Untuk mengatasi kesenjangan ini, sebuah organisasi masyarakat sipil bernama Komnas Perempuan memprakarsai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU TPKS) pada tahun 2012.Â
RUU TPKS bertujuan untuk memberikan kerangka hukum yang komprehensif bagi korban untuk mendapatkan keadilan, serta meningkatkan kesadaran dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual. RUU TPKS juga mengakui sembilan bentuk kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual fisik dan non-fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan pelecehan seksual melalui media elektronik.
Rancangan undang-undang ini menghadapi tentangan keras dari kelompok konservatif yang berargumen bahwa rancangan undang-undang ini bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral, dan akan mendorong pergaulan bebas dan homoseksualitas. Rancangan undang-undang tersebut juga mengalami penundaan dan revisi dalam proses legislasi, hingga akhirnya disahkan oleh parlemen pada tanggal 12 April 2022. Pengesahan undang-undang tersebut dipuji sebagai pencapaian bersejarah dan hadiah bagi perempuan Indonesia oleh Ketua DPR Puan Maharani.
Undang-undang tersebut menetapkan bahwa pelaku kekerasan seksual dapat menghadapi hukuman penjara mulai dari empat hingga 15 tahun, tergantung pada jenis dan tingkat keparahan pelanggaran. Undang-undang ini juga mengamanatkan bahwa korban kekerasan seksual menerima restitusi dan diberikan konseling. Selain itu, undang-undang ini mengakui pelecehan seksual baik di dalam maupun di luar pernikahan, yang merupakan kemajuan yang signifikan dari KUHP yang ada yang tidak mengakui pemerkosaan dalam pernikahan.
Undang-undang ini diharapkan dapat memberikan dampak positif dalam mengurangi angka kekerasan seksual di Indonesia, yang menurut berbagai sumber masih cukup tinggi.Â
Menurut laporan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2021, terdapat 13.636 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan kepada mereka, dimana 8.230 kasus di antaranya adalah kekerasan seksual. Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016, satu dari tiga perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam hidupnya.
Namun, undang-undang ini juga menghadapi beberapa tantangan dalam pelaksanaan dan penegakannya. Beberapa ahli mengatakan bahwa undang-undang ini perlu didukung oleh alokasi anggaran, sumber daya manusia, infrastruktur, dan koordinasi yang memadai di antara lembaga-lembaga terkait.Â
Beberapa aktivis juga telah menyatakan keprihatinannya tentang potensi reaksi balik dari kelompok konservatif yang mungkin mencoba untuk menantang atau melemahkan undang-undang tersebut. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat sipil untuk terus memantau dan mengevaluasi efektivitas dan dampak undang-undang tersebut dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di Indonesia.
Gerakan dan Reformasi Tempat Kerja di Indonesia
Terlepas dari kesadaran dan aktivisme global, kekerasan seksual di tempat kerja masih menjadi masalah serius di Indonesia. Para penyintas menghadapi banyak hambatan untuk mendapatkan keadilan, seperti budaya patriarki, nilai-nilai agama yang konservatif, dan praktik penegakan hukum yang tidak peka gender. Gerakan #MeToo, yang dimulai di Amerika Serikat pada tahun 2017 dan menyebar ke banyak negara, belum mendapatkan banyak perhatian di Indonesia. Tagar #SayaJuga, yang merupakan versi bahasa Indonesia dari tagar tersebut, lebih banyak digunakan oleh perempuan yang melek media sosial dan perempuan kelas menengah ke atas, sementara mayoritas perempuan Indonesia lebih banyak diam atau bungkam.
Salah satu kasus kekerasan seksual di tempat kerja yang paling menonjol di Indonesia adalah kasus Agni, seorang mahasiswi di Universitas Gadjah Mada yang diperkosa oleh seorang teman saat KKN di daerah terpencil.Â