersifat spontan juga tidak bisa diterima akal sehat, dan itu menyinggung intelektualitas kita. Cat semprot, batu yang melayang menghancurkan kaca dan melukai kepala polisi itu jelas tidak datang tiba-tiba dari langit dengan ‘berdoa’. Pasti sebelumnya sudah dibawa dan dipersiapkan. Artinya, demo model anarkis itu sudah dipersiapkan sebelumnya. Karena itu, demo itu tergolong demo yang melanggar hukum.

Sikap intelektual akan membimbing seseorang untuk mendudukkan perkara pada porsi yang sepatutnya. Semua anggota pergerakan mahasiswa, kalangan intelektual, pasti sudah memahami hal itu. Misalnya saja, kalau ada masalah dengan si A maka selesaikanlah dengan si A. Janganlah gara-gara si A, semua orang di sekitarnya diteror dan dirugikan. Dudukkan masalah pada tempat yang semestinya.

Kalau HMI memang punya masalah dengan Saut Situmorang yang wakil ketua KPK itu, ya selesaikan dengan Saut Situmorang. Itu tak ada urusannya dengan perusakan Gedung KPK yang dibangun dengan uang rakyat itu. Itu juga tak ada urusannya dengan kepala pak polisi yang harus terluka akibat lemparan batu. Itu jelas tak ada urusannya dengan sikap ‘memusuhi’ KPK, yang ditampakkan dalam demo itu.

Jika yang terjadi seperti itu, maka massa HMI yang melakukan demo di depan Gedung KPK itu jelas tidak mendudukkan masalah pada tempatnya. Sebaliknya, timbul kesan buruk seolah HMI memusuhi KPK yang kini jadi andalan rakyat memerangi kejahatan korupsi yang menggurita itu. Apakah HMI mau dicitrakan sebagai musuh KPK? Karena itu, tindakan demo itu tidak intelektual, tidak cerdas, dan bias.

Beberapa media menyebut, demo itu awalnya tertib. Massa datang ke depan Gedung KPK karena Saut memang berkantor di situ sebagai wakil ketua KPK. Pernyataan Saut yang menyinggung HMI yang diutarakan saat acara di TV One itu, juga dalam kapasitasnya sebagai ketua KPK. Jadi, bisa diterima akal sehat kalau aksi itu dilakukan di depan Gedung KPK, dan bukan  di depan rumah Saut Sitomorang misalnya.

Nah, demo yang bisa diterima akal sehat, menjadi tidak sehat ketika datang massa tambahan. Jumlah pendemo yang bertambah itu pun berubah. Hati yang panas itu itu seolah mendapat energi panas baru, sehingga demo pun berlangsung panas. Ini seperti membangkitkan semangat ‘’tirani mayoritas’. 

Karena merasa lebih  besar, massa lebih banyak, demo itu akhirnya berlangsung anarkis. Namun, tetap saja, demo anarkis itu tidak terjadi begitu saja. Batu dan cat semprot kan tidak mungkin datang dari langit. Pasti ada perencanaan, pasti sudah dipersiapkan. Artinya, demo itu memang sudah diwarnai semangat melanggar hukum dari awalnya. Itu bukan sikap yang menggambarkan intelektualitas.

Kata ‘intelektual’ dan ‘hukum’ menjadi penting dalam kasus HMI vs Saut Situmorang ini.  Karena semua masalah ini bermuara dari biasnya masing-masing pihak dalam memahami persoalan. Saut Situmorang bias karena tidak bisa memahami mengapa seseorang menjadi koruptor, sebuah kesalahan berfikir yang fatal untuk ukuran wakil ketua KPK. Sementara anggota HMI (tidak semuanya) bias dalam memahami kedudukan Saut Situmorang dan KPK.

Seseorang bisa melakukan kejahatan karena ada niat dan kesempatan atau sebaliknya. Kalau tak ada niat ya tak ada kejahatan. Atau, kalau tak ada kesempatan, kejahatan tak terjadi. Korupsi juga kejahatan. Ia terjadi karena ada niat dan kesempatan atau sebaliknya. Seseorang melakukan korupsi karena niat dan kesempatan yang diperolehnya. Niat dan kesempatan tidak berhubungan dengan HMI, GMNI, PMII, GMKI, PMKRI, atau yang lain.

Siapa pun manusianya, jika memang punya niat dan kesempatan bisa melakukan kejahatan. Demikian juga kejahatan korupsi. Godaan kekuasaan yang dipegang seseorang (baik pejabat negara atau swasta) bisa mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi. Artinya, semua orang punya potensi sama untuk melakukan korupsi jika punya niat dan kesempatan.

Pendidikan memang diharapkan bisa membentengi seseorang untuk tidak berbuat seperti itu. Nilai etika dan intelektual yang dimiliki seseorang, diharapkan bisa mencegah hal itu. Tapi, itu bukan jaminan. HMI, PMII, GMNI, GMKI, PMKRI, pasti juga membekali anggotanya agar tidak berlaku korup saat menduduki jabatan di pemerintahan atau swasta (saya yakin pendidikan ini pasti ada, entah kalau terlupakan). 

Penanaman nilai etika dan intelektual terkait kejahatan korupsi akan membentengi seseorang pada tahapan ‘niat’. Inilah yang jadi garapan. Dengan bekal nilai etika dan intelektual, tumbuhnya ‘niat’ itu bisa dicegah pada seseorang. Namun,  itu juga bukan jaminan karena tak semua orang itu tergolong ‘baik-baik’ saja. Pasti ada satu dua, yang memang bawaannya melenceng ya terus melenceng.

Sementara ‘kesempatan’ merupakan produk sistem yang akan dimasuki seseorang. Jadi kalau ingin mencegah timbulnya ‘kesempatan’ korupsi, maka sistem itu yang harus diperbaiki. Harus ada sistem pencegahan dini yang sistematis atas kejahatan korupsi. Kalau sistemnya ada namun tidak berjalan, pasti ada yang salah pada sistem dan manusianya. Jelas yang salah tak hanya manusianya karena tak semua manusia itu punya niat korupsi.

Sistem pencegahan dini tindak korupsi adalah ranah Komisi Pemberantasan Korupsi. Penanaman nilai etika dan intelektual pencegahan ‘niat’ berkorupsi adalah ranah pendidikan termasuk HMI, PMII, GMNI, GMKI, PMKTRI, dll. Jadi koruptor lahir karena niat dan kesempatan yang ada, dan masing-masing institusi punya tanggung jawab mencegahnya.

Seharusnya Saut Sitomurang memahami persoalan korupsi dengan kerangka berpikir semacam itu. Kesalahan fatal yang dia lakukan adalah menyebut nama  HMI. Sementara HMI, yang warganya begitu banyak di setiap lapisan di negeri ini, terlalu cepat marah dan tidak bertindak intelektual dalam menyalurkan ketersinggungannya itu.

Saya tak mencampuri urusan HMI yang melaporkan masalah ini ke Polri dan katanya meminta Saut Situmorang ‘meminta maaf lima hari berturut-turut di media nasional’. Itu urusan HMI, mau mengumbar amarah atau introspeksi, atau memaafkan. Demikian pula soal Saut Situmorang yang telah meminta maaf ke PB HMI dan KAHMI, dan tampak belum dimaafkan itu. Biar mereka selesaikan dulu.

Namun, ada yang mengganjal rasa intelektual saya terkait sikap HMI dalam menilai demo di depan KPK yang merusak dan anarkis itu. Ini gara-gara sikap Ketua Umum PB HMI  Mulyadi P Tamsir, yang meminta masyarakat memahami aksi peserta demo di depan Gedung KPK yang anarkis dan merusak itu. Semua itu, kata Mulyadi P Tamsir akibat pernyataan Saut Situmorang yang mendiskreditkan HMI dan alumninya.

Sementara Mulyadi P Tamsir meminta masyarakat memahami aksi demo HMI yang anarkis itu, belum ada sepatah kata pun yang menyatakan rasa penyesalan akibat aksi itu. Juga hingga saat ini belum terlontar satu kata atau kalimat pun yang menyatakan meminta maaf atas kejadian perusakan itu, juga lemparan batu yang membuat polisi terluka.

Pertanyaannya, mengapa di satu pihak HMI menilai Saut Situmorang salah mengeluarkan pernyataan yang mendiskreditkan HMI dan alumninya dan menuntut meminta maaf, namun di pihak lain HMI tidak menilai salah perusakan yang dilakukan anggotanya saat demo lalu. Kalau menilai orang salah, berarti HMI sudah tahu ukuran benar dan salah. Dan, hingga saat ini belum pernah ada yang menyatakan demo merusak dan anarkis itu benar.

Tingkah laku HMI ini, menciderai rasa keadilan di hati saya (mungkin juga banyak yang lain). Gedung KPK itu dibangun dengan uang rakyat. KPK itu simbol perlawanan rakyat atas perilaku koruptif yang membelenggu negeri ini.  Apakah HMI tega menyakiti hati rakyat dengan ‘kelakuannya’ itu?

Pola pikir Mulyadi P Tamsir itu terlalu sulit untuk saya terima sebagai pikiran yang rasional. Mungkin Mulyadi perlu merenung kembali, adakah yang salah dengan pengkaderan yang telah dijalankan selama ini. Ingat, ini bukan kasus pertama. Beberapa waktu lalu, ada kasus ‘makan di restoran’ tanpa bayar walau kemudian dilunasi, ada kasus kepemilikan senjata tajam, naik kapal gratis.

Kemarahan dan emosi tidak bisa dipakai sebagai pembenaran aksi anarkis apa pun. Ada hukum yang harus dipatuhi. Sebagai organisasi kader, organisasi macam HMI, GMNI, PMII, GMKI, PMKRI paham soal itu. Oleh karena itu, jika keluarga besar HMI menginginkan kasus Saut Situmorang diselesaikan secara hukum, hal yang sama seharusnya juga diterapkan pada perusak dan pelempar batu saat demo itu.

Ini sebagai pembelajaran yang baik. Jika HMI mau mempelopori menyerahkan anggotanya ke petugas kepolisian karena demo anarkis itu, itu tindakan yang terpuji. Dengan demikian, ada standar jelas bahwa HMI menjunjung tinggi hukum dan tak menoleransi demo anarkis. Setelah itu, HMI harus meminta maaf kepada rakyat Indonesia karena menampakkan ‘rasa permusuhan’ kepada Gedung KPK.

Salam untuk Mulyadi P Tamsir, ketua umum PB HMI. Salam untuk Pak Mahfud MD, koordinator Presidium Majelis Nasional Korps Alumni HMI (KAHMI), salam untuk keluarga besar HMI. Salam damai, mari maaf-memaafkan. 

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun