Ada judul tulisan di kompas.com, “Seskab: Tak Tah Namanya, Ditangkap karena Korupsi Masih Bisa Tersenyum”. Judul yang menggambarkan perilaku koruptor apa adanya; di antara frasa ‘tak tahu malu’ dan ‘masih bisa tersenyum’. Karena ‘tak tahu malu’, para koruptor itu ‘masih bisa tersenyum’. Apakah seharusnya para koruptor itu ‘malu’ dan ‘tidak tersenyum’ ketika ditangkap?
Supaya jelas, saya kutip kalimat lengkapnya, “Coba kita lihat, hari pertama ditangkap wajahnya sedih dan sendu, lalu kita lihat 2-3 hari berikutnya, wajahnya sudah tenang, sudah bisa tersenyum dan melambaikan tangan ke kamera, ini kan tandanya dia tidak merasa malu.”
Saya tergelitik dengan pernyataan Seskab Pramono Anung itu, yang mengesankan seharusnya para koruptor itu malu karena ditangkap dan bukan sebaliknya malah tersenyum. Pramono Anung mungkin mendasarkan ucapannya pada kelaziman yang seharusnya jadi pegangan masyarakat Indonesia, yaitu harus ada ‘rasa malu’ saat ditangkap petugas karena kejahatan korupsi.
Tak ada yang salah dengan pemikiran itu. Namun, pemikiran ini pun tak ada salahnya: jika si pelaku korupsi itu punya rasa malu, seharusnya rasa malu itu sudah ditampakkan saat dia melakukan korupsi dan jauh sebelum ditangkap petugas. Artinya, ‘rasa malu’ seharusnya sudah ada ketika pejabat atau siapa pun yang melakukan korupsi itu, hendak melakukan perbuatannya.
Memang ada bedanya antara malu saat melakukan korupsi dan malu saat ditangkap petugas. Kalau malu saat korupsi itu karena adanya kesadaran dalam dirinya bahwa perbuatannya itu salah, merugikan banyak orang, dan bisa berakibat fatal bagi negara. Karena itu dia merasa malu kepada dirinya dan kepada Tuhannya. Ini rasa malu yang sebenarnya.
Sementara rasa malu yang kedua, lebih bersifat keterpaksaan karena ‘dipermalukan’ oleh penangkapan itu. Timbulnya rasa ‘malu’ itu bisa jadi bukan dalam pengertian malu yang sebenarnya, namun lebih dikarenakan rasa syok atau takut akan akibat penangkapan itu. Oleh karena itulah, 2-3 hari kemudian ketika rasa syok dan ketakutan itu mulau cair, dia kembali tersenyum dan melambaikan tangan.
Gamblangnya, sebenarnya sedari awal memang tidak ada rasa malu dalam diri pelaku korupsi. Sebab, jika dia masih memiliki rasa malu baik kepada dirinya sendiri atau Tuhan-nya, tentu dia tak akan melakukan perbuatan korupsi yang hina itu. Bukankah korupsi itu adalah mencuri dan pelakunya juga biasa disebut maling. Dan semua orang normal pasti akan terhina kalau disebut maling.
Kasus korupsi memang berbeda dengan penyakit kleptomania, yaitu orang yang suka mengutil. Kalau kleptomania itu memang secara resmi diakui sebagai penyakit kejiwaan, yang membuat penderitanya terdorong melakukan ‘pengutilan’ secara berulang setiap melihat sesuatu yang menarik minatnya. Yang dikutil itu bermacam-macam, mulai BH, celana dalam, hingga barang yang lebih berharga. Rasa malu jelas menempati posisi berbeda dalam kasus ini.
Sementara tindak korupsi, sampai sejauh ini belum ada satu ahli pun yang menggolongkan sebagai penyakit psikologis. Meskipun, ada juga yang menyebut perilaku korupsi itu penyakit dalam masyarakat yang memuja materialisme. Ada juga yang menyebut korupsi terjadi karena begitu besarnya godaan kekuasaan yang dipegang seseorang. Jadi, memang tidak ada yang menyebut korupsi adalah penyakit kejiwaan sebagaimana kleptomania.
Rasa malu sebenarnya fitrah manusia. Ia melekat pada dirinya sebagai makhluq pilihan. Namun, rasa malu ini menemukan bentuk berbeda pada setiap bangsa, bergantung pada ukuran nilai dan norma yang berlaku di sana. Soal kebiasaan pakaian misalnya, bisa menggambarkan sampai sebatas apa rasa malu itu. Tapi apa pun itu, rasa malu memang menjadi milik manusia. Apakah binatang juga rasa malu, saya tidak tahu.
Rasa malu sendiri bisa dipandang sebagai perwujudan dari nilai etika masyarakat. Etika bisa diterjemahkan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak. Ini makna etika menurut KBBI. Etika suatu masyarakat didasarkan pada nilai yang terkandung dalam norma sosial ataupun norma agama.
Contoh gampangnya begini. Ada kalimat yang berbunyi “buanglah sampah pada tempatnya”, artinya membuang sampah pada tempatnya adalah baik, sebaliknya membuang sampah sembarangan tidak baik. Nah, kalau sampah biologis (kencing atau BAB) silakan ke WC. Artinya, kencing atau BAB di WC itu baik, kalau sembarangan itu jelek. (Namun, kalau WC dijadikan tempat penimbunan uang, apakah itu baik?)
Kembali ke pernyataan Seskab Pramono Anung sebelumnya. Bisa jadi dia memandang pelaku korupsi dalam sudut pandang etika semacam itu, bahwa seseorang dalam kehidupan terikat norma-norma yang ada, yaitu norma hukum, norma agama, dan norma sosial kemasyarakatan. Nah, rasa malu adalah satu perwujudan dari nilai etika atas dasar norma-norma yang ada, yang menyangkut apa yang baik dan apa yang buruk, kewajiban moral, dan akhlak yang harus dijalani.
Sedari kecil, kita dididik bahwa mencuri itu perbuatan terlarang. Sedari kecil kita dididik merugikan orang banyak itu perbuatan tercela. Sedari kecil kita dididik mengambil sesuatu yang bukan haknya itu perbuatan yang hina dan menyengsarakan orang lain. Nah, dalam kasus korupsi, nilai-nilai itu tentu sudah melekat pada pelaku korupsi.
Masalahnya kembali ke pelaku korupsi, apakah masih memegang nilai-nilai itu atau telah membuangnya. Kalau masih memegang nilai-nilai itu, berarti saat melakukan korupsi bisa ‘dianggap’ lupa (walau menurut hakim tidak ada istilah lupa dalam kejahatan korupsi). Sebaliknya, jika nilai itu memang sudah dibuang digantikan nilai materialisme, berarti dia memang sudah tak punya rasa malu dalam urusan korupsi.
Saya teringat perbincangan pagi Prof Hamdi Muluk di sebuah stasiun televisi swasta. Dia sepakat rasa malu adalah salah satu wujud nilai etika suatu bangsa, walau masih tergolong nilai yang rendah. Seseorang merasa malu karena melakukan perbuatan yang tak sesuai dengan etika yang ada. Rasa malu ini mendorongnya untuk mengambil langkah atau tindakan sebagai rasa tanggung jawabnya. Misalnya saja seorang pejabat mengundurkan diri dari jabatannya.
Yang lebih tinggi lagi adalah rasa ‘merasa bersalah’. Perasaan bersalah karena tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya, perasaan bersalah kalau tanggung jawab yang diembannya tak bisa ditunaikannya, perasaan bersalah kalau tingkah lakunya merugikan orang banyak. Pejabat yang memegang teguh nilai etika semacam ini biasanya akan memilih mengundurkan diri. Di Jepang, bisa berakhir dengan harakiri.
Ingatan itu membuat saya merasa tidak tahu, apakah masih relevan mengaitkan rasa malu dengan pelaku tindak pidana korupsi. Ini kok rasanya tak ketemu. Rasanya kok muskil pelaku korupsi punya rasa malu sebagai perwujudan nilai etika semacam itu. Atau mungkin saya terlalu serius menilai rasa malu, sementara ada yang menilai rasa malu itu hanya sekedar ekspresi di wajah saja.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H