Seiring berkembangnya minat masyarakat terhadap sains, seluruh kriteria di atas mendapatkan beberapa koreksi dari beberapa sarjana ahli astronomi baik di Indonesia maupun Dunia. Hal ini terjadi karena adanya pertentangan antara hasil ru’yah hilal di Indonesia dengan Astronomi. Di antara koreksi yang mengemuka berasal dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang diwakili oleh Prof. Dr. Thomas Djamaluddin, yang mensyaratkan tinggi hilal di atas 4 derajat, dengan elongasi (jarak hilal dan matahari) 6,4 derajat. Sementara itu, beberapa ahli yang tergabung dalam Islamic Crescent Observation Project (ICOP) berdasarkan teori visibilitas menetapkan bahwa hilal di Indonesia hanya dapat dilihat dengan mata telanjang apabila mencapai ketinggian 10 derajat di atas ufuk dan 7 derajat dengan alat optik.
Dari sini, perbedaan kriteria penentuan awal bulan yang bertentangan dengan ilmu astronomi sebaiknya dapat diperbaharui seiring perkembangan astronomi modern. Artinya, para ulama konvensional harus mau belajar dari ahli astronomi sehingga antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi sesuai, Â dan Ilmu Falak tidak lagi bertentangan dengan kaidah ilmu astronomi modern hanya karena masih menggunakan rujukan yang out of
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI