Kekerasan Seksual: Perjuangan Perempuan Indonesia Memecah Kebisuan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja
"Bagaimana Indonesia Gagal Melindungi Penyintas Kekerasan Seksual di Tempat Kerja"
Undang-Undang Baru Indonesia untuk Mengatasi Kekerasan Seksual: Sebuah Tinjauan Umum
Kekerasan seksual adalah istilah yang mencakup berbagai tindakan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan korban. Di Indonesia, kekerasan seksual sering kali dianggap sebagai masalah pribadi dan bukan merupakan kejahatan serius. Namun, setelah 10 tahun advokasi dan perdebatan, parlemen Indonesia mengesahkan undang-undang penting pada tanggal 12 April 2022 untuk mengatasi kekerasan seksual dan melindungi hak-hak korban.
Undang-undang tersebut, yang dikenal sebagai RUU TPKS, mendefinisikan sembilan jenis kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual fisik dan non-fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, pencabulan, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.Â
Undang-undang ini juga mengakui kekerasan seksual di dalam dan di luar pernikahan, yang tidak diakui oleh hukum pidana sebelumnya. Undang-undang ini memberikan hukuman penjara bagi para pelaku mulai dari empat hingga 15 tahun, tergantung pada jenis pelanggarannya. Undang-undang ini juga mengamanatkan bahwa korban menerima restitusi dan konseling dari pihak berwenang.
Undang-undang ini dipandang sebagai langkah besar bagi Indonesia, yang telah menyaksikan peningkatan kasus kekerasan seksual selama pandemi COVID-19. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ada sekitar 25.200 kasus kekerasan seksual di Indonesia pada tahun 2021, meningkat dari sekitar 20.500 kasus pada tahun 2020.Â
Namun, banyak kasus yang tidak dilaporkan karena stigma, rasa malu, dan ketakutan akan pembalasan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Perempuan Mahardhika pada tahun 2017 menemukan bahwa dari 773 pekerja perempuan di KBN Cakung, 437 di antaranya pernah mengalami kekerasan seksual di tempat kerja.
Undang-undang ini bertujuan untuk memberikan kerangka hukum bagi para korban untuk mencari keadilan dan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual sejak awal. Namun, beberapa aktivis mengkritik undang-undang tersebut karena cakupannya yang terbatas dan tidak mencakup beberapa masalah seperti aborsi dan pemerkosaan. Mereka juga berpendapat bahwa undang-undang tersebut perlu diimplementasikan secara efektif dan bahwa lebih banyak kesadaran dan pendidikan diperlukan untuk mengubah budaya diam dan impunitas seputar kekerasan seksual di Indonesia.
Persetujuan dan Kekerasan Seksual di Indonesia