Harimau Pulau: Sebuah Perjalanan Ambisius untuk Menyelamatkan Harimau Kalimantan dari Kepunahan
Batu Bara dan Harimau: Sebuah Dilema Kalimantan
Suara-suara keras menembus kelambu. Saya mengedipkan mata dan menggosok mata saya. Terakhir kali saya berada di sini, saya terbangun oleh suara lembut orangutan, auman macan tutul di kejauhan, dan kicauan burung rangkong yang penuh warna. Sekarang, ketika saya melihat sekeliling, saya mengenali suara gemuruh buldoser yang keras dan desisan air yang terus menerus.
Melalui jendela gubuk yang terbuka, saya bisa melihat tepi hutan di kejauhan. Ini masih merupakan desa kuno Muara Teweh, yang dulunya merupakan oasis yang damai di jantung Kalimantan, Indonesia. Namun, ledakan penambangan batu bara besar-besaran, yang dimulai sejak saya pergi, telah membawa ribuan orang berduyun-duyun ke tempat terpencil ini. Ini bukanlah hal yang saya harapkan. Sebagai direktur sains dan eksplorasi, misi saya adalah mengeksplorasi dan mencoba melindungi tempat-tempat liar terakhir di dunia. Itulah mengapa saya kembali ke Kalimantan.Â
Setelah survei awal di daerah tersebut menunjukkan bahwa daerah tersebut kaya akan harimau dan satwa liar lainnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia membuat suaka margasatwa yang luas di bagian yang tidak berpenghuni di pulau tersebut pada bulan April 2001. Beberapa bulan kemudian, pemerintah meningkatkan taruhannya. Saya masih ingat betapa terkejutnya saya ketika kolega Rizal Maulana menelepon saya di New York dengan berita tersebut.
"Mereka ingin menggandakan ukuran cagar alam! Mereka mengusulkan seluruh pulau sebagai suaka harimau pertama di negara ini," kata Maulana kepada saya melalui telepon. "Dan mereka ingin bantuan kami untuk mewujudkannya." Sejak pertama kali saya mulai bekerja dengan pemerintah Indonesia pada tahun 1993, belum pernah ada yang mengajukan proposal sebesar ini. Dengan luas hampir 544.150 kilometer persegi (210.000 mil persegi) Kalimantan akan menjadi suaka harimau terluas di dunia.
Ketika saya berjalan-jalan di sekitar desa Muara Teweh dalam perjalanan pulang ini, tugas untuk menciptakan suaka margasatwa di sini tampak sangat berat. Maulana, mantan pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan sekarang menjadi koordinator program WCS di Indonesia, menemani saya menyusuri tepi hutan sejauh setengah kilometer.Â
Kami memasuki kumpulan tenda dan bangunan yang serampangan yang melayani para penambang batu bara. Di lapangan tanah tempat saya pernah mengukur jejak harimau dan macan tutul, para pedagang di kios-kios kini menjual barang elektronik, peralatan, dan makanan. Musik keras mengalun dari pengeras suara di sebuah bar karaoke saat kami melewati restoran, kedai kopi, dan tempat pangkas rambut yang menawarkan layanan pijat dan meja biliar. Di mana-mana ada timbangan yang digunakan untuk menimbang batu bara yang dibawa untuk diperdagangkan.