Para pelaku pangan baik itu petani, peternak, pekebun dan nelayan selalu dihadapkan pada perbedaan harga yang menyesakan dada, perbedaan harga pangan dalam setiap sektor kegiatan pangan (pertanian, peternakan, perkebunan/hasil hutan dan nelayan) bisa mengaca pada masing-masing komoditas nya, artinya model perdagangan produk pangan di masing-masing kegiatan pangan dan seluruh komoditas nya hampir mengalami kesenjangan harga yang menyesakan dada produsen nya.
Beberapa temuan terjadi dilapangan mulai dari komoditas manggis kualitas eksport di desa Parakan Garokgek Kiarapedes Purwakarta termasuk jalur sutera peternak domba pedaging yang populer untuk sate Maranggi, kemudian peternakan sapi perah di Lembang dan Kuningan, Nelayan ikan air tawar di Waduk Jatiluhur Kabupaten Purwakarta, baby lobster kualitas eksport di sepanjang pantai selatan pulau Jawa bahkan sampai ke Nusantara Tenggara, semua adalah simpul komoditas pangan yang mengalami dan bahkan masih berjalan dalam cengkraman praktek pasar dan penjualan produk yang menyesakan dada para produsen pangan.
Semua simpul komoditas pangan di atas adalah wilayah yang menjadi lingkup aktivitas pegiat pangan dan dari situ banyak di ambil pelajaran berharga untuk menggenapi Implementasi model ekosistem komunitas usaha komoditas pangan berbasis digital yang berkelanjutan, yang tengah berjalan menuju usia empat tahun.
Beberapa rumusan masalah terus bergulir sejak rancangan dan rencana konsep ini dimulai, dan terlebih dahulu di awali dengan beberapa pertanyaan, Apakah memang dalam sektor perdagangan pangan ini tidak ada pengaturan nya ?, atau bahkan dikalangan para penghasil pangan ini tidak ada kesepakatan dengan para pelaku pasar dan penjualan serta distribusi produk ?, atau memang dibiarkan begitu saja secara bar bar dan liar untuk berproses sesuai dengan selera masing-masing model jual beli nya.
Secara induktif dengan melihat ilustrasi di atas mendapatkan kesimpulan sementara bahwa praktek-praktek perdagangan komoditas pangan cenderung dilakukan dengan praktek jual beli komoditas pangan yang mengarah pada penempatan posisi produsen pangan menjadi terhimpit dan menyesakan dada bila melihat selisih ratusan prosen dari harga beli ke produsen pangan dan harga jual pada konsumen.
Praktek ini berjalan dengan komitmen lisan yang lemah dan rendah nya tingkat kepercayaan di kedua belah pihak, bahkan meskipun kepercayaan itu di bangun melalui aspek legal formal malah terbentuk sikap skeptis yang berujung pada kekecewaan.
Komitmen dengan menggunakan aspek legal formal dan kesepakatan, selain meninggalkan kekecewaan juga banyak meninggalkan kasus one prestasi, dan setiap kasus one prestasi melahirkan sikap apriori serta berujung pada keraguan dan menganggap sebagai sesuatu yang tidak produktif.
Kesepakatan diantara kedua belah pihak di antara para pelaku pasar dan penjualan didalam perdagangan produk hasil pangan ini sedikit sekali yang terjadi atas dasar ukuran kepercayaan yang dilengkapi dengan aspek formal, terlebih jika melakukan perencanaan dan proyeksi harga jual sebagai ukuran pendekatan dalam praktek jual beli.
Dengan tidak ada nya pendekatan ini, harga-harga setiap tahapan rantai pasok nya terus berkontribusi meningkat pertambahan harga dan menguatkan sikap saling curiga diantara sesama pelaku pasar dagang produk pangan.
Prilaku saling curiga di anggap menjadi salah satu kejadian yang wajar dan ini terjadi karena di dorong kecemburuan dan rasa khawatir oleh adanya perbedaan margin yang besar secara sepihak, ditambah lagi dengan rantai pasok yang panjang serta masing-masing ingin mendapatkan keuntungan lebih besar, dan ini menjadikan harga terus bertambah di setiap tahapan mata rantai pasoknya.