Di sebuah tambang batu bara terdekat, saya bisa melihat semua kesibukan itu. "Hati-hati melangkah," kata Myin Yang saat saya berjalan menuju lubang sedalam 50 meter di dalam tanah. "Jangan sampai jatuh." Dia adalah istri dari seorang pejabat Departemen Kehutanan setempat yang menyewa tanah ini dari pemerintah. "Lihat apa yang kita dapatkan kemarin?" Ia mengulurkan tangannya, dengan bangga menunjukkan bola batu bara yang berkilau sebesar kacang polong. Batu bara tersebut bernilai $10; keuntungan akhir yang ia dapatkan hanya sebagian kecil dari itu. Namun, karena banyak pekerja Indonesia yang menghasilkan sekitar $5 per hari, ini jelas merupakan sesuatu yang menggembirakan.
Mata saya beralih dari batu bara ke dalam lubang. Dua pekerja yang tertutup lumpur berusaha keras untuk menstabilkan selang air bertenaga tinggi yang menggerogoti tanah, membuat kawah semakin besar dan dalam saat saya menyaksikannya.Â
Maulana menepuk pundak saya dan menunjuk. Lanskap gundul dan steril, dengan lubang-lubang yang mirip dengan lubang di depan kami, membentang berkilo-kilo meter ke kejauhan. Sungai-sungai yang mengalir di daerah itu dipenuhi dengan air berlumpur berwarna cokelat, tercemar bahan kimia yang digunakan untuk mengekstraksi batu bara dari lumpur. Maulana dan saya menemukan sebuah warung makan terdekat dan memesan minuman.Â
Seperangkat kaki binatang tergantung di kasau dekat dapur. Kaki-kaki itu berasal dari babi hutan, mangsa favorit harimau. Maulana mengatakan kepada saya bahwa papan nama di depan warung mengiklankan daging rusa sambar dan babi hutan segar dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga daging babi dan ayam kampung. Dia terlihat khawatir.
"Apakah menurut Anda kita masih bisa mempertahankan suaka harimau ini?" tanyanya tiba-tiba.
Saya juga bertanya-tanya hal yang sama.
Saya pertama kali mengetahui tentang Kalimantan pada tahun 1996, ketika saya bekerja di Indonesia bagian utara untuk membantu mendirikan suaka margasatwa. Pada saat itu, Indonesia telah terisolasi dari dunia Barat selama lebih dari tiga dekade. Rezim otoriter Suharto dikritik karena pelanggaran hak asasi manusia, tetapi saya tidak tertarik dengan politik. Saya sangat tertarik untuk melestarikan satwa liar di sudut dunia yang terpencil ini. Dengan hutan yang luas dan kepadatan penduduk yang relatif rendah, Indonesia diyakini memiliki jumlah harimau terbesar kedua di Asia, setelah India. Namun, perburuan liar telah memakan korban. Menurut TRAFFIC, sebuah jaringan yang memantau perdagangan satwa liar internasional, setidaknya 50 hingga 100 harimau dibunuh setiap tahun di Indonesia selama tahun 1980-an untuk digunakan dalam pengobatan tradisional Asia. Jika angka-angka ini akurat, maka populasi harimau di Indonesia berada dalam masalah.
Di pasar-pasar desa di Indonesia bagian utara, saya sering melihat bagian tubuh harimau, gaur, dan macan dahan dijual untuk obat-obatan tradisional. Ketika saya bertanya dari mana hewan-hewan itu berasal, jawabannya selalu sama: Kalimantan. Para pemburu mengatakan bahwa tempat ini penuh dengan satwa liar, tetapi hutannya tidak kenal ampun. Peta saya hanya menunjukkan hamparan hijau yang luas di antara pegunungan Sangpang dan Kumon, yang tampaknya kosong dari jalan raya atau pemukiman manusia. Nama pulau ini, Kalimantan, berasal dari bahasa Sansekerta Kalamanthana, yang berarti "pulau yang membara", merujuk pada iklim tropisnya yang panas dan lembab. Pulau ini juga dikenal dengan nama lain: Borneo. Nama ini diambil dari pohon Borneol (bahasa Latin: Dryobalanops camphora), yang mengandung kamper, zat yang digunakan untuk antiseptik atau parfum. Pohon ini tumbuh subur di Kalimantan, dan oleh karena itu pulau ini dikenal oleh para pedagang Eropa sebagai Borneo atau pulau kamper.
Kalimantan memiliki sejarah yang panjang dan kaya yang berasal dari zaman prasejarah. Sisa-sisa manusia tertua yang ditemukan di pulau ini berasal dari Gua Niah di Sarawak, yang berasal dari 40.000 tahun yang lalu. Penduduk asli Kalimantan termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, dan memiliki budaya dan tradisi yang beragam. Beberapa dari mereka tinggal di rumah panjang komunal dan mempraktikkan perburuan kepala dan pemujaan leluhur. Pulau ini juga merupakan rumah bagi beberapa kerajaan dan kekaisaran kuno, seperti Kutai, Tarumanagara, Majapahit, Brunei, Banjar, dan Sambas. Kerajaan-kerajaan ini berdagang dengan Cina, India dan daerah lain, dan dipengaruhi oleh agama Hindu, Buddha dan Islam.
Sejarah modern Kalimantan ditandai dengan konflik dan perjuangan. Selama Perang Dunia II, pulau ini diduduki oleh Jepang dan menjadi medan pertempuran antara pasukan Sekutu dan Jepang. Setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya dari Belanda pada tahun 1945, Kalimantan menjadi bagian dari republik yang baru. Namun, pulau ini menghadapi beberapa tantangan seperti pemberontakan, gerakan separatis, bentrokan antar etnis, dan degradasi lingkungan. Pada tahun 1963, Malaysia dibentuk dengan menggabungkan Sabah dan Sarawak (bagian utara Kalimantan) dengan Malaya dan Singapura. Hal ini memicu konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia mengenai status Kalimantan yang berlangsung hingga tahun 1966. Pada tahun 1965, sebuah upaya kudeta terhadap Presiden Sukarno menyebabkan pembersihan anti-komunis dengan kekerasan yang menewaskan ratusan ribu orang di seluruh Indonesia, termasuk banyak orang di Kalimantan. Pada tahun 1997-1998, krisis ekonomi yang parah memicu kerusuhan sosial dan kerusuhan yang pada akhirnya berujung pada jatuhnya rezim Presiden Soeharto.