Ketahanan pangan nasional mengalami perubahan cepat akibat pertumbuhan penduduk, infrastruktur pertanian yang rusak, penurunan jumlah rumah tangga petani, hingga proses transformasi struktural yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Berikut adalah penjabarannya:
- Laju Pertumbuhan Penduduk Meningkat
Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 238,5 juta jiwa (Sensus Penduduk 2010). Indonesia menjadi negara terbesar ke-4 di dunia dalam jumlah penduduk di bawah China, India, dan Amerika Serikat. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata tercatat sekitar 1,5 persen per tahun atau penduduk Indonesia bertambah sekitar 32,5 juta jiwa selama 10 tahun terakhir. Dengan laju sebesar itu, Indonesia merupakan kontributor ke-5 terbesar bagi pertambahan penduduk dunia, setelah China, India, Brasil dan Nigeria.
Jumlah penduduk Indonesia akan mendekati 400 juta jiwa pada 2045, yaitu pada saat 100 tahun Indonesia merdeka). Weis, mantap, Bo, sekali lagi, 400 juta orang tumpek blek di suatu negara kepulauan yang letaknya strategis secara geografis. "Keberhasilan" menjadi negara paling ramai di jantung pertumbuhan ekonomi asia ini akan diraih jika Indonesia gagal mencapai penurunan angka kelahiran.
Kabar gembiranya Indonesia juga mendapatkan "karunia" bonus demografi. Periode Bonus Demografi (Demografi Dividen) terjadi selama 2012-2035 dengan puncaknya terjadi pada periode 2028-2031. Penurunan rasio ketergantungan, hingga dibawah 50% (2 orang usia produktif menanggung kurang dari 1 orang usia non-produktif), memberikan kesempatan ekonomi Indonesia untuk tumbuh lebih cepat dan terjadi perbaikan kualitas SDM.
- Tekanan Penduduk terhadap Ketahanan Pangan Membesar
Dalam konteks pangan, perkembangan kuantitas penduduk Indonesia membawa dampak pada perubahan kebutuhan dan produksi pangan nasional. Kebutuhan pangan bertambah seiring pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan kebutuhan pangan menjadi tidak linier mengingat pada saat yang bersamaan struktur umur didominasi oleh penduduk usia produktif yang memiliki kebutuhan konsumsi lebih besar dibandingkan dengan kelompok penduduk usia non-produktif.
Berbicara tentang kebutuhan pangan Indonesia, salah satu komoditi terpenting ialah beras yang menjadi makanan pokok sebagian besar penduduk. Hal yang menarik, ternyata konsumsi beras per kapita di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia.
Diperkirakan, rata-rata konsumsi beras per kapita mencapai sekitar 139 kg per tahun. Dengan jumlah penduduk sekitar 238 juta jiwa, dibutuhkan setidaknya 34 juta ton beras per tahun. Produksi beras dalam negeri pada 2010 lalu hanya sekitar 38 juta ton, menyisakan surplus hanya sekitar 4 juta ton beras per tahun. Artinya, dalam keadaan darurat hanya mampu memenuhi kebutuhan tidak sampai dua bulan.
Kebutuhan lahan untuk aktivitas non-pertanian terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Akibatnya, terjadi konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian. Hal ini justru dialami oleh lahan-lahan pertanian yang paling produktif (”kelas 1”) karena umumnya memiliki akses jalan paling baik.
Kondisi ini tentu bisa mengancam kemampuan produksi pangan nasional. Selama periode 2007-2010, data Kementan mencatat penurunan lahan pertanian mencapai angka 600 ribu hektare. Jika laju konversi lahan seperti ini, ketersediaan lahan pertanian sekitar 3,5 juta hektare (2010) akan habis sebelum 2030. Solusi yang sering muncul adalah pembukaan lahan pertanian baru di luar Jawa. Tetapi perlu dipahami bahwa pengusahaan lahan pertanian yang optimal membutuhkan gestation period tertentu dan dukungan infrastruktur khusus sehingga tidak mudah dalam jangka pendek mengganti lahan-lahan pertanian yang telah terkonversi dengan lahan lainnya. Distribusi penduduk antarpulau yang tidak merata juga menjadi tantangan tersendiri dalam membangun ketahanan pangan Indonesia.
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, sekitar 57,4 persen penduduk Indonesia diperkirakan tinggal di Jawa, Madura dan Bali, sekitar 21,3 persen di Sumatera, dan sisanya dalam jumlah yang lebih kecil tersebar di Kalimantan (5,8 persen), Sulawesi (7,3 persen), serta hanya sebagian kecil yang tinggal di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara.
Permasalahan logistik muncul saat konsentrasi penduduk dan sentra pangan tidak sama. Tingginya biaya logistik menyebabkan harga pangan menjadi mahal dan memperburuk ketahanan pangan nasional serta ketimpangan kesejahteraan antardaerah.
- Rumah Tangga Petani (RTP) Berkurang
Hasil Sensus Pertanian 2013 (ST2013) menunjukkan, jumlah rumah tangga petani pada 2013 tercatat 26,14 juta rumah tanggapetani (RTP) atau terjadi penurunan sebanyak 5,04 juta RTP dari 31,17 juta RTP pada 2003. Laju penurunan 1,75 persen atau lebih dari 500 ribu rumah tangga per tahun perlu diinterpretasikan secara hati-hati. Pada ST2013, RTP didefinisikan sebagai “rumah tangga yang salah satu atau lebih anggota rumah tangganya mengelola usaha pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual, baik usaha pertanian milik sendiri, secara bagi hasil, maupun milik orang lain dengan menerima upah, dalam hal ini termasuk jasa pertanian”.
Apabila penurunan jumlah RTP berhubungan dengan meningkatnya jumlah rumah tangga yang bekerja di sektor industri dan jasa --- yang juga ditunjukkan oleh meningkatnya pangsa sektor industri dan jasa dalam perekonomian atau dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia--- tentu fenomena tersebut merupakan proses alamiah dari pembangunan ekonomi.
Jumlah petani gurem terbanyak berada di Pulau Jawa, yaitu 10,2 juta rumah tangga, disusul Sumatera 1,8 juta rumah tangga petani, serta Bali dan Nusa Tenggara sebesar 900 ribu rumah tangga petani. Petani gurem di Sulawesi dan Kalimantan tercatat cukup kecil, yaitu masing-masing 640 ribu dan 280 ribu rumah tangga. Sekadar catatan, interpretasi terhadap jumlah petani gurem dapat bermacam-macam, tergantung pada sudut pandang yang diambil. Tapi, hal yang hampir pasti adalah bahwa karena sebagian besar petani gurem itu berada di Jawa (70 persen), hanya 30 persen dari seluruh petani di Jawa yang dapat dikatakan berkecukupan dan tidak terjerat kemiskinan.
Apabila terdapat ancaman penurunan produksi dan produktivitas pangan umumnya pertanian karena faktor perubahan iklim, gagal panen, bencana alam, atau persoalan teknis budidaya, para petani gurem di Jawa ini akan rentan sekali menjadi miskin.
Hasil ST2013 juga menunjukkan peningkatan jumlah perusahaan pertanian selama 10 tahun terakhir, yang tentu memiliki konsekuensi yang tidak kalah rumit. Jumlah RTP dan perusahaan pertanian di Jawa semakin berkurang, sedangkan di luar Jawa justru semakin bertambah.
Penjelasan yang paling rasional terhadap fenomena tersebut salah satunya karena adanya peningkatan jumlah dan areal perusahaan perkebunan secara besar-besaran selama 10 tahun terakhir, terutama kelapa sawit. Areal perkebunan besar kelapa sawit yang telah mencapai 9 juta hektare pada 2013, pada satu sisi, mungkin perlu diapresiasi.
Tapi pada sisi lain, penurunan luas areal petani kecil kelapa sawit menjadi hanya sekitar 41 persen, sementara perkebunan besar mencapai 59 persen. Sedangkan proses alih fungsi lahan sawah menjadi kegunaan lain mencapai 100 ribu hektare per tahun, terutama di Jawa. Ini tentu merupakan fenomena serius yang harus segera diselesaikan.
Secara makro, kondisi ketenagakerjaan di Indonesia menunjukkan bahwa 34 persen pekerja bekerja di sektor pertanian. Sementara itu, kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia hanya sekitar 15 persen. Ini menunjukkan, sektor pertanian menanggung beban tenaga kerja yang terlalu berat, sehingga produktivitas dan pendapatan petani menjadi rendah (lihat penjelasan pada sub-bab Transformasi Struktural berikut).
Hal ini menjadi salah satu sebab tidak tertariknya generasi muda untuk masuk dan bekerja di sektor pertanian. Belum lagi fakta bahwa sekitar 72 persen pekerja di sektor pertanian hanya berpendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah.
- Konversi Lahan Tinggi
Laju konversi lahan pertanian mencapai 100 ribu hektare per tahun, sementara pencetakan sawah baru hanya mencapai 50 ribu hektare per tahun. Tingkat kebutuhan lahan untuk perumahan dan industri sangat cepat karena pertumbuhan penduduk yang meningkat kembali dalam lima tahun terakhir. Pertumbuhan penduduk berkontribusi pada konversi lahan sawah sebesar 141 ribu hektare dalam tiga tahun pada periode 1999-2002 (Departemen Pertanian, 2005).
Estimasi lain tentang alih fungsi lahan selama sepuluh tahun terakhir telah mencapai 602,4 ribu hektare atau 60 ribu hektare per tahun (Data Badan Pertanahan Nasional, 2005). Walaupun konsistensi data dari berbagai sumber yang berbeda masih perlu diverifikasi kebenarannya, bukti kasat mata di lapangan telah banyak menunjukkan laju konversi lahan sawah produktif menjadi kegunaan lain yang cukup pesat, mulai dari perumahan dan pemukiman, industri dan kebutuhan perkotaan lain hingga lapangan golf, terutama di daerah penyangga kota-kota besar.
Ancaman nyata dari laju konversi lahan sawah produktif menjadi kegunaan lain adalah penurunan produksi pangan, terutama pangan pokok seperti beras. Produksi padi yang mencapai 69 juta ton GKG pada 2014 atau menurun 1,99 persen dibandingkan dengan produksi 2013 menjadi bukti kuat bahwa penurunan produksi pangan telah berada pada lampu merah.
Suka atau tidak suka, kinerja produksi beras sampai saat ini masih menjadi indikator ekonomi (dan politik) dalam mengevaluasi kinerja pemerintahan. Di tingkat akademik, para ahli telah sepakat bahwa kinerja ketahanan pangan nasional jauh lebih bermakna dan strategis dibandingkan dengan indikator produksi fisik semata.
Titik pangkal masalahnya bukan terletak pada ketiadaan perangkat hukum yang melindungi lahan sawah, melainkan lebih pada komitmen, keseriusan, dan kemampuan aparat negara dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan yang dimiliki Indonesia. Pada tingkat strategis, Indonesia memiliki UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan. UU tersebut sebenarnya merupakan amanat dari UU No. 26/2007 tentang Tata Ruang, yang sampai saat ini sulit dilaksanakan karena hanya belasan provinsi yang telah menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) seperti disyaratkan. Dari sekitar 500 daerah otonom yang ada di Indonesia, pasti tidak terlalu banyak kabupaten/kota yang telah menyelesaikan RTRW. Menariknya lagi, sampai saat ini, Pemerintah Pusat tidak mampu memberikan sanksi yang tegas terhadap provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mematuhi UU No. 26/2007 yang sebenarnya dibuat untuk kepentingan bersama dan kemaslahatan seluruh warga Indonesia.
Dalam suatu proses transformasi ekonomi, konversi sawah produktif menjadi kegunaan lain lumrah terjadi dan tidak dapat dihindarkan, terutama apabila perangkat kelembagaan yang ada tidak mampu mencegah atau mengendalikannya secara baik. Sistem insentif dan kebijakan pertanahan di Indonesia nampaknya tidak terlalu mendukung untuk terciptanya pengawasan yang berlapis yang mampu mengendalikan laju konversi sawah produktif tersebut.
Perumusan dan kebijakan RTRW di tingkat provinsi dan kabupaten/kota seakan tidak mendukung upaya pengendalian alih fungsi sawah produktif menjadi kegunaan lain. Fenomena otonomi daerah (Otda) sampai saat ini masih belum dapat menjadi jawaban ampuh untuk mengendalikan laju konversi lahan.
Secara legal formal, Indonesia telah memiliki perangkat hukum berupa UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang seharusnya mampu menanggulangi persoalan kepastian hukum di bidang alih fungsi lahan sawah. Karena laju konversi lahan sawah dan alih fungsi dan kepemilikan lahan pertanian terus terjadi, banyak yang berpendapat bahwa UU No. 41/2009 tersebut mandul akibat belum adanya peraturan pelaksanaan UU itu.
Indonesia telah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) No. 1/2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP No. 12/2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan, dan PP No. 25/2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan PP No. 30/2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Aturan lebih teknis Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2012 tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan, Lahan, dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan juga telah diundangkan.
Setelah sekian Peraturan Pemerintah dikeluarkan, tetapi laju konversi lahan sawah subur masih juga berlangsung. Maka, pendekatan lain perlu ditempuh.
Pendekatan itu berupa insentif dari Pemerintah Pusat dan provinsi seperti pengembangan infrastruktur pertanian serta pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul. Dalam hal ini, Pemda perlu menambah insentif dengan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Peningkatan kepastian hukum berupa perlindungan lahan pertanian, terutama lahan pangan subur dan beririgasi teknis, jelas tidak memadai jika hanya dilakukan melalui pendekatan formal belaka. Pelaksanaan kebijakan teknis pertanian, penyaluran benih unggul, bimbinganpenyuluhan dan pendampingan petani, penjaminan harga jual, dan lain-lain akan lebih memadai. Aparat negara di pusat dan daerah wajib lebih ofensif dalam melaksanakan kebijakan teknis di atas. Tentu saja skema penalti dan struktur penegakan hukum dalam menerapkan sanksi juga perlu lebih tegas.
(SUMBER: Memperkuat Ketahanan Pangan Demi Masa Depan Indonesia 2015 - 2025, Badan Intelijen Negara, Muhammad AS Hikam, Editor, CV Rumah Buku, Jakarta, 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H