Mohon tunggu...
Dailymonthly
Dailymonthly Mohon Tunggu... Freelancer - Just Another Blog

Budayakan Membaca Dailymonthly | Prima H. I have been writing for over 10 years. I have written on various topics such as politics, technology, and entertainment. However, my true passion lies in writing about comprehensive analysis and from various points of view. I believe that writing from multiple perspectives allows me to explore my subjects, settings, and moral gray areas from a wider variety of perspectives, which sustains complexity and keeps the reader interested. I have written several articles on this topic and am considered an expert in the field.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Perjalanan Menyusuri Sungai Kapuas di Indonesia

25 Juni 2023   19:05 Diperbarui: 28 Juni 2023   18:17 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Bing Image Creator)

Saya mendirikan tenda di gundukan pasir di seberang desa, dan orang-orang dewasa datang untuk duduk di atas tikar dan mengobrol dengan saya selama berjam-jam. Ketika saya makan malam di atas perahu, kabar itu tersiar. Tak lama kemudian, kerumunan orang berkumpul, bertepuk tangan serempak ketika saya membuka kaleng sarden, tertawa jika saya menjatuhkan sesuatu.

Para petani lokal sedikit lebih terbiasa dengan orang luar. Beberapa sukarelawan baru-baru ini datang ke desa kecil ini untuk menyaksikan ritual yang tidak biasa: menggunakan kunang-kunang untuk membantu menanam padi. Bagi Rudi, 42 tahun, seorang petani yang menunjukkan kepada saya praktik tersebut keesokan paginya, tidak ada yang luar biasa dari hal ini. Ayahnya mengajarinya bertani dengan kunang-kunang saat ia berusia 16 tahun; praktik ini telah diwariskan secara turun-temurun. Wajah Rudi yang kecokelatan dan halus karena hujan, mengekspresikan semacam rasa syukur saat ia mengamati ladang yang hijau untuk melihat kunang-kunang yang bersinar. "Jika kunang-kunang mati," katanya, "rasanya seperti ayah saya sendiri yang meninggal."

Kami sampai di area padang di mana Rudi mengatakan kunang-kunang berkumpul. Diklasifikasikan sebagai spesies yang rentan, hanya sekitar 700 kunang-kunang Kapuas yang tersisa di hutan yang menjadi asal muasal nama mereka. Rudi dan para pria lainnya bersiul pelan dan mengeluarkan suara krik-krik bernada rendah. Beberapa kunang-kunang berwarna kuning yang berkelap-kelip di bawah sinar fajar, terbang ke arah kami. Seekor dengan pasangan di sisinya berkedip-kedip terang di perutnya.

"Kancil!" Rudi berteriak sambil menunjuk ke arahnya dan tersenyum. "Dia memanggil kita!" Kancil telah bertani bersama mereka selama 30 tahun, kata Rudi.

Para petani bertepuk tangan untuk memberi tahu kunang-kunang bahwa mereka ingin bertani bersama. Satu kunang-kunang memisahkan diri dari kelompoknya dan mulai terbang berputar-putar. Kunang-kunang itu mendarat lagi, muncul kembali kurang dari sepuluh kaki (tiga meter) dari sepeda kami, cahayanya berdenyut-denyut dengan penuh semangat. Rudi kemudian melemparkan segenggam biji-bijian ke tempat kunang-kunang itu mendarat. Biji-biji itu menyebar di udara seperti confetti, dan dengan cepat jatuh ke tanah. Saat Rudi perlahan-lahan menutupinya dengan tanah, banyak cahaya kuning menyala di lapangan. Rudi mengatakan bahwa kunang-kunang itu membantu mereka sendiri untuk membasmi serangga yang menyerang tanaman.

Kami mengikuti kunang-kunang ke arah hilir saat melewati beberapa perkebunan kelapa sawit di sepanjang pantai. Ini adalah salah satu ancaman terbesar bagi kunang-kunang Kapuas: Area hutan yang luas dibuka untuk menanam kelapa sawit yang menghasilkan komoditas yang menguntungkan untuk diekspor-termasuk habitat kunang-kunang.

Para pekerja perkebunan memanggil kami. "Apakah Anda ingin melihat buah yang besar?" tanya mereka. Mereka menghasilkan durian sepanjang enam kaki (dua meter), atau buah yang berbau busuk, dengan lebar kepala satu setengah kaki (setengah meter), dan duri-duri besar sepanjang tiga kaki (satu meter). Tubuhnya yang berwarna kuning dan hijau, ditutupi dengan duri, berbau busuk di bawah sinar matahari, sebuah mimpi buruk ciptaan. Besok mereka akan membawanya ke Pontianak dan menjualnya dengan harga murah: 450.000 rupiah atau 30 dolar-sekitar sepersepuluh dari pendapatan rata-rata orang Indonesia per bulan.

Saat kami mulai mendayung mengejar kunang-kunang lagi, saya meminta Rudi untuk menunggu.

"Saya ingin membeli durian," kata saya.

Para pekerja perkebunan menertawakan ide tersebut, namun ketika saya menunjukkan uang Rp 450.000, mereka menyerahkan buah tersebut. Rencana saya adalah mencapai tepi hutan di seberang sehingga saya bisa membebaskannya. Selama berabad-abad, suku Dayak yang tinggal di sepanjang sungai telah menghargai durian raksasa ini; di rumah panjang dekat Nanga Tayap, para tetua mengatakan kepada saya bahwa mereka mengumpulkan dan memakan durian raksasa selama musim panen. 

Dan sekarang Rudi, seorang Muslim, dengan penuh semangat menyambut rencana saya untuk membebaskan buah ini, dengan catatan bahwa ini adalah tindakan amal yang akan saya lakukan. Tapi keinginan saya yang tiba-tiba untuk menyelamatkan nyawa buah itu adalah masalah sederhana: Saya hanya tidak ingin si bau busuk itu membusuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun