Contoh gampangnya begini. Ada kalimat yang berbunyi “buanglah sampah pada tempatnya”, artinya membuang sampah pada tempatnya adalah baik, sebaliknya membuang sampah sembarangan tidak baik. Nah, kalau sampah biologis (kencing atau BAB) silakan ke WC. Artinya, kencing atau BAB di WC itu baik, kalau sembarangan itu jelek. (Namun, kalau WC dijadikan tempat penimbunan uang, apakah itu baik?)
Kembali ke pernyataan Seskab Pramono Anung sebelumnya. Bisa jadi dia memandang pelaku korupsi dalam sudut pandang etika semacam itu, bahwa seseorang dalam kehidupan terikat norma-norma yang ada, yaitu norma hukum, norma agama, dan norma sosial kemasyarakatan. Nah, rasa malu adalah satu perwujudan dari nilai etika atas dasar norma-norma yang ada, yang menyangkut apa yang baik dan apa yang buruk, kewajiban moral, dan akhlak yang harus dijalani.
Sedari kecil, kita dididik bahwa mencuri itu perbuatan terlarang. Sedari kecil kita dididik merugikan orang banyak itu perbuatan tercela. Sedari kecil kita dididik mengambil sesuatu yang bukan haknya itu perbuatan yang hina dan menyengsarakan orang lain. Nah, dalam kasus korupsi, nilai-nilai itu tentu sudah melekat pada pelaku korupsi.
Masalahnya kembali ke pelaku korupsi, apakah masih memegang nilai-nilai itu atau telah membuangnya. Kalau masih memegang nilai-nilai itu, berarti saat melakukan korupsi bisa ‘dianggap’ lupa (walau menurut hakim tidak ada istilah lupa dalam kejahatan korupsi). Sebaliknya, jika nilai itu memang sudah dibuang digantikan nilai materialisme, berarti dia memang sudah tak punya rasa malu dalam urusan korupsi.
Saya teringat perbincangan pagi Prof Hamdi Muluk di sebuah stasiun televisi swasta. Dia sepakat rasa malu adalah salah satu wujud nilai etika suatu bangsa, walau masih tergolong nilai yang rendah. Seseorang merasa malu karena melakukan perbuatan yang tak sesuai dengan etika yang ada. Rasa malu ini mendorongnya untuk mengambil langkah atau tindakan sebagai rasa tanggung jawabnya. Misalnya saja seorang pejabat mengundurkan diri dari jabatannya.
Yang lebih tinggi lagi adalah rasa ‘merasa bersalah’. Perasaan bersalah karena tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya, perasaan bersalah kalau tanggung jawab yang diembannya tak bisa ditunaikannya, perasaan bersalah kalau tingkah lakunya merugikan orang banyak. Pejabat yang memegang teguh nilai etika semacam ini biasanya akan memilih mengundurkan diri. Di Jepang, bisa berakhir dengan harakiri.
Ingatan itu membuat saya merasa tidak tahu, apakah masih relevan mengaitkan rasa malu dengan pelaku tindak pidana korupsi. Ini kok rasanya tak ketemu. Rasanya kok muskil pelaku korupsi punya rasa malu sebagai perwujudan nilai etika semacam itu. Atau mungkin saya terlalu serius menilai rasa malu, sementara ada yang menilai rasa malu itu hanya sekedar ekspresi di wajah saja.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H